• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kampung Apandi, Candu, dan Prostitusi #2 Kisah Keluarga Afandi

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kampung Apandi, Candu, dan Prostitusi #2 Kisah Keluarga Afandi

Kiprah keluarga besar Afandi mengubah wajah kampung di barat Pedatiweg yang kemudian dikenal sebagai Kampung Afandi. Hingga kini masih disebut Gang Afandi/Apandi.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Lahan bekas rumah Afandi pada tahun 1980-an menjadi travel 4848 dan sekarang telah menjadi lahan Hotel Kedaton di Jalan Ssuniaraja. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

12 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Di bagian pembuka minggu lalu dijelaskan bahwa jalur pedati ini dibuka karena adanya pengiriman rempah terutama kopi  ke arah gudang yang berada di kawasan Balai Kota Bandung sekarang. Namun  ternyata budidaya kopi mengalami pasang surut.

Di tahun 1878 penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV) menyerang dan merusak perkebunan kopi di Hindia Belanda. Pada tahun 1900-an pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan kopi Robusta kepada petani karena kopi jenis ini lebih tahan terhadap penyakit karat daun. Dan budidaya kopi robusta tersebut mulai berkembang di Sumatra.

Tahun 1860-an kawasan perkampungan di barat Pedatiweg mulai lambat laun ditinggalkan para kusir dan buruh angkut. Semua terkendala akan pasang surut dari pengiriman kopi ke gudang, dan hal ini menjadikan kawasan tersebut  semakin sepi.

Berbeda hal dengan kawasan selatan yang dihuni oleh koloni Soeniaradja. Kawasan tersebut semakin ramai dan para warga mulai menamai kawasan Pedatiweg menjadi kawasan Wangsalapiweg.

Wangsalapi adalah salah satu pemimpin dari koloni Soeniaradja. Ia adalah bekas salah satu prajurit perang Diponegoro. Menurut penuturan para narasumber, terkadang Wangsalapi selalu berkuda di pagi hari ke arah timur dan utara dari koloni.

Percetakan Afandi 1912 sebelum di jual kepada van Dorp.  (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Percetakan Afandi 1912 sebelum di jual kepada van Dorp. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Misteri Tuan Nipius dan Menghilangnya Dracula dari Braga
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Wong Kalang yang Dipaksa Hidup Berpindah-pindah
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kampung Apandi, Candu, dan Prostitusi #1

Urang Pasar

Di tahun 1880-an datanglah para Wong Kalang yang saat itu telah berpindah dari Kota Gede, Yogyakarta ke Pekalongan. Mereka merupakan keluarga besar yang nantinya menjadi bagian dari keluarga besar Pasar Baru Bandung (urang pasar).

Sang kepala keluarga bernama Muhammad Ali dan istrinya yang bernama Khodijah (bukan nama asli, karena setelah mereka hijrah dari Yogyakarta ke Pekalongan, mereka mengganti nama mereka). Awalnya mereka menempati sebuah rumah yang telah disediakan keluarga lainnya yang telah terlebih dahulu hijrah ke Bandung. Mereka menempati sebuah rumah di Jalan Kebon Sirih, tidak jauh dari gedung Pakuan.

Setelah tinggal beberapa bulan, mereka kemudian membeli beberapa tanah di kawasan Jalan Veteran sekarang dan lahan bekas los-los yang dipakai oleh para kusir dan para buruh angkut. Bahkan pada perkembangannya mereka membeli banyak lahan di kawasan Lembang, sehingga di Lembang pun banyak anggota keluarga besar Pasar Baru sejak masa kolonial, terutama di kawasan jalan Maribaya, dan belakang Alun-alun Lembang.

Muhammad Ali dan Khodijah memiliki 3 orang putri, yang pertama bernama Aisyah, yang kedua bernama Ruminah, dan yang bungsu bernama Utiara. Aisyah ini menikah dengan seorang pengusaha minyak  akar wangi dari Tarogong, Garut bernama Muhamad Afandi. Mereka membangun rumah di kawasan utara perkampungan bekas los-los para kusir pedati dan buruh angkut. Letak tepatnya rumah mereka adalah yang menjadi lokasi hotel Kedaton, Suniaraja. Rumah mereka tidak terlalu besar, terbuat dari bilik dan kayu jati bermodel panggung dengan halaman yang cukup luas. Di halamannya tersebut Aisyah banyak menanam tanaman obat dan Afandi banyak menaruh rumah rumahan kecil sebagai kandang burung merpatinya yang mencapai puluhan ekor.

Toko Buku Van Dorp di Braga, sekarang menjadi Gedung Landmark. (Foto: Sumber KITLV)
Toko Buku Van Dorp di Braga, sekarang menjadi Gedung Landmark. (Foto: Sumber KITLV)

Afandi tercatat sebagai anggota teosofi dan membuka percetakan buku-buku teosofi di lahan timur rumahnya yang bernama “ Toko Tjitak Afandi”. Ia banyak mencetak karya-karya sahabatnya yaitu Hasan Mustapa, yang menurut penuturan para narasumber, Hasan Mustapa sering terlihat duduk di teras rumah Afandi.

Pasangan Afandi dan Aisyah ini tidak memiliki keturunan, namun mereka memiliki beberapa anak angkat. Sayangnya Aisyah harus mengalami kelumpuhan sehingga menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Hal ini membuat Afandi memutuskan untuk lebih konsentrasi kepada kesehatan sang istri. Afandi akhirnya menjual percetakan kepada seorang  Belanda bernama Gerard Carel Theophilus  van Dorp yang kemudian di tahun 1922 membangun sebuah toko buku yang terkenal bernama Toko Buku Van Dorp (sekarang gedung Landmark Braga) yang diarsiteki oleh Wolf Schoemaker.

Peta kawasan kampung telah menjadi kawasan Kebon Jeruk pada peta tahun 1926. (Foto: Sumber KITLV)
Peta kawasan kampung telah menjadi kawasan Kebon Jeruk pada peta tahun 1926. (Foto: Sumber KITLV)
Kampung Afandi

Perkampungan bekas los-los kusir pedati dan buruh angkut yang akhirnya dibeli oleh pasangan Muhammad Ali dan Khodijah ini pun akhirnya dikelola menjadi kebun jeruk dan beberapa rumah petak sederhana yang disewakan kepada para pendatang dari kawasan Panjalu, Ciamis.  Keluarga besar Muhamad Ali mengubah kawasan kampung yang tadinya kumuh dan jorok menjadi kawasan yang asri dan nyaman. Mereka menanam berbagai jenis jeruk dan pohon coklat di sepanjang jalan, hingga kawasan kampung ini diberi nama Kebon Jeruk sebagai penghijauan di barat Braga oleh para orang Belanda.

Kiprah keluarga gesar ini tidak lepas dari sosok Afandi yang sangat ramah dan membumi. Hingga pada perkembangannya kawasan kampung los-los bekas para kusir pedati dan buruh angkut  ini pun berubah  namanya menjadi kawasan kampung Afandi yang hingga kini pun masih disebut Gang Afandi/Apandi.

Halaman belakang rumah Afandi pernah  dijadikan kontrakan. Salah satu yang mengontraknya yaitu pasangan Ibu Inggit Garnasih dan Sukarno. Dahulu warga menyebut kawasan kontrakan itu dengan sebutan Blok Kouneng.  Kawasan Blok Kouneng ini sekarang adalah kawasan Majid Persis yang berada tidak jauh dari  Viaduct Bandung.

Buku tentang sejarah Bank Himpunan Saudara. Jahya Adiwinata duduk paling kanan. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Buku tentang sejarah Bank Himpunan Saudara. Jahya Adiwinata duduk paling kanan. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

Keluarga Muhammad Ali dan Khodijah, yang kemudian warga Bandung lebih mengenalnya dengan sebutan keluarga besar Afandi ini dapat ditemui silsilahnya dalam buku Silsilah Keluarga Besar Pasar Baru Bandung halaman 158 pada bagian P.  Kiprah keluarga ini cukup banyak bagi perkembangan Bandung.

Salah satu keponakan Afandi yang bernama Jahja Adiwinata adalah salah satu pendiri dari Bank Himpunan Saudara yang didirikan tahun 1906. Sekarang bank tersebut bernama Bank Woori  Saudara. Adik ipar dari Afandi yang bernama Muhammad Ilyas adalah seorang pebisnis telur asin terbesar di Bandung, selain semuanya tetap berbisnis kain batik di kawasan Pasar Baru.

Nama besar keluarga Afandi juga ternyata dapat ditemukan di beberapa data loji  teosofi kota Bandung. Bahkan ada beberapa dari anggota keluarga mereka yang merupakan anggota dari Gereja Katolik Bebas,  dan kisah selengkapnya  akan saya bahas pada bagian ke-3 minggu depan. 

 *Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//