• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #7: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (4)

MULUNG TANJUNG #7: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (4)

Kampung Ciguriang tahun 80an kental dengan suasana perdesaan. Mendengarkan radio dengan daya batu batre, acara favorit waktu itu serial dongeng Mang Barna.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Ilustrasi. Kota Bandung dahulu masih berupa kampung. Cepat berubah menjadi kota besar. (Foto Ilustrasi: My Ninja AI)

14 Oktober 2024


BandungBergerak.idHaryoto Kunto dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya menuliskan, Kebon Kawung adalah sebuah kampung tertua di Bandung. Beberapa keluarga penghuninya secara turun-temurun menjalani profesi sebagai dobi atau minatu tradisional. Hal ini didukung dengan adanya mata air Ciguriang yang terletak di tengah-tengah kampung.

Kehidupan keluarga yang bermata pencaharian sebagai dobi atau minatu – kini lebih dikenal laundry – masih bisa ditemukan di antara tahun 1970-an sampai akhir tahun 1980-an, walaupun hanya sisa-sisa masa lalu.

Ciguriang Tahun 1970-an Hingga 1980-an

Perkembangan kota Bandung melaju makin pesat, kemajuan teknologi mempercepat perubahan Bandung menjadi sebuah kota besar. Tapi Ciguriang masih berupa kampung dengan pepohonan besar, beberapa hewan masih sering ditemukan, ular dan puluhan katak yang tiba-tiba sering muncul, burung-burung yang ramai bercicit setiap pagi, suara berbagai macam serangga, misalnya suara turaes dan tonggeret yang sering terdengar menjelang musim kemarau.

Abah Ilim yang memelihara banyak hewan peliharaan seperti ayam, itik, soang, bahkan domba membuat suasana perdesaan makin terasa. Pohon jambu batu, belimbing, alpukat, anggur, bahkan rumpun tebu ada di halaman kami. Keberadaan hewan-hewan ternak itu menarik perhatian rombongan siswa Taman Kanak-kanak yang sering mampir saat mereka berjalan-jalan mengelilingi kampung. Listrik belum sepenuhnya menyentuh kampung ini, maka belum banyak keluarga yang memiliki peralatan elektronik.

Tapi di luar kampung Ciguriang, Bandung berkembang sebagaimana mestinya. Sejalan dengan perkembangan zaman pada masa itu. Walaupun Bandung masih lengang, kendaraan umum sudah banyak hilir mudik di jalan-jalan kota. Pada waktu itu selain delman dan becak, oplet menjadi kendaraan umum yang banyak digunakan.

Meskipun suasana perdesaan masih sangat kental, tidak berarti warga Kampung Ciguriang mengalami ketertinggalan kehidupan sosialnya. Kampung Dobi yang terletak di Kawasan Kebon Kawung itu mempunyai letak yang sangat strategis. Akses menuju pusat kegiatan ekonomi dan hiburan kota, seperti Pasar Baru dan Alun-alun Bandung, fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit Mata, Rumah Sakit Rancabadak (RSHS), fasilitas transportasi seperti Stasiun Kereta Api, Pool DAMRI, sangat mudah dijangkau. 

Ambu, ibu saya, bercerita, waktu kecil pernah menonton film di bioskop, salah satu film yang pernah Ambu tonton adalah film Tiga Dara, film yang dibintangi tiga aktris cantik Chitra Dewi, Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak itu rilis di tahun 1957, sebuah film musikal yang disutradarai Usmar Ismail. Walaupun belum mengerti alur cerita, karena Ambu masih kecil waktu itu, dan menonton pun karena diajak oleh kakak-kakaknya, selepas menonton film ini Ambu sering menyenandungkan lagu “Tiga Dara” itu sambil bergaya seolah-olah seorang penyanyi yang sedang manggung, padahal waktu itu sedang bermain bersama teman-temannya di kebun singkong.

Ini kisah tiga dara

Tiga-tiga terpikat asmara

Apalah daya kami yang bertiga

Dilamun cinta ooo tiga dara

Dan di tahun-tahun setelahnya Ambu dan kakak-kakaknya juga beberapa kali nonton bioskop, film-film yang ditontonnya antara lain film-film yang dibintangi Benyamin S., Bing Slamet, Titiek Puspa, dan lain lain.

Di tahun 1960-1970-an Ambu dan beberapa keluarga yang tinggal di Kampung Ciguriang juga biasa menikmati lagu-lagu yang sedang populer pada saat itu melalui gelombang radio transistor dengan daya batu baterai. Lalu dinyanyikan bersama teman-temannya di lokasi kelapa doyong yang sempat saya ceritakan dahulu. Melalui radio transistor pula warga bisa menerima berita-berita dari peristiwa yang terjadi. Dan tak lupa tahun 1970-1980-an dongeng sunda juga menjadi hiburan yang ditunggu warga Bandung umumnya.

Pertengahan tahun 1980-an sekitar tahun 1982, saya sudah duduk di bangku awal Sekolah Dasar. Kami suka berkumpul bersama Abah Ilim dan adik-adik mendengarkan dongeg Sunda, salah satu yang masih berkesan adalah  Jaka Santang, Si Buntung Jago Tutugan, karya S. Sukandar, Si Rawing Karya Yat R., dan banyak lagi, dengan pendongeng favorit kami waktu itu Mang Barna, yang selalu mengakhiri dongengnya dengan kalimat yang khas, “Euuuh waktosna kabujeng nengnong”, menandakan jam siar dongeng Sunda sudah habis, dan kami harus rela menunggu sampai keesokan harinya.

Ilustrasi musik dan suara latar selama penayangan dongeng membuat imajinasi pendengar berputar seolah layar lebar yang menunjukkan adegan demi adegan yang dituturkan sang juru dongeng. Dan ilustrasi suara latar yang terngiang di telinga saya sampai saat ini adalah suara babaung lolongan anjing, karena membuat merinding, menakutkan! Saya selalu menutup telinga rapat-rapat saat suara itu terdengar di radio. Kegemaran kami mendengarkan dongeng Sunda melahirkan julukan baru yang diberikan Abah Ilim buat adik saya si pangais bungsu, Abah Ilim sering menyebut cucunya itu si Santang.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #4: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (2)
MULUNG TANJUNG #5: Kebon Kawung dari Masa ke Masa
MULUNG TANJUNG #6: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (3)

Mata air di Kampung Dobi, Ciguriang, Kota Bandung, 2021. (Foto: Ernawatie Sutarna/Penulis)
Mata air di Kampung Dobi, Ciguriang, Kota Bandung, 2021. (Foto: Ernawatie Sutarna/Penulis)

Dobi di Tahun 1970-1980an

Abah Ilim atau Abah Salim adalah anak angkat dari abah Mulya, dobi di masa pendudukan Belanda. Sebetulnya Abah Ilim adalah adik lain ibu dari Abah Mulya, tapi karena usia yang terpaut jauh, hubungan mereka akhirnya seperti ayah dan anak, Salim kecil pun memanggilnya Abah. 

Karena sering membantu proses perdobian, lama kelamaan, Bah Salim pun menguasai teknik-teknik mencuci dan menyetrika. Ilmu perdobian dari Abah Mulya menurun kepada Abah Ilim. Dan sepeninggal Abah Mulya, Abah Ilim meneruskan profesi sebagai dobi sejak tahun 1950an. Sekilas di tulisan yang lalu sudah saya disebutkan bahwa langganan abah Ilim tersebar dari lingkungan sekitar Kebon Kawung sampai ke Pamoyanan dan Tegallega. 

Bah Ilim juga masih menggunakan sumber  mata air Ciguriang sebagai tempat mencuci. Dan tahang serta sundung sebagai alat bantu pada saat mencuci. Saya masih melihat salah satu tahang punya abah sampai saya duduk di bangku SMP.

Tahang adalah satu alat tampung air yang tediri dari bilah-bilah kayu jati yang dibentuk melingkari alas lingkaran, lalu diikat pelat logam. Biasanya tahang ini digunaan sebagai tempat merendam atau membilas cucian. Cucian-cucian yang sudah selesai dibilas ditiriskan dengan disampirkan di atas sundung, alat pikul yang terbuat dari bambu. Oleh para dobi, sundung dipakai memikul cucian dari rumah ke Ciguriang dan dari Ciguriang ke tempat cuci. 

Banyak aktivitas dobi yag menarik dan masih saya ingat. Tak sabar untuk menuliskannya dan membagikannya lagi pada para pembaca.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//