• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #8: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (5)

MULUNG TANJUNG #8: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (5)

Ciguriang tidak secara resmi menyandang nama Kampung Dobi. Di Bandung banyak kampung yang penduduknya tukang cuci di kali atau mata air.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Aksi river warriors di Sungai Cikapundung, 22 September 2024. Di masa lalu Sungai Cikapundung menjadi sumber air bagi para dobi atau tukang cuci pakaian. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

21 Oktober 2024


BandungBergerak.idKata dobi saya temukan di dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto. Kata ini ada ketika Kunto membahas tentang mata air Ciguriang di Kebon Kawung. Saya yang tinggal dari kecil di sana, mengenal aktivitas para dobi melalui kegiatan sehari-hari  yang dilakukan kakek dan nenek saya, ketika mereka masih hidup.

Dobi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menunjukkan kata benda, artinya orang yang pekerjaannya mencuci dan menyetrika pakaian; penatu. Kata dobi juga terdapat dalam kamus bahasa Melayu, merujuk pada pembasuhan, lebih luas lagi pengeringan dan penyetrikaan pakaian dan tekstil. 

Dobi didefinisikan: tukang~orang yang kerjanya mencuci dan menggosok kain baju pelanggannya di rumahnya (tempatnya) sendiri, benara, penatu (Kamus Dewan Edisi Keempat).

Secara etimologi dobi berasal dari bahasa Hindi, dhobi, digunakan untuk menunjukkan kata benda dengan persamaan katanya adalah penatu, binatu, benatu, benara, londri, atau tempat penatu, tempat mencuci.

Binatu atau dobi sudah menjadi bagian dari sejarah sejak manusia mengenal pakaian dan berpakaian. Mencuci pakaian dengan sendirinya menjadi pekerjaan dan budaya yang sangat penting dalam kehidupan sosial manusia.

Pada awal munculnya kegiatan dobi dan perdobian, aktivitas ini umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Kegiatan mencuci ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari kaum perempuan. Teknik mencuci pertama kali dilakukan di sungai-sungai, airnya yang mengalir membuat kotoran, noda, dan bau terbawa larut. Lalu cara ini dibantu lagi dengan teknik lain untuk menghilangkan kotoran, antara lain dengan menggosok, menggilas, memelintir, juga membanting cucian pada alas batu-batu sungai. Ada juga yang memakai cara memukul-mukul pakaian dengan kayu. Lalu cucian dibilas pada aliran sungai, diperas dengan cara dipelintir untuk mengurangi kandungan air pada cucian kemudian dijemur pada batang-batang kayu yang melintang. Tapi banyak juga yang menjemur dengan membentangkan cucian di atas rumput, Semak-semak, atau pepohonan.

Pada perkembangannya batu-batu alas mencuci itu berganti rupa menjadi alas kayu bergelombang, lalu plastik keras bergelombang, begitupun dengan kayu untuk menjemur lambat laun berubah menjadi tiang kayu, tali serat kayu, tali tambang plastik, dan akhirnya jemuran berbahan logam, 

Kegiatan binatu berkembang di seluruh belahan dunia, juga di India. Tidak seperti kebiasaan di negara-negara Eropa, di India, kegiatan mencuci pakain biasa dilakukan oleh kaum laki-laki. Dhobiwallah adalah istilah untuk tukang cuci di sana. Selain itu dhobi pun menjadi salah satu nama kasta mereka. Tempat binatu disebut dengan dhobi ghat. 

Seiring waktu dan perkembangan zaman, kegiatan mencuci ini pada akhirnya menggunakan bahan-bahan pembersih kimia seperti sabun, deterjen, cairan pemutih, pewangi, dan sebagainya.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #5: Kebon Kawung dari Masa ke Masa
MULUNG TANJUNG #6: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (3)
MULUNG TANJUNG #7: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (4)

Kampung Dobi Ciguriang

Sejarah pencucian tradisional dan manual atau dobi di dunia tentu saja menjadi bagian sejarah di Indonesia. Sejalan dengan perkembangan sosial, ekonomi, teknologi, dan didukung modal, terjadi juga perkembangan secara cepat ataupun lambat pada aktivitas cuci tradisional ini. Jejak Kampung Dobi sendiri ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, di Padang Panjang juga terdapat satu wilayang yang dikenal dengan sebutan Kampung Dobi yang dulu dihuni oleh warga keturunan India, yang sangat mungkin banyak berprofesi sebagai dobi.

Di tempat lain, aktivitas binatu juga di temukan di sepanjang Sungai Ciliwung di Batavia. Orang-orang Betawi yang berprofesi sebagai binatu tersebar di jatinegara sampai ke kota, juga di sekitar Kwitang. Gang Penatu di Banjarmasin juga menjadi jejak penyedia jasa cuci di sana. Tak ketinggalan di Lembang pun ada satu tempat bernama Jalan Minatu, yang juga ternyata menunjukkan jejak serupa. 

Ciguriang sendiri tidak secara resmi menyandang nama Kampung Dobi atau istilah lain yang serupa. Istilah kampung dobi akhir-akhir ini banyak disebut oleh para peminat sejarah, merujuk pada penyebutan yang ditulis Haryoto Kunto pada bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya. 

Penyebutan itu bukan tanpa alasan, Kunto menyebut kampung tertua di Bandung itu sebagai kampung Dobi. Banyaknya aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan mencuci atau binatu atau dobi di kampung tersebut menjadikan penyebutan itu sangat sesuai. 

Usia usaha jasa pencucian di Bandung ini dipekirakan seiring dengan dibukanya jalur kereta api pada tahun 1884. Pembangunan jalur kereta ini berpengaruh sangat banyak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakan sekitarnya, di antaranya adalah semaraknya pertumbuhan usaha hotel dan penginapan. Hal ini membuat profesi dobi sangat diperlukan. Tentu saja memerlukan tenaga tersendiri untuk menangani cucian-cucian bertumpuk berupa seprai, tirai, selimut, sarung bantal dan sejenisnya, dan dobi atau binatu menjadi salah satu solusi pada saat itu.

Lokasi Kebon Kawung yang dekat dengan Stasiun Bandung, ditambah dengan adanya mata air Ciguriang dengan produksi air yang melimpah membuat komunitas dobi di sini tumbuh dan berkembang. Profesi ini kemudian menjadi suatu profesi yang dijalankan turun temurun. Salah satunya di keluarga Abah Mulya. Dua generasi, bahkan pernah mencoba dilanjutkan oleh generasi ketiga, menjalani profesi ini di lokasi yang sama. Hal ini juga terjadi pada beberapa keluarga lain. Kegiatan dobi ini tidak hanya berlangsung di Ciguriang, tapi juga di tepi Sungai Cikapundung dan melahirkan nama kampung Pangumbahan. 

Praktik usaha dobi yang diketahui ada sampai pada akhir tahun 1980-an, jika pada awal perkembangannya para pelanggan merupakan para pengusaha penginapan di sekitar stasiun, seiring waktu menjadi menyempit dengan terbatas pada pelanggan rumahan, dengan jenis-jenis cucian menjadi barang pakai pribadi dan rumah tangga. 

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//