Jatukrami di Kasepuhan Gelaralam
Kasepuhan Gelaralam menggelar rangkaian prosesi jatukrami selama lebih dari seminggu. Nama Gelaralam merupakan pergantian dari nama dari Kasepuhan Ciptagelar.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
8 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Kamis, 4 Juli 2024, Elva Yulia Safritri, adik kandung dari pimpinan Kasepuhan Gelaralam, melangsungkan prosesi jatukrami. Dalam Bahasa Indonesia jatukrami berarti pernikahan. Hajatan besar ini dihadiri oleh para petinggi, seperti jajaran pemerintahan kabupaten Sukabumi. Ada juga dari kalangan akademisi, budayawan dan seniman yang mendapat undangan secara langsung dari Abah Ugi selaku pimpinan adat Kasepuhan Gelaralam. Tidak lupa juga rombongan dari pengantin laki-laki yang berangkat dari Bandung, bersama dengan sejumlah aparat untuk mengamankan jalannya resepsi pernikahan.
Prosesi pernikahan tersebut berlangsung sangat meriah. Seperti ditunjukkan dengan gelaran pasar rakyat, perlombaan voli untuk putra dan putri dengan hadiah sebesar 5 juta rupiah, pertunjukan wayang golek, kecapi suling hingga penampilan musik dangdut dari artis ternama.
Sebelum masuk ke Panggung Mamah Ageung, terpampang baliho besar bergambar pasangan mempelai. Pada baliho juga bertuliskan “Jatukrami Elva dan Tama” 04 Juli 2024. Panggung Mamah Ageung sendiri digunakan sebagai tempat utama berbagai upacara. Dari mulai ngaruat, prosesi adat ngarempug, pertunjukan seni, termasuk prosesi jatukrami.
Upacara ngaruat diadakan tanggal 30 Juni 2024. Disusul dengan carita pantun, kirim doa dan pementasan dari berbagai grup kesenian. Pada Senin, 1 Juli 2024 dilangsungkan prosesi adat ngarempug dan Topeng Emer di Panggung Mamah Ageung. Lalu pada hari berikutnya, Selasa 2 Juli digelar pertunjukan pelog atau wayang golek. Pada Rabu, 3 Juli diadakan upacara siraman dan doa, kemudian dilanjutkan oleh jipeng dan penampilan dangdut. Barulah pada Kamis, 4 Juli digelar acara puncak, dengan rangkaian besar, yakni akad nikah, nincak kukuk, resepsi, kecapi suling dan penampilan artis Dhea Gemoi yang berlangsung pada malam hari.
Upacara pernikahan dimulai sekitar pukul 09.00, ditandai oleh suara tembakan senapan dan juga petasan. Sejumlah orang dari pihak pengantin laki-laki berjalan menuju pihak pengantin perempuan. Dengan diiringi oleh perpaduan gendang, trompet pencak dan simbal, sebagian orang dari pihak laki-laki membawa cacandakan. Dalam tradisi Sunda prosesi upacara seperti ini biasa dikenal dengan seserahan, sementara di Kasepuhan Gelaralam dinamakan ngabesan.
Menurut juru bicara Kasepuhan Gelaralam, Yoyo Yogasmana, prosesi upacara ngabesan terdiri dari beberapa rangkaian. Sebut saja mapag panganten, ijab kabul, buka pintu, nincak kukuk, arak-arakan dan sawer panganten.
Dalam mapag panganten Ki Lengser selalu menjadi penghubung antara pihak pengantin laki-laki dengan pihak pengantin perempuan. Begitu pun di Kasepuhan Gelaralam, Ki Lengser mempertemukan pengantin laki-laki dengan Keluarga Abah Ugi sebagai perwakilan pengantin perempuan.
Setelah kedua pihak dipertemukan, sesi berikutnya, yakni prosesi ijab kabul. Kedua pihak duduk saling berhadapan. Pengantin laki-laki berada paling depan, menghadap Abah Ugi selaku wali nikah. Sementara lebe atau penghulu yang didatangkan langsung dari Kantor Urusan Agama setempat berada di posisi paling tengah.
Rangkaian ijab kabul diadakan secara Islam. Mula-mula pemandu acara mempersilakan qari untuk membacakan ayat suci Al-Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan pidato penyerahan dan penerimaan dari tiap-tiap juru bicara pengantin.
Ijab kabul pun berlangsung secara khidmat. Ratusan orang penuh sesak menyaksikan ritual penting di hari itu. Saat ucapan “sah” dari penghulu dilontarkan, suara tembakan dari senapan kembali terdengar. Tidak sedikit juga orang-orang mengucap “alhamdulillah”. Setelah itu penghulu mengiring doa bagi kedua mempelai diikuti oleh sebagian orang yang menghadiri prosesi ijab kabul.
Yang menarik dari rangkaian upacara ini, yaitu arak-arakan. Setelah sesi nincak kukuk, kedua mempelai ditandu menggunakan singgasana kecil. Para pemanggul singgasana melaju ke lapangan luas dan berkeliling dengan diikuti oleh berbagai kalangan. Arak-arakan ini juga diiringi dengan musik gendang, trompet pencak dan simbal. Anak-anak tampak riang. Apalagi setelah itu dilanjutkan dengan upacara saweran.
Menurut Yoyo, upacara nincak kukuk mempunyai makna filosofis tersendiri. Dalam tradisi adat Sunda kawasan Priangan, upacara ini hampir sama dengan nincak endog atau menginjak telur. Bedanya telur digantikan oleh kukuk atau sayuran sejenis labu air. Kukuk, menurut masyarakat Gelaralam serupa dengan rahim. Buah ini dibawa dari surga untuk kehidupan manusia yang kelak akan menjadi tumpuan dalam berumah tangga.
Hingga Minggu 7 Juli 2024, area Kasepuhan Gelaralam terus menampilkan keramaian. Setelah pernikahan Elva Yulia Safitri dengan Rd Tama Febriansyah berhasil digelar, Keluarga Besar Abah Ugi melangsungkan prosesi jatukrami kedua. Kali ini acara pernikahan Elsi Triandani dengan Ujat Mahesa. Prosesi jatukrami berlangsung selama sapeuting, yang berarti tiga hari.
Berbeda dengan jatukrami pasangan Elva dan Tama, prosesi kedua dipadatkan menjadi sapeuting, bahkan tidak ada upacara ngarempug sebelum sesi ijab kabul. Dalam jatukrami pertama, prosesi dilaksanakan dua peuting, yang artinya acara berlangsung selama satu minggu dengan rangkaian lebih beragam.
Tentu saja perbedaan lamanya hajatan mempunyai alasan tersendiri bagi Kasepuhan. Menurut Yoyo, hal ini karena Elva merupakan adik kandung dari Abah Ugi, sehingga sepenuhnya menjadi tanggungan Kasepuhan. Sedangkan Elsi merupakan adik dari istri kedua mendiang Abah Anom alias Encun Sucipta, ayahanda sekaligus pemimpin Kasepuhan Ciptagelar sebelum Abah Ugi.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Belajar dari Negeri Beribu Leuit, Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 1)
Jalan Menuju Kasepuhan Ciptagelar
Memetik Nilai Keberagaman Pangan Nusantara di Balik Upacara Saka Sunda Kampung Cireundeu
Ciptagelar ke Gelaralam
Nama Gelaralam merupakan pergantian dari Ciptagelar. Konsep pergantian ini tentu lazim dilaksanakan di Kasepuhan seiring dengan munculnya wangsit kepada pimpinan adat. Menurut Yoyo, perpindahan ke Gelaralam terjadi pada 1 Maret 2022. Tetapi baru disosialisasikan oleh oleh Kasepuhan pada tanggal 13 Agustus 2023 bertepatan upacara Seren Taun ke-655. Sama seperti sebelumnya, Kasepuhan Gelaralam masih berada di lereng Gurung Halimun. Tepatnya, di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Ihwal nama Ciptagelar, menurut Yoyo memiliki filosofis untuk membuka ruang. Dalam konsepsi masyarakat Kasepuhan disebut ngagelarkeun heula. Pada tahap ini masyarakat Ciptagelar mulai mendapat tugas sekadar menghamparkan tatanan dari karuhun atau leluhur. Sementara dalam Gelaralam, proses menghamparkan lebih meluas dan kian terbuka sekaligus lebih terperinci.
Yoyo menambahkan bahwa di Gelaralam tidak saja memperlihatkan tampilannya, tetapi ilmu alam yang disebut dengan Jagat Gede dan Jagat Alit lebih terbuka. Jagat Alit serupa dengan mikrokosmos, sementara Jagat Gede melingkupi makrokosmos.
“Ciptagelar baru mendapat tugas untuk ngagelarkeun tatanan karuhun, jadi masih tahap awal menggelarkan hal bersifat umum. Di Gelaralam, proses menggelar lebih luas dan semakin terbuka, bahkan lebih detail”, tutur Yoyo.
Acara jatukrami yang telah berlangsung selama satu minggu itu memperlihatkan salah satu bagian kecil masuknya pengetahuan dari luar. Pengetahuan dalam konteks ini dapat diartikan sebagai teknologi, kultur atau nilai-nilai yang tidak ada sebelumnya di Kasepuhan, sehingga hal ini merupakan perwujudan dari konsepsi mengenai Jagat Gede dan Jagat Alit yang lebih terbuka.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel Hafidz Azhar, atau tulisan-tulisan lain tentang kebudayaan Sunda