• Narasi
  • Ngarumat Mata Cai Cihanjuang, Upaya Perbaikan Alam Lewat Jalan Kebudayaan

Ngarumat Mata Cai Cihanjuang, Upaya Perbaikan Alam Lewat Jalan Kebudayaan

Bentuk kebudayaan seperti tradisi ritual ngarumat menjadi salah satu cara mendorong perbaikan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Jundighifari

Mahasiswa Jurusan Antropologi Budaya ISBI Bandung

Acara ritual Ngarumat Mata Cai Cihanjuang di Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, 27 September 2024. (Foto: Dokumentasi Jundighifari)

16 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Terik matahari berkurang perlahan, pelan-pelan ia beranjak ke arah barat diantar semilir angin sepoi-sepoi pulang menuju tempat terbenam. Waktu itu sore, Jumat, 27 September 2024, sekelompok pemuda warga Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, berjalan bersama menyusuri selokan menuju mata air Cihanjuang dengan membawa pohon kiara kecil, dupa, tikar, tembakau, dan alat dokumentasi ala kadarnya, mereka bermaksud hendak melakukan ritual ngarumat mata air tersebut.

Ada beberapa orang tua yang sengaja diundang, mereka adalah Haji Ato dan Ibu Isyah, keduanya adalah keturunan tokoh yang dahulunya juru kunci (kuncen) mata air Cihanjuang. Sekitar pukul 4 sore, saat matahari sudah tidak begitu terik, seluruh peserta duduk di atas sawah kering yang sudah dipanen di pinggir area mata air. Menurut warga sekitar, mata air Cihanjuang ini dulunya memiliki peran vital bagi kehidupan petani khususnya dan umunya bagi masyarakat desa .

Acara yang digelar kecil-kecilan ini cukup menyita perhatian beberapa orang dari kejauhan. Ya, mungkin petani yang masih menyelesaikan pekerjaannya atau yang hendak pulang, karena memang sudah waktunya pulang.  Wajarlah kalau mereka agak keheranan, karena acara yang seperti ini belum pernah diadakan sebelum-sebelumnya di mata air Cihanjuang.

Mang Dadang selaku yang paling senior, mulai membuka percakapan, lalu memandu berjalannya acara sesuai rundown hasil musyawarah. Suaranya yang pelan kalau bicara cukup terdengar jelas, karena hawar angin sore itu tidak terlalu riuh. Acara dimulai dengan sambutan dari Haji Ato, beliau menceritakan singkat tentang air Cihanjuang ini.

“Salah satu kehebatan air Cihanjuang ini, tidak pernah kering meskipun kemarau sepanjang tahun. Selain itu, orang-orang juga sering memanfaatkan keberkahan air ini untuk mengobati penyakit seperti gatal-gatal, kudis, bahkan kalau ada yang mau cepet dapat jodoh mandi aja di sini,” ujar Haji Ato.

Sementara menurut Ibu Isyah, sasakala air ini dinamai Cihanjuang ketika dulu Aki Nur Hafi dari Limbangan, diberi seekor ikan mas dan seekor ikan bogo hijau oleh seorang kiai Limbangan. Atas pesan beliau kedua ikan itu disimpan di mata air ini. “Cihanjuang itu ada dua” katanya, “di sini satu, di daerah limbangan dekat lewo, satu.”

Seusai bercakap-cakap seputar Cihanjuang, acara pun dilanjut dengan tawasulan dan doa bersama. Lalu acara ditutup dengan penanaman pohon kiara sebagai simbolis.

Baca Juga: Perempuan Penjaga Tradisi di Kampung Adat Cireundeu
Merawat Tradisi Adu Domba
Jejak Luhur Batik Indonesia, dari Tradisi Hingga Warisan Budaya Bandung

Ngaruwat dan Ngarumat

Dalam kebudayaan Sunda ada beberapa istilah yang punya arti cukup berdekatan. Ada ngaruwat, ngaruwat adalah suatu prosesi ritual yang ditujukan sebagai bentuk pembersihan dari segala dosa akibat kesalahan orang, atau perbuatan buruk sekelompok orang di masa lalu. Menurut Sri Mulyasari (2022) istilah ini berasal dari Bahasa Sunda yang artinya “selamatan untuk menolak bala”.  Ada juga  istilah ngarumat, secara Bahasa berasal dari rawat-rumawat yang artinya merawat. Maknanya hampir sama dengan ngamumule, “Cuma bedanya ngarumat mencakup aspek lahiriah dan batiniyah” kata Dede Nanang salah seorang praktisi spiritual dalam perbincangan bersama penulis.

Mata air Cihanjuang penting untuk terus dilestarikan, dirawat berikut seluruh tradisi yang meliputinya dan dikaji lebih lanjut.  Mengingat mata air ini adalah satu-satunya situs yang dimiliki warga Cihanjunag. Lebih jauh dari itu, penulis bahkan meyakini mata air ini sebagai identitas Budaya Sunda orang Cihanjuang. Bahkan karena mata air tersebut, desa dinamai “Cihanjuang”. Konon di sekitar mata air banyak didapati tanaman Hanjuang  (Cordyline fruticose), tanaman itu berfungsi sebagai pagar pembatas sawah.

Dari kacamata medis, pohon hanjuang sendiri memiliki banyak manfaat sebagai tanaman obat. Dikutip dari laman web manfaat.co.id tanaman ini memiliki banyak kandungan nutrisi dan antioksida seperti flavonoid, zat besi, tannin, saponin, timidine, polifenol, polisakarida, steroida, kalsium oksalat. Banyaknya kandungan pada daun satu ini membuatnya dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit, di antaranya batuk, TBC, sesak, sembelit, nyeri pada haid, radang tenggorokan, diare, ambeien , sampai luka-luka luar. Selain itu daun hanjuang juga kerap dijadikan sebagai bahan obat kecantikan karena dapat membantu mencerahkan kulit dan mengurangi jerawat.

Sejumlah fakta di atas tersebut mungkin bisa menjadi asumsi penguat mengapa air Cihanjuang diyakini masyarakat mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit serta memberikan pancaran aura kecantikan bagi yang mandi di sana. Tentu hal ini perlu dikaji lebih lanjut dari berbagai aspek, baik medis ataupun kebudayaan.

Warga terlihat masih memanfaatkan mata air Cihanjuang untuk keperluan rumahnya.(Foto: Dokumentasi Jundighifari)
Warga terlihat masih memanfaatkan mata air Cihanjuang untuk keperluan rumahnya.(Foto: Dokumentasi Jundighifari)

Cerita Magis Mata Air Cihanjuang

Membicara mata air Cihanjuang tidak mungkin terlepas dari cerita magis yang meliputinya. Cerita-cerita mistik tersebut sudah sangat popular di kalangan masyarakat, berkembang dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.

“Air Cihanjuang itu banyak memberi keberkahan bagi yang orang memanfaatkannya, tapi kalau mata airnya dibenahi, dibagus-bagus, dia enggak mau”, begitu kata Isyah (56 tahun) menjelaskan. Menurut beberapa cerita yang berkembang, mata air ini sempat beberapa kali hendak disalurkan untuk kepentingan masyarakat di permukiman. Mungkin maksudnya baik,  supaya warga yang rumahnya jauh dari sumber air bisa mendapatkan akses air dengan mudah. Namun hal yang terjadi, air Cihanjuang malah tidak mau mengalir, padahal kondisi bak penampungnya terisi penuh.

Hal serupa juga terjadi saat air hendak disalurkan ke salah satu masjid besar di desa. Pipa-pipa besi berukuran sedang sudah dipasang dan dipastikan air dapat mengalir karena posisi masjid berada di dataran lebih rendah daripada bak penampungan mata air, meskipun jarak antara keduanya sih tidak terlalu dekat. Tapi yang terjadi adalah mata air tersebut menghilang, lalu alirannya pindah dari arah lain. Syahdan, menurut Haji Ato hal tersebut mustahil. Namun ceritanya demikian adanya.

Memang kalau dikaitkan dengan sifat kemanusiaan, mestinya siapa yang butuh, dia yang datang. Begitu juga mungkin sifat mata air Cihanjuang.

Sumur koin tempat warga menaruh sedekah alamnya. (Foto: Dokumentasi Jundighifari)
Sumur koin tempat warga menaruh sedekah alamnya. (Foto: Dokumentasi Jundighifari)

Ritual Orang Terdahulu yang Mulai Ditinggalkan

Ada beberapa ritus menarik yang kerap dilakukan masyarakat Cihanjuang dalam memperlakukan mata air ini. Salah satunya adalah ritual melempar koin ke dalam air. Ritual ini dilakukan warga saat hendak mengambil air dari sana. Jadi sebelum mengambil air, mereka harus memberikan semacam sedekah alam sebelum memanfaatkan air Cihanjuang untuk keperluan mereka. Dalam kebudayaan Sunda dikenal istilah tata titi (etika orang sunda), nah ritual ini pun bisa dikatakan sebagai upaya tata titi masyarakat dalam interaksinya dengan

Interaksi ini bisa kita maknai lebih luas sebagai pola hubungan manusia dengan alam.  Melalui ritual-ritual tradisi kita bisa menyadari hubungan antara manusia dan alam yang semestinya. Di tengah pergumulan pola hidup manusia modern yang  antroposentris (menempatkan alam sebagai objek eksploitasi), yang menyebabkan timbulnya krisis dan kerusakan alam, bentuk kebudayaan seperti tradisi ritual ngarumat bisa berfungsi sebagai salah satu opsi solusi perbaikan alam dan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang budaya dan tradisi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//