Meninjau Pemikiran Hasan Hanafi Mengenai Oksidentalisme Menjawab Invasi Budaya Barat
Oksidentalisme sebagai sebuah studi dapat memulihkan keseimbangan budaya, terutama dalam konteks Islam. Mendorong perspektif yang seimbang antara Timur dan Barat.
Irfan Limbong
Bisa diajak ngobrol tentang puisi esai sambil ngopi, walau tidak merokok. Sedang menyantri di Ndalem Wongsorogo.
7 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Dalam upaya melawan pengaruh Barat, muncul istilah oksidentalisme yang membawa gagasan atau pemahaman dunia Timur, terutama dalam Islam, terhadap Barat. Oksidentalisme hadir sebagai lawan dari orientalisme, yang mulai berkembang sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, orientalisme, yang awalnya hanya bertujuan untuk mempelajari budaya Timur, berubah menjadi ambisius dengan dorongan untuk menguasai Timur dan wilayah sekitarnya. Kondisi ini semakin diperparah oleh lemahnya kekuatan politik dalam pemerintahan setelah kehancuran peradaban Islam oleh Pasukan Tartar.
Dari kelemahan itulah, bangsa Timur semakin terpuruk dan jatuh di bawah dominasi Barat. Berbagai konsep pengetahuan, penemuan, dan budaya dirampas oleh Barat dengan memanfaatkan ketidakberdayaan bangsa Timur. Dari situ, lahirlah istilah oksidentalisme pada tahun 1980-an yang dipelopori oleh Dr. Hasan Hanafi. Oksidentalisme menjadi sebuah ideologi yang memahami Barat melalui perspektif Timur (Islam) sekaligus sebagai tanggapan intelektual terhadap ideologi orientalisme.
Hasan Hanafi, sebagai seorang pemikir Islam, mencetuskan konsep oksidentalisme sebagai gerakan yang bertujuan menyeimbangkan kajian antara Timur dan Barat agar berlangsung secara adil, transformatif, dan ilmiah tanpa adanya hegemoni atau dominasi antara keduanya. Sebagai pendekatan ilmiah, oksidentalisme tidak hanya fokus pada teori dan penemuan, tetapi juga mempertimbangkan perkembangan zaman dan budaya. Lebih dari itu, oksidentalisme merupakan sebuah ideologi baru yang diharapkan dapat membawa perubahan bagi bangsa, terutama dalam era globalisasi yang cenderung mengarah pada westernisasi. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh Barat dalam dunia Timur (Islam) masih sangat kuat, terutama dalam membentuk kapasitas kepribadian dan intelektualitas. Terlebih lagi, di era modern ini, Barat sering dijadikan sebagai acuan kesuksesan.
Dominasi westernisasi terlihat nyata pada masa kini dengan munculnya Hallyu atau Korean Wave. Kemunculan Korean Wave memiliki kesamaan dengan westernisasi, yaitu melalui pengaruh verbal yang menampilkan keunikan dan kecanggihan yang mampu mengubah cara berpikir masyarakat Timur (Islam). Meskipun sekilas terdapat unsur-unsur westernisasi yang sudah berkembang lama dalam Korean Wave, saat ini Korean Wave telah menjadi tren tersendiri di berbagai negara, terbukti dengan budaya pop Korea atau K-pop yang mencakup boyband dan girlband Korea. Kondisi ini menunjukkan bahwa westernisasi dan Korean Wave bersaing ketat dalam mempengaruhi identitas setiap negara di dunia. Oleh karena itu, dalam era global saat ini, konsep oksidentalisme perlu lebih ditekankan, mengingat adanya dua budaya yang mendominasi masyarakat, agar identitas bangsa tetap terjaga dan keutuhan negara tetap dijunjung tinggi.
Dengan mengedepankan tiga pilar yang diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam konsep oksidentalisme sebagai panduan untuk menghadapi tradisi dan pembaruannya. Tiga pilar ini mencakup sikap kita terhadap masa lalu, masa kini, dan masa depan. Hasan Hanafi juga berupaya untuk merekonstruksi pemikiran Islam agar terbebas dari belenggu yang menindas. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas cara-cara Hasan Hanafi dalam mempertahankan konsep identitas bangsa yang diusung dalam oksidentalisme. Selain itu, penulis juga akan mengeksplorasi konsep oksidentalisme dalam menghadapi pengaruh westernisasi dan Korean Wave yang tengah berkembang saat ini.
Baca Juga: Pengaruh Pendidikan Modern Mesir pada Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia
Pemikiran Modernisme Islam Muhammad Abduh dan Pengaruhnya di Indonesia
Epistemologi Islam Pembebasan Hasan Hanafi
Konsep Oksidentalisme
Wacana oksidentalisme sudah ada sejak zaman peradaban Yunani, terutama ketika muncul penerjemahan ilmu Yunani ke dalam tradisi Islam. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Timur dan Barat telah berlangsung sangat lama dan bukan merupakan konsep baru dari era globalisasi saat ini. Istilah oksidentalisme sendiri diperkenalkan oleh Dr. Hasan Hanafi, seorang pemikir dan penulis Islam. Menurut Hanafi, kajian oksidentalisme dimulai ketika peradaban Yunani menjadi fokus studi dalam Islam, bukan dari asal-usulnya yang bermula di Asia dan berakhir di Barat.
Secara terminologi, istilah oksidentalisme berasal dari kata occident yang berarti negeri Barat. Oksidentalisme adalah kebalikan dari orientalisme, di mana Barat dijadikan sebagai objek kajian dan Timur sebagai subjek yang melakukan kajian. Istilah oksidentalisme muncul sebagai respons terhadap studi orientalisme, yang bertujuan untuk menguasai wilayah Timur beserta pengetahuan dan konsep yang telah berkembang di sana. Selain itu, oksidentalisme juga merupakan reaksi terhadap maraknya westernisasi di era global saat ini.
Oksidentalisme dapat diidentifikasi sebagai kajian tentang Barat, yang secara komprehensif meneliti seluruh aspek kehidupan masyarakat Barat. Aspek-aspek ini kemudian dibandingkan dengan kehidupan masyarakat Timur untuk menemukan perbedaan yang bisa dijadikan bahan studi. Namun, studi oksidentalisme tidak memiliki agenda tersembunyi; tujuannya adalah untuk merebut kembali konsep-konsep Timur yang telah dengan susah payah dibangun, tetapi akhirnya diambil alih oleh Barat.
Selain itu, tujuan yang ingin dicapai dengan hadirnya oksidentalisme sebagai disiplin baru adalah untuk mengontrol Barat agar menyadari batasannya sebagai pihak yang tidak lagi dominan, mempelajari fase sejarah Eropa yang dimulai dari peradaban Mesir hingga Timur Kuno, mengembalikan kebudayaan Barat ke konteks geografis dan historisnya, serta membuka ruang bagi berkembangnya kebudayaan lain tanpa pengaruh Barat. Selain itu, oksidentalisme juga bertujuan untuk membebaskan manusia dari paham rasialisme.
Sebagai kritik terhadap tradisi dan pembaruannya, oksidentalisme bertujuan untuk menghapus dualisme budaya yang memecah belah tradisi lama dan tradisi baru. Selain itu, oksidentalisme juga bertujuan untuk menghilangkan rasa takut dan rendah diri di hadapan Barat dengan menegaskan eksistensi identitas diri kita melalui sikap kritis yang ditujukan kepada Barat.
Pemikir Islam Penggagas Oksidentalisme
Konsep oksidentalisme yang diperkenalkan oleh Dr. Hasan Hanafi merupakan sebuah proyek besar yang diberi judul al-Muqoddimah Fi Ilmi al-Istighrab. Sebagai seorang pemikir Islam, Hanafi menekankan perlunya menentang peradaban Barat. Pernyataan ini muncul jauh sebelum istilah oksidentalisme diciptakan, dan merupakan salah satu alasan keberatan Islam terhadap dominasi Barat yang telah menyebar luas. Oksidentalisme kemudian menjadikan Barat sebagai objek kajian yang perlu diteliti dan dianalisis oleh peradaban non-Barat.
Pengalaman pribadi Hasan Hanafi, yang dimulai dengan pertentangan tajam antara Ikhwan al-Muslimin dan gerakan Revolusi, memotivasi dia untuk menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Dia merasakan kepedihan mendalam atas kekalahan umat Islam oleh Barat. Dari sinilah, Hanafi mengusulkan istilah oksidentalisme sebagai tandingan orientalisme dalam menghadapi Barat. Gagasan oksidentalisme ini bertujuan untuk menunjukkan sikap kritis terhadap tradisi dan pembaruannya, terutama terkait dengan tradisi Barat, serta untuk menanggapi realitas yang ada. Di samping itu, oksidentalisme juga berfungsi sebagai respons terhadap maraknya westernisasi di era modern ini.
Dari berbagai hal tersebut, Hasan Hanafi mengemukakan gagasan Kiri Islam sebagai solusi untuk masalah kontemporer yang dihadapi umat Islam. Untuk memahami pemikiran Hanafi tentang gagasan ini, penting untuk mengetahui terlebih dahulu peranannya sebagai seorang revolusioner. Hal ini dapat dilihat dari munculnya gagasan tersebut bersamaan dengan terjadinya revolusi Islam di Iran. Dengan demikian, tujuan utama Hanafi dalam mengembangkan pemikiran ini adalah untuk mencapai revolusi Tauhid.
Di sisi lain, Hanafi juga berfungsi sebagai seorang reformis yang mendukung perubahan drastis dalam berbagai aspek, termasuk sosial, politik, dan agama. Ia berada pada posisi junior dibandingkan dengan Muhammad Abduh, seorang ulama dan cendekiawan terkemuka di Mesir yang sangat dikaguminya. Selain itu, Hanafi berperan sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme budaya Barat, melanjutkan perjuangan Jamaluddin Al-Afghani dalam menyuarakan persatuan dunia Islam.
Dalam kedua gagasan Hasan Hanafi tersebut, ia menekankan beberapa pilar penting dalam konsep oksidentalisme, yaitu perlunya sikap kritis terhadap tradisi, Barat, dan realitas yang dihadapi. Gagasan ini juga melibatkan dimensi waktu, mencakup masa lalu, masa kini, dan masa depan. Hanafi berpendapat bahwa masa lalu bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau dipertahankan, melainkan harus dijadikan pedoman dan pelajaran untuk masa depan. Masa kini, yang tidak bisa dihindari, dikembalikan, atau diloncati, harus dihadapi sebagai wadah untuk interaksi dan perkembangan kehidupan. Sementara itu, masa depan harus dipersiapkan dan direncanakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam gagasan Kiri Islam, terdapat tiga pilar utama untuk mewujudkan kebangkitan dan revolusi Islam serta kesatuan umat Islam. Pilar-pilar ini meliputi revitalisasi khazanah Islam klasik dengan menekankan teori rasionalisme untuk kemajuan dan kesejahteraan dunia Islam. Selain itu, diperlukan penentangan terhadap Barat untuk menekan imperialisme budaya Barat yang semakin meluas. Juga penting untuk melakukan analisis terhadap realitas dunia Islam agar Islam dapat berbicara mengenai dirinya sendiri dan mencapai cita-cita revolusi Islam. Untuk itu, Hanafi mengkritik metode penafsiran tradisional yang berfokus pada teks, dan lebih memilih metode fenomenologi untuk melihat secara menyeluruh kejadian dan aspek-aspek Islam, dengan harapan agar dunia Islam dapat diperhatikan secara lebih mendalam.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Hasan Hanafi, dalam mengembangkan gagasannya, menggunakan metode dan kerangka pemikiran yang dianggap efektif untuk membantu umat Islam menemukan jati diri mereka dan meraih kemenangan dalam berbagai aspek kehidupan. Pendekatan ini dirancang untuk memperkuat umat Islam di tengah kondisi dunia yang semakin rumit dan tidak terkendali, sehingga meskipun menghadapi tantangan, mereka tetap dapat mengejar ketertinggalan, terutama dalam hal kemajuan Barat.
Pengaruh Korean Wave dan Westernisasi
Di era globalisasi saat ini, berbagai kebudayaan saling berinteraksi dan menghasilkan budaya baru secara global, di mana nilai-nilai, norma, dan produk saling menyatu dan diterima secara bersama-sama. Fenomena ini dikenal dengan istilah melting pot atau peleburan budaya, di mana nilai-nilai budaya Barat mendominasi dan berperan besar dalam pembentukan karakter diri. Akibatnya, nilai-nilai Barat yang tertanam dalam diri individu modern sering kali lebih kuat dibandingkan budaya lokal mereka sendiri. Secara tidak langsung, identitas diri setiap individu bisa tergantikan oleh campuran budaya yang lebih banyak mengacu pada Barat, sebuah proses yang sering disebut westernisasi.
Masuknya westernisasi dan Korean Wave sebagai budaya yang mendominasi secara global sudah berlangsung cukup lama. Westernisasi pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-19 dengan dimulainya sistem imperialisme dan kolonialisme. Pada masa itu, Indonesia mengalami kehidupan yang sangat berat akibat penjajahan oleh berbagai negara Barat. Situasi ini semakin memburuk dengan terjadinya Perang Dunia antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, di mana Amerika Serikat keluar sebagai pemenang. Bersamaan dengan era globalisasi, Amerika Serikat memanfaatkan media sebagai alat untuk menyebarluaskan budaya westernisasi melalui berbagai saluran komunikasi seperti internet, televisi, majalah, radio, film, musik, fesyen, dan lainnya.
Di Indonesia, westernisasi sering dipandang negatif karena budaya Barat dianggap bertentangan dengan budaya lokal Indonesia. Salah satu dampak dari budaya Barat adalah munculnya budaya hedonisme, yang menganggap kesenangan dan kepuasan materi sebagai tujuan utama hidup. Hal ini terlihat dari berkembangnya pusat-pusat perbelanjaan seperti mal, restoran cepat saji, klub, salon, kafe, dan berbagai fasilitas lainnya yang mendukung gaya hidup tersebut.
Sementara Korean Wave muncul pada akhir tahun 1990-an, diperkenalkan oleh budaya dari Korea Selatan, fenomena ini awalnya merupakan hasil dari westernisasi tetapi lebih menekankan nilai-nilai ketimuran dan sikap sopan santun. Berbeda dengan westernisasi Barat yang lebih bebas dan tidak terikat pada norma-norma masyarakat, Korean Wave mencakup film, K-drama, K-pop (musik), dan K-fashion. Awalnya, Korean Wave berkembang di negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang, Vietnam, dan Hongkong. Seiring dengan kemajuan industri di Korea Selatan, Korean Wave mulai merambah ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, Korean Wave mulai dikenal melalui drama "Endless Love" yang ditayangkan di salah satu stasiun TV nasional, yang menjadi langkah awal penyebaran Korean Wave ke skala yang lebih luas.
Berbeda dengan westernisasi, Korean Wave lebih diterima oleh masyarakat Indonesia karena lebih sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal, mengingat kedekatannya dengan rumpun budaya Asia. Saat ini, pengaruh Korean Wave mampu bersaing dengan westernisasi sebagai budaya global yang mendominasi dan menciptakan standarisasi budaya tertentu. Melalui fashion, Korean Wave membentuk hegemoninya, dengan salah satu contohnya adalah tren riasan wajah atau Ulzzang. Banyak orang, terutama remaja, mengadopsi gaya Korean Makeup Look yang dianggap sederhana, segar, dan sesuai dengan karakter wanita Asia.
Oksidentalisme berperan penting dalam membantu mempertahankan identitas diri agar tidak terlalu terpengaruh oleh budaya luar, seperti westernisasi dan Korean Wave. Hal ini penting untuk menjaga semangat nasionalisme dan mempertahankan nilai serta norma dalam diri setiap individu. Menurut Hasan Hanafi, oksidentalisme sebagai sebuah studi dapat memulihkan keseimbangan budaya, terutama dalam konteks Islam. Hanafi juga mendorong adanya perspektif yang seimbang antara Timur dan Barat, termasuk dalam menghadapi westernisasi dan Korean Wave yang populer saat ini. Upaya ini dilakukan dengan saling memberikan kritik dan masukan, sehingga terhindar dari relasi yang bersifat hegemonik dan dominatif.
Kesimpulan
Oksidentalisme berfungsi sebagai alat penting dalam meningkatkan kesadaran orang Timur (Islam) untuk menghadapi Barat. Sebagai lawan dari orientalisme, oksidentalisme menjadikan Timur sebagai subjek pengkajian Barat. Westernisasi dan Korean Wave, yang telah lama menjadi fenomena budaya global, menunjukkan dominasi budaya luar. Di Indonesia, westernisasi sering dianggap negatif karena bertentangan dengan budaya lokal. Sementara itu, Korean Wave, yang berakar dari westernisasi namun menonjolkan nilai-nilai ketimuran dan sopan santun, lebih diterima di Indonesia karena lebih selaras dengan budaya lokal Asia.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pemikiran Islam