• Berita
  • Nonton Bareng Film Pesta Oligarki di Perpustakaan Ajip Rosidi, Rakyat Hanya Jadi Penonton

Nonton Bareng Film Pesta Oligarki di Perpustakaan Ajip Rosidi, Rakyat Hanya Jadi Penonton

Watchdog Documentary kembali merilis film teranyar mereka. Film Pesta Oligarki menunjukkan bagaimana kekuasaan dibagi-bagi.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Kedai Jante menggelar nonton film Pesta Oligarki di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut No. 2, Bandung. (Foto: Viriya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam19 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Tinggal menghitung hari ke depan, pemerintahan Joko Widodo-Ma’aruf Amin akan segera berakhir. Bahtera kekuasaan akan digantikan oleh presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka. Tanggal 20 Oktober nanti, pasangan ini akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden periode 2024-2029.

Sebelum pergantian kekuasaan dilaksanakan, Watchdog Documentary kembali merilis film teranyar mereka berjudul Pesta Oligarki. Film berdurasi 53.46 menit tersebut merekap kontestasi politik tahun 2024 dan sudah di tonton secara bareng di berbagai daerah di Indonesia.

Delapan bulan lalu atau sehari sebelum pemilihan presiden, pada 13 Februari,  Watchdog Documentary meluncurkan film bertajuk Dirty Vote. Film tersebut mampu mendulang penonton sebanyak 9,6 juta views di YouTube.

Ada tujuh babak dalam film Pesta Oligarki ini, antara lain, pesta demokrasi, pemilu dan partai politik, ambang batas pencalonan presiden, politik transaksional, kampus menggugat, mahkamah rakyat, skor pemilu. Dari ketujuh bagian tersebut, Watchdog mampu merangkum perpolitikan di Indonesia secara komprehensif dan merunut.

Jumat, 18 Oktober 2024, pukul 19.00 wib, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Kedai Jante menggelar nonton bareng film tersebut dibarengi dengan diskusi, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut No. 2, Bandung. Heri Pramono dari LBH Bandung dan Bilven dari toko buku Ultimus menjadi pemantik diskusi.

Diskusi yang dimoderatori oleh Vatov dari UKSK, UPI ini digelar setelah pemutaran film. Heri Pramono mengatakan, dalam setiap pesta demokrasi pasti ada kekacauan. Salah satu biangnya adalah intervensi dari pemerintahan sendiri.

“Banyak yang diubah melalui Mahkamah Konstitusi, melalui peraturan-peraturan yang diubah agar bisa melanggengkan apa yang dikehendaki si penguasa itu sendiri,” ujar Heri, menjelaskan praktik yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo yang dianggap melanggengkan politik dinasti.

Merespons adanya intervensi dari pemerintahan, Heri menganggap pemilu tahun ini bukan lagi sebagai ajang pesta demokrasi rakyat. Melainkan pesta demokrasi penguasa yang saat ini tengah menjabat. Heri menyebut sebagai melanggengkan kekuasaan.

Heri juga mengomentari tentang peraturan pemilu yang menetapkan presidetial threshold atau ambang batas pencalonan. Bagi Heri tidak ada di negara demokrasi yang menetapkan ambang batas sebagai syarat pencalonan. Bahkan Dandi Laksono, founder Watchdog, sekaligus pengisi suara mengungkapkan pencalonan presiden di Timor Leste bisa mencapai 16 orang.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan yang ada di Indonesia. Heri menimpal soal peraturan yang jelimet. Lebih dari itu, terkait peraturan baru ini, menurutnya kurang adanya pemerataan informasi kepada publik. Sehingga tidak semua publik mengetahui ambang batas pencalonan.

Di mana calon presiden dan wakilnya harus diajukan oleh partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah dalam pemilu legislatif. Artinya pencalonan presiden hanya dilakukan atau dipilih oleh pihak partai saja.

“(Pencalonan presiden) terkait visi-misi ya itu tergantung dengan kehendak (partai) penguasa  juga,” lanjutnya.

Di sisi lain, Bilven mengatakan, film yang digarap oleh Watchdog ini sangat rapi. Bahkan, menurutnya dengan menonton film ini bisa menjadi alarm pengingat atas apa yang telah dan sedang terjadi terkait iklim politik di Indonesia saat ini.

“Menurut saya film ini penting, karena Watchdog sudah membuat kompilasi dan menyegarkan kembali ingatan kita,” jelasnya.

Baca Juga: Mahasiswa Bandung Turun ke Jalan dalam Aksi Adili Jokowi
Surat Terbuka JSKK dan Aksi Kamisan di Akhir Masa Jabatan Presiden Jokowi
Diskusi “Jokowi and His Familys Disaster” di Monju

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Kedai Jante menggelar nonton film Pesta Oligarki di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut No. 2, Bandung. (Foto: Viriya Putricantika/BandungBergerak)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Kedai Jante menggelar nonton film Pesta Oligarki di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut No. 2, Bandung. (Foto: Viriya Putricantika/BandungBergerak)

Menjadi Penonton Penguasa

Belum lama ini, pada Senin 14 Oktober lalu, sebanyak 49 tokoh dipanggil ke rumah presiden terpilih Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara IV, Jakarta. Dari 49 tokoh itu, 16 orang di antaranya adalah bekas menteri Jokowi periode kedua.

Merespons hal tersebut, menurut Bilven pemanggilan orang-orang itu tak lain adalah untuk bagi-bagi kue. Banyaknya koalisi bahkan oposisi saat pilpres kemarin membuat harus terbaginya kursi menteri. Dari 34 kementerian saat Jokowi menjabat, kini direcah hingga berjumlah 46 kementerian.

“Sisanya itu bagi-bagi kue semua itu. Kuenya sedikit (kurang), diperbanyak kuenya,” jelasnya. “Jumlah menterinya jadi 46 kementerian, belum wakilnya. Kalau ditotal-total kalah itu aksi kamisan di Bandung dengan jumlah menteri Prabowo,” lanjutnya tertawa kecil.

Bahkan, Bilven juga menyebut pemerintahan Prabowo tak lain adalah perpanjangan kekuasaannya Jokowi. Dia menuturkan, karena elite partai politik dan DPR enggan menyetujui perpanjangan periode Presiden, tetapi Jokowi tak kehilangan arah.

Lewat adik iparnya, Anwar Usman, anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming dapat maju sebagai calon wakil presiden dengan mengubah peraturan konstitusi. “Jadi ini semacam periode ketiganya Jokowi,” katanya. “Semuanya yang berkeringat untuk memenangkan Prabowo-Gibran pasti kebagian kuenya,” lanjut Bilven.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Kedai Jante menggelar nonton film Pesta Oligarki di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut No. 2, Bandung. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Kedai Jante menggelar nonton film Pesta Oligarki di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut No. 2, Bandung. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Jauh dari itu, Bilven menceritakan kilas balik saat diskusi film Dirty Vote. Dia menuturkan bisa menebak calon yang pasti menang dalam pilpres 2024. “Kan kita udah tahu ya, yang bakal menang pasti anaknya Mulyono (nama lain dari Presiden Joko Widodo),” tuturnya.

Bilven menyayangkan, dengan masuknya semua oposisi yang merapat ke petahana membuat rentan demokrasi di Indonesia. Sudah tidak ada lagi yang dapat mewakili kepentingan rakyat.

“Jadi semua partai yang ada di DPR itu semua propemerintah. Jadi siapa lagi yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat,” jelasnya.

Pemerintah Berpihak pada Siapa?

Di sisi lain, seorang ibu yang duduk di pojok dekat pintu keluar Kedai Jante, Karina mengungkapkan biang dari permasalahan atau kekisruhan pemilu tahun ini ada di partai politik. Dalam bagian 2 tentang pemilu dan partai politik, di menit ke 15:08 menunjukkan potongan video Bambang Pacul, saat rapat komisi III DPR RI yang membahas RDPU dengan Menko Polhukam.

“Pak Mahfud tanya pada kite, tolong dong UU Perampasan Aset dijalanin. Republik di sini gampang Pak, Senayan ini. Lobinya jangan di sini pak, nih Korea-korea ini nurut sama bosnya masing-masing,” kata Bambang Pacul, Rabu 29 Maret 2023.

Ungkapan tersebut dianggap tidak etis. Sebab peraturan yang dicanangkan oleh DPR RI tidak mewakili kehendak rakyat, melainkan menuruti perintah dari partai. “Kita dapat dengan mudah melihat bagaimana anggota DPR yang harusnya mewakili suara rakyat, ternyata tak lebih dari pesuruh partai,” ungkap pengisi suara.

Menurut Karina, partai politik bukan lagi kendaraan rakyat untuk maju ke kontestasi politik, melainkan kendaraan para oligarki untuk menuju kekuasaan. “Untuk gambara lima tahun ke depan, ya si parpol itu, dia (parpol) tuh kaya kendaraan bandarnya oligarki,” ungkapnya.

Karina juga mengkritik banyak dari calon menteri yang dipanggil tidak lebih dari bagi-bagi kue. Menurutnya hal tersebut tidak masuk akal, sebab banyak orang yang tidak kompeten harus memegang jabatan menteri. “Sekarang apa sih yang diambil malah artis. Padahal selama ini dia (artis) belajar politik dari mana,” lanjutnya.

Di akhir masa jabatan Jokowi, tersebar balio yang mengucapkan ‘terima kasih presiden Jokowi’ di berbagai jalan besar di pusat kota Jakarta. Hal tersebut menurut Karina terlalu berlebihan. Jokowi dianggap pencitraan dengan mempertahankan pamornya meski kekuasaannya akan berakhir.

Karina bahkan menyebut di ujung kekuasaannya, penguasa saat ini cenderung gila pencitraan. Karina kemudian menyentil kemiskinan yang terjadi selama 10 tahun terakhir, bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi negara miskin, bukan negara berkembang lagi.

Bahkan, menurutnya hal yang paling nyeleneh adalah ketika rakyat menengah berada di ambang batas menuju kemiskinan, rakyat harus digenjot terus bekerja. “Dari yang menengah menjadi miskin, bekerja lebih giat lagi karena ada pejabat yang harus kita biayai,” ucapnya.

Terakhir, Karina mengajak seluruh peserta yang hadir untuk mendesak agar pemilihan periode berikutnya tidak lagi menggunakan peraturan ambang batas. Atau, menurutnya menurunkan ambang batas dari 20 persen menjadi nol persen.

“Partai itu memang perlu. Tapi jangan dikuasai seolah-olah menunjuk orang untuk jadi presiden itu adalah partai yang besar,” tutupnya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharamatau artikel-artikel lain tentang Jokowi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//