Apakah Pilkada Kita Terjebak dalam Populisme dan Bagaimana Keluar dari Jebakan tersebut?
Kritik terhadap populisme bukan hanya tentang menolak janji kosong, melainkan juga tentang menuntut demokrasi yang berkualitas.
Hery Prasetyo Laoli
Masyarakat Sipil Biasa
8 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Di tengah hiruk-pikuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), kita seperti sedang menyaksikan pertunjukkan politik yang cukup menghibur, di mana para calon pemimpin kepala daerah telah banyak menunjukkan watak palsunya dengan seolah-olah terjun langsung ke masyarakat membawa janji-janji megah yang dikemas indah.
Di setiap Pilkada mungkin kita sudah bosan mendengar janji-janji yang seolah menawarkan solusi instan bagi masalah-masalah yang kompleks, seperti dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang luas, memastikan kesejahteraan sosial secara merata, menurunkan harga sembako, kesehatan, dan pendidikan yang murah. Namun, di balik janji tersebut, realitas dibaliknya sering kali berbeda karena manipulasi dan janji kosong tanpa rencana yang jelas.
Retorika populis selalu hadir sebagai senjata andalan para calon pemimpin di Indonesia, apa yang mereka janjikan dapat dikatakan hanya merupakan ilusi, seolah-olah semua masalah dapat diselesaikan hanya dengan mengucapkan janji manis. Mereka memanfaatkan masalah masyarakat tanpa benar-benar memahami bagaimana cara menyelesaikan masalahnya. Janji mereka hanya sekedar manipulasi emosional yang tujuannya hanya untuk menarik simpati masyarakat. Populisme seperti ini tidak memecahkan masalah karena tidak memberikan solusi konkret, yang ada hanyalah menunda krisis.
Dalam dunia yang ideal, politik seharusnya berlandaskan pada kebijakan yang terstruktur dan terukur agar dapat diimplementasikan, bukan pada janji yang mustahil untuk dicapai. Andai kata bisakah kita mematahkan siklus populisme ini? Tentu bisa. Tidak ada ruang bagi janji kosong dalam demokrasi yang sehat. Justru di tengah janji-janji muluk dari para calon, kita harus berani untuk menuntut bukti nyata dan rencana yang terukur pada mereka. Tuntutan inilah yang akan memaksa calon untuk berhenti menjual ilusi dan mulai berbicara tentang solusi.
Kita harus mengedepankan diskusi yang berbasis pada kebijakan nyata dan hasil yang konkret. Kita harus menolak politik yang hanya mengejar popularitas tanpa substansi yang jelas. Karena di saat janji mereka tidak mempunyai landasan rencana yang jelas, maka kedok janji populis mereka akan terbongkar kebohongannya. Dengan begitu kita benar-benar mengawal proses demokrasi yang lebih baik dan berkualitas, di mana kita dapat mengeliminasi calon yang manipulatif dan melahirkan pemimpin yang berkualitas.
Baca Juga: Dilema Pencalonan Artis dalam Pilkada Bandung Barat
Unboxing Pilkada Jawa Barat, Partisipasi Gen Z dan Milenial Menentukan Arah Politik Daerah
PILKADA JABAR 2024: Pemilih Pemula di Bandung Menghadapi Para Kandidat tak Dikenal
Jebakan Populisme
Populisme adalah antitesis dari demokrasi yang berkualitas. Disadari atau tidak, selama ini kita memberikan panggung politik kepada para calon pemimpin untuk menyampaikan janji-janjinya dan visi dan misi yang tak realis, dan tanpa kita sadari bahwa kita telah abai dalam diskusi substansial yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah.
Dalam teori politik, diskusi yang berkaitan dengan kebijakan ke depan yang ditawarkan calon pemimpin untuk memecahkan masalah dalam masyarakat seharusnya menjadi inti dari setiap proses demokrasi. Namun, demokrasi kita memang sedang dalam fase kritis dalam beberapa tahun ini, di mana populisme telah merusak fondasi demokrasi kita.
Suka atau tidak, fakta banyaknya calon pemimpin dalam Pilkada kali ini yang tidak suka membaca, tidak pernah berkecimpung di organisasi masyarakat, dan kurang memiliki wawasan yang luas tentang isu-isu sosial yang dihadapi masyarakat, namun ikut meramaikan panggung politik. Apalagi saat kampanye, para calon hanya sibuk menjual citra diri daripada menawarkan rencana yang jelas. Apakah ini yang kita inginkan dalam demokrasi? Tentu tidak. Kabut populisme semacam ini adalah kabut yang berbahaya untuk demokrasi kita. Sebab populisme semacam ini telah menyelimuti nilai substansi dari apa yang akan mereka emban ke depannya.
Demokrasi bukanlah soal siapa yang paling populer, melainkan siapa yang paling siap membawa perubahan yang nyata. Kita harus menuntut substansi bukan sekedar janji palsu. Oleh karenanya, diskusi yang berbasis pada kebijakan adalah hal yang sifatnya revolusioner di era demokrasi yang kian runyam akibat populisme yang penuh dengan kebohongan.
Rasanya menjadi sebuah keharusan untuk mendesak calon pemimpin kita untuk berbicara dengan data, bukan hanya dengan janji kosong yang isinya melompong. Dengan demikian, demokrasi kita akan menjadi lebih sehat dan berkualitas. Sebab ketika populisme tidak lagi mendominasi panggung politik, ruang diskusi akan terbuka lebih mendalam yang didasarkan pada realitas. Inilah tujuan dari demokrasi sebenarnya yang menyingkirkan sandiwara populisme dan kita perlu membangun kembali demokrasi yang berlandaskan pada kebenaran dan nilai substansi.
Menjadi Pemilih yang Kritis
Kritik terhadap populisme bukan hanya tentang menolak janji kosong, melainkan juga tentang menuntut demokrasi yang lebih matang, yang lebih sehat, dan yang lebih jelas, terukur, serta terencana. Kita harus mulai melihat politik sebagai perjuangan untuk perubahan yang nyata, bukan hanya permainan kata-kata.
Dalam demokrasi yang sehat, kebijakan dan rencana yang jelas harus menjadi fokus utama bagi masyarakat. Namun, karena populisme – kita disodorkan oleh kata-kata manis yang mungkin mengunggah emosi dan tanpa dikritisi kembali apa yang sebenarnya mereka janjikan? Dan bagaimana rencana mereka itu akan diimplementasikan?
Kita harus menjadi pemilih yang bijak yang tidak terjebak dalam populisme. Kita perlu untuk mengawal demokrasi kita dengan mengevaluasi setiap janji berdasarkan logika dan bukti. Kebijakan yang calon pemimpin usulkan harus dapat diukur dan diuji, dan kita harus memaksa para calon untuk berbicara dalam bahasa kebijakan, bukan sekedar retorika tanpa arah yang jelas.
Mungkin dengan menuntut kebijakan yang jelas menjadi salah satu upaya revolusioner di tengah politik dengan janji busuk. Kita harus punya keberanian untuk menolak calon pemimpin yang hanya mengandalkan retorika dan jika bisa kita diskualifikasi secara paksa.
Politik populisme mungkin dapat dipatahkan dengan mengedepankan diskusi publik yang berbasis pada data dan rencana yang realistis. Sebagai pemilih yang kritis, menggali lebih dalam janji yang disampaikan dan menanyakan kembali apakah janji tersebut bisa diimplementasikan? Jika tidak, maka itu hanya omong kosong. Pemilih yang kritis adalah benteng terakhir dari demokrasi yang sejati. Kita harus bisa keluar dari permainan janji busuk calon pemimpin dengan menyeleksi mereka dalam diskusi publik tentang kebijakan yang nyata demi demokrasi yang lebih matang.
Dan terakhir, jika kita terbuai dalam Pilkada yang dianggap sebagai panggung politik, maka kita harus menjadi bagian dalam proses demokrasi yang sehat. Demokrasi bukan sekedar panggung politik, ia adalah perjuangan yang berlandaskan pada realitas yang jelas dan kebijakan yang terencana. Jika demokrasi kita hanya diisi dengan janji-janji palsu yang dijanjikan calon pemimpin, kita kehilangan esensi dari partisipasi politik.
Panggung politik memang bagian dari demokrasi kita, namun kita harus menjadi pemilih yang kritis yang menuntut lebih dari sekedar omong kosong semata. Kita harus mendorong perdebatan yang lebih substansial, mendesak para calon untuk mengungkap rencana nyata di balik retorika mereka. Revolusi politik tidak dimulai dari jalanan, melainkan dimulai dari kesadaran kita sebagai pemilih. Ketika kita menolak terperangkap dalam sandiwara politik yang hanya mengejar popularitas demi suara, kita juga perlu dan harus bersuara untuk membuka ruang diskusi yang mendalam dengan calon pemimpin. Sebab Pilkada seharusnya menjadi medan kontestasi ide dan gagasan, bukan panggung sandiwara yang penuh drama tanpa makna.
Namun, masalahnya maukah para calon pemimpin itu dibombardir secara kritis oleh masyarakatnya? Tentu jarang sekali pemimpin yang siap dikritisi oleh masyarakatnya, inilah yang menjadi kendalanya. Demokrasi kita tidak akan berkembang ketika pemimpinnya anti kritik, dan hari ini Indonesia sedang dilanda pada para pemimpin yang anti kritik, sehingga akhir kata demokrasi kita sedang terkikis oleh populisme yang menjadi salah satunya faktor kehancuran kualitas demokrasi.
HANCURKAN POPULISME DEMI DEMOKRASI YANG BERKUALITAS
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pilkada