• HAM
  • Surat Terbuka JSKK dan Aksi Kamisan di Akhir Masa Jabatan Presiden Jokowi

Surat Terbuka JSKK dan Aksi Kamisan di Akhir Masa Jabatan Presiden Jokowi

Selama 10 tahun terakhir penanganan pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu tidak maksimal. Sebaliknya, malam muncul kasus-kasus baru pelanggaran HAM.

Peringatan 17 tahun Aksi Kamisan di depan Gedung Sate, Bandung. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah18 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Aksi Kamisan dan JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan) menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surat terbuka ini berkaitan dengan kepemimpinan Jokowi selama 10 tahun atau dua periode. 

Selama tujuh belas tahun di setiap hari kamis dengan atribut hitam-hitam di depan Istana Presiden di Jakarta, Aksi Kamisan terus-menerus menagih janji-janji pemerintah untuk menyelesaikan dan berpihak pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, selama sepuluh tahun terakhir Aksi Kamisan merasakan kebohongan atas janji Presiden Jokowi jauh panggang dari api. 

“Dalam kenyataan selama satu dekade ke belakang, tidak ada kebijakan yang merefleksikan janji-janji termaksud. Pola-pola pelanggaran HAM terus berulang di tengah kebijakan negara yang tidak berpihak pada HAM, di mana pemerintah, utamanya Bapak Presiden Jokowi, justru berkontribusi menguatkan impunitas,” kata pernyataan resmi JSKK dan Aksi Kamisan, sebagaimana diakses di laman KontraS, Kamis, 17 Oktober 2024. 

JSKK dan Aksi Kamisan menyatakan, saat mengawali pemerintahannya di periode awal tahun 2014, Presiden Jokowi menyertakan janji-janji untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM secara berkeadilan dan menghapus impunitas dari hukum nasional. Akan tetapi, pemerintah malah mengambil jalan pintas dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) alih-alih mengupayakan keadilan sesuai UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Dalam surat terbuka tersebut, JSKK dan Aksi Kamisan memaparkan hanya 12 kasus pelanggaran yang diakui dari 16 kasus pelanggaran berat HAM yang sudah diselidiki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan ada empat kasus lainnya telah diproses hukum, yakni: Timor Timur 1999, Abepura 2000, Tanjung Priok 1984, dan Paniai 2014. 

Pengadilan dinilai tumpul dalam memenuhi rasa keadilan bagi korban. Hingga hari ini, JSKK dan Aksi Kamisan tidak melihat adanya keseriusan negara untuk mengadili para terduga pelaku pelanggaran berat HAM. 

Surat ini menyatakan, impunitas negara terhadap pelaku pelanggar HAM dengan diberikannya peluang untuk aktif dalam politik praktis dan posisi-posisi strategis di pemerintahan. 

Tidak hanya itu, selama satu dekade Presiden Jokowi memimpin telah terjadi berbagai kasus pelanggaran HAM atas nama pembangunan dan merampas ruang hidup masyarakat dalam berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti di Wadas, Mandalika, dan Rempang.

JSKK dan Aksi Kamisan mencatat, telah terjadi kekerasan terhadap aktivis, warga, sampai masyarakat adat yang membela lingkungan dan hak-hak mereka semakin terjadi. “Orang-orang yang mengekspresikan pendapat dibungkam dan dikriminalisasi hanya karena mengkritik penguasa,” kata JSKK dan Aksi Kamisan.

Kasus pelanggaran HAM terus berulang di tengah menguatnya impunitas seperti yang terjadi di Tanah Papua. Termasuk, berbagai kebijakan yang memperkecil ruang demokrasi serta sarat akan kepentingan penguasa memiliki potensi mengkerdilkan HAM untuk disahkan seperti Undang-Undang Cipta Kerja, Revisi Undang-Undang KPK, sampai revisi KUHP.

“Bapak Presiden yang kami hormati, bagi kami, korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM, dua periode masa pemerintahan Bapak Presiden berakhir dengan bukti bahwa janji-janji penegakan hukum dan HAM, termasuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang selama ini diucapkan ternyata hanyalah omong kosong,” kata JSKK dan Aksi Kamisan.

Aksi Kamisan menilai selama ini kampanye HAM hanya menjadi bahan jualan untuk mengejar kekuasaan dan jabatan. Tak ada keseriusan dan keberpihakan pemerintah pada korban dan keluarga korban yang berpuluh-puluh tahun menanti keadilan.

“Hak Asasi Manusia hanya menjadi komoditas yang dijual untuk kepentingan politik praktis, dan suara korban hanya dianggap angin lalu. Pemerintah

memilih untuk berkolusi dengan para pelanggar HAM, alih-alih mempertanggungjawabkan kejahatan negara yang selamanya tercatat dalam sejarah,” kata JSKK dan Aksi Kamisan.

Warisan selama satu dekade di pemerintahan Presiden Jokowi ini akan terus diingat oleh masyarakat. Aksi Kamisan mengatakan warisan tersebut ialah matinya demokrasi, mandulnya penegakan HAM di bawah presiden berlatar belakang sipil dan berujar tidak memiliki beban masa lalu.

JSKK dan Aksi Kamisan menutup surat terbukanya dengan menegaskan akan terus melanjutkan perjuangan melawan impunitas, merawat ingatan, dan menuntut akuntabilitas atas kasus-kasus kejahatan masa lalu.

Baca Juga: ITB Mendesak Penyelenggaraan Pemilu 2024 yang Berkeadaban, UPI Mengingatkan Presiden Jokowi agar Bersikap Negarawan
Bawa-bawa Jokowi, Alat Peraga Kampanye PSI Bertebaran di Tiang Listrik, PJU, dan Pohon di Kota Bandung
Mengupas Cawe-Cawe Politik Jokowi dan Dampaknya Terhadap Kemunduran Demokrasi

Dari Istana ke Bandung 

Pelanggaran HAM dari semenjak bergantinya kekuasaan Presiden Sukarno ke Presiden Suharto menjadi pembuka awal aksi untuk mengungkapkan kebenaran. Keluarga korban dan para aktivis kemudian menuntut pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di antaranya peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, penghilangan paksa 1997-1998, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi 1, Tragedi Semanggi II, Tragedi Trisakti, dan kasus-kasus lainnya yang belum jelas penyelesaiannya. 

Martinus Danang dalam Aksi Kamisan: Sejarah dan Perjuangan Melawan Lupa dimuat di Kompaspedia, Kamis 29 Februari 2024 mengatakan, dari kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut, kelompok korban baik orang tua dan aktivis menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus tersebut. 

“Harapannya mereka dapat mengetahui gambaran peristiwa, menemukan korban yang hilang, hingga siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut,” tulis Martinus Danang, diakses, Kamis 17 Oktober 2024.  

Kemudian, digelarlah secara rutin aksi penuntutan pada pemerintah melalui aksi diam di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis sore. Aksi Kamisan pertama kali digelar pada Kamis 18 Januari 2007. Aditya Yudistira dan Purwo Husodo dalam Jalan Panjang Pencarian Keadilan: Aksi Kamisan Jakarta Tahun 2007-2021 menuturkan, saat itu Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSSK) dan KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menyepakati aksi rutin untuk memperjuangkan dan mengungkap fakta kebenaran serta melawan lupa. 

Aksi Kamisan dilakukan di depan Istana Presiden, gedung yang menjadi simbol kekuasaan. Waktu aksi dipilih mulai pukul 16.00-17.00 WIB di saat lalu lintas di lokasi tersebut cenderung ramai. Aksi Kamisan diharapkan mendapatkan perhatian publik sekaligus mengkampanyekan isu atau kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini. 

“Kegiatan tersebut juga memiliki maskot atau simbol, yaitu payung hitam dan pakaian berwarna hitam-hitam,” terang Aditya Yudistira dan Purwo Husodo dalam Jalan Panjang Pencarian Keadilan, dikutip dari Jurnal Ceteris Paribu Vol 1 no. 2 September 2022, Kamis 17 Oktober 2024.  

Kedua penulis menyatakan, Aksi Kamisan kemudian berkembang dan tersebar di 54 kota dan kabupaten di Indonesia, termasuk di Kota Bandung. BandungBergerak dalam reportase Profil Aksi Kamisan Bandung: Sewindu Merawat Ingatan, menjelaskan Aksi Kamisan di Bandung dilangsungkan setiap Kamis sore di halaman depan Gedung Sate. Seniman Pantomim asal Cirebon, Wanggi Hoed merupakan salah satu perintisnya. 

Wanggi mendapatkan ide tersebut setelah membaca sebuah koran dan menemukan informasi tentang Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta. Menurutnya, gagasan serta semangat Aksi Kamisan di Jakarta cocok dengan iklim gerakan sosial di Kota Kembang. Pada awalnya, kelahiran Aksi Kamisan mengusung tema serupa seperti di Jakarta. Di perjalan, isu-isu HAM tingkat lokal seperti konflik penggusuran lahan juga kerap dibawakan Aksi Kamisan Bandung

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Jokowi 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//