• Berita
  • SABTU SORE #2: Bandung Itu Kota Romantis, tapi Bagi Siapa?

SABTU SORE #2: Bandung Itu Kota Romantis, tapi Bagi Siapa?

Sejak dulu Bandung memang sudah memiliki kekontrasannya tersendiri. Ada romantisme tetapi ada juga kontradiksi, misalnya kemacetan dan stunting.

Diskusi Sabtu Sore di Bunga di Tembok, Sabtu, 19 Oktober 2024 membahas romantisme Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 21 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Bandung sering kali digadang-gadangkan sebagai kota yang romantis. Namun di balik citra tersebut, terdapat kontras yang luput dari perhatian. Dalam diskusi Sabtu Sore yang kedua di Bunga di Tembok, Sabtu, 19 Oktober 2024, Tiwi Kasavela dan Iman Herdiana mengupas sejumlah persoalan Kota Kembang yang bertolak belakang dengan kesan romantis. 

Di diskusi bertajuk “Katanya Bandung Itu Kota Romantis, Tapi…”, Tiwi mengatakan, sejak dulu Bandung memang sudah memiliki kekontrasannya. Jika menengok ke belakang, pada tahun 1920-an hingga 1930-an, ketika Bandung diproyeksikan oleh Belanda untuk menjadi ibu kota Hindia Belanda. Pembangunan terjadi secara masif serta aktivitas masyarakat Belanda yang menciptakan citra kota yang nyaman dan menarik. Terlebih ketika Bandung menjadi tuan rumah untuk Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 yang membuat nama Bandung semakin dikenal di mata dunia.

Di balik berbagai peristiwa besar yang membentuk imaji kota Bandung, Tiwi mengatakan bahwa kesuraman yang terjadi di Bandung adalah keromantisan kota ini tidak dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Pada masa kolonial, Bandung hanyalah kota yang indah dan nyaman bagi orang-orang Eropa, sedangkan masyarakat lainnya harus hidup dalam kondisi yang sebaliknya.

“Dari zaman kolonialisme masyarakat kita tidak benar-benar menikmati karena dulu juga ada segregasi, mereka menjadi budak dan itu kehidupannya pun tidak seenak orang-orang Eropa,” ucap Tiwi yang merupakan pegiat komunitas Temu Sejarah.

Hingga saat ini, romantisme Bandung sering kali hanya dinikmati oleh mereka yang datang dari luar. Kawasan-kawasan wisata seperti Braga, Asia Afrika, Dago Pakar, hingga Lembang tidak jarang dipuja oleh para wisatawan yang hadir. Mereka berwisata, mengambil foto, lalu memuji betapa cantiknya Kota Kembang tanpa menyadari bahwa di luar pusat kota, kehidupan warga Bandung tidak seromantis yang mereka kira.

Kota yang diberi julukan Paris Van Java kini adalah sebuah kota yang padat nan macet, terlebih di pagi dan sore hari ketika ribuan kendaraan tumpah ruah di jalanan. Tiwi mengatakan tidak hanya warga Bandung yang terjebak dalam kemacetan ini, tetapi juga warga-warga dari kabupaten-kabupaten Bandung. Terlebih ketika akhir pekan melanda, berbagai orang dari luar Bandung turut memadati kota ini untuk berlibur. Kota yang katanya romantis hanyalah sebuah tempat yang melelahkan bagi warganya sendiri.

“Ya romantis untuk mereka yang datang, tidak romantis untuk kita yang tinggal di sini,” ungkap Tiwi. 

Iman juga menimpali bahwa di Bandung sudah terjadi banyak perubahan akibat perkembangan pariwisata. Hal tersebut memang membawa banyak peluang ekonomi, namun di sisi lain juga mengubah tatanan sosial dan budaya di beberapa daerah, di kawasan utara seperti Lembang, misalnya, yang dulunya merupakan kawasan agraris dengan kehidupan desa yang sederhana dan penuh gotong royong, kini berubah menjadi pusat wisata yang penuh akan villa-villa mewah dan berubah menjadi wilayah yang lebih individualistis dan komersial.

Baca Juga: Mengenali Bingkai Media Alternatif Lewat Diskusi Berita Pinggir
Diskusi Peringatan Bandung Lautan Api dan Museum Kecil, Mengenal Jejak-jejak Bersejarah
Lampu Sengaja Dipadamkan Ketika Diskusi Film Dirty Vote di UIN SGD Bandung masih Berlangsung, Kebebasan Akademik Diintervensi 

Salahkah jika Kita Meromantisasi Bandung?

Dengan citra romantisme yang melekat pada Bandung, ditambah semakin banyaknya tempat-tempat wisata yang menarik perhatian banyak wisatawan, sering kali kita luput bahwa ada banyak masalah yang belum terselesaikan di kota ini. Iman mengatakan, tidak masalah jika ingin meromantisasi Bandung, tetapi jika kita terlalu fokus pada imaji romantis, kita akan terbiasa akan itu dan mengabaikan kenyataan-kenyataan lainnya yang jauh dari kata romantis. Misalnya, kawasan kumuh yang masih banyak ditemui di berbagai sudut kota hingga angka stunting yang masih menjadi isu utama.

Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menargetkan penurunan angka stunting (kekerdilan) anak sesuai dengan target nasional, yakni 14 persen pada tahun 2024. Pemkot Bandung mengklaim setiap tahunnya terjadi penurunan stunting di Kota Bandung. Tahun 2022 tercatat 19,4 persen (6.614 bayi). Tahun 2023, 16,3 persen (6.142 bayi), dan tahun 2024 ditargetkan 14,0 persen.

“Kita mewacanakan bahwa Bandung itu romantis, eksotis, dan Instagramable. Terus-terusan gitu ya, dalam bahasa itu, termasuk pemerintah di dalam lembaga humasnya menggelorakan 20 kuliner paling eksotis di Bandung, 20 tempat paling instagramable di Bandung, di sisi lain ada realitas yang tidak kalah terenyuh di hati kita,” katanya. 

Menurut Iman, jika kita terus-menerus merayakan Bandung sebagai kota romantis, Iman mengkhawatirkan kita akan hidup terjebak dalam dunia roman yang penuh ilusi dan kemudian mengabaikan kenyataan yang ada. 

Contoh yang tercermin adalah ketika kemacetan di Bandung dianggap sebagai hal yang sudah biasa. Iman mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan bentuk normalisasi yang keliru. Kemacetan seharusnya tidak diterima begitu saja sebagai bagian dari identitas sebuah kota, melainkan harus dicari solusinya. 

Bukan festival kalau tidak macet, jadi setiap ada sebuah perhelatan yang bikin macet itu dinormalisasi, padahal itu adalah kesalahan,” tambah penulis novel “Melukis Jalan Astana” itu. Ia juga berpendapat, jika tata kota diperbaiki, jalan-jalanan di Bandung diperlebar, dan transportasi publik diperbanyak, kemacetan mungkin dapat diminimalkan. 

Tiwi juga menambahkan bahwa romantisme Bandung sering kali terjebak dalam nostalgia masa lalu. Misalnya Bandung yang dikenal melalui film atau novel yang berlatar di tahun 90-an dengan segala romantismenya, Tiwi mengatakan bahwa kita tidak bisa menyamakan Bandung tahun 90-an dengan masa sekarang. Kota ini telah berubah dengan tantangan yang semakin kompleks.

Namun, ia mengatakan bahwa kita juga tidak boleh terlupa bahwa Bandung juga ada sisi positifnya, seperti dalam bidang kesenian, banyak seniman dan penyanyi yang berasal dari Bandung. Kembali pada konteks romantisasi, Tiwi menambahkan, jika terlalu meromantisasi kota ini, kita akan mengabaikan realitas-realitas sosial yang seharusnya menjadi perhatian lebih. 

“Kadang kala sisi romantis itu mengalahkan permasalahan-permasalahan di Bandung yang seharusnya kita juga aware,” tambahnya. 

Tiwi menggambarkan Bandung sebagai kota yang penuh kontradiksi, ia melihat bahwa keindahan yang ada di Bandung berjalan beriringan dengan ragam masalah yang terjadi. Menurutnya, Bandung memang memiliki banyak keindahan. Namun juga memiliki banyak permasalahan yang rumit. Ia juga merasa bahwa diperlukannya upaya kompleks untuk menyelesaikan masalah yang ada di Bandung. Meski demikian, Tiwi menyimpan harapan besar untuk kota di mana ia lahir dan tumbuh. Ia berharap Bandung bisa menjadi tempat yang lebih baik, nyaman, dan membawa kebahagiaan bagi warganya. 

Di sisi lain, perasaan Iman terhadap Bandung memiliki dua sisi, ia mencintai kota ini namun juga menyayangkan akan masalah-masalah yang tersimpan yang ada di kota Bandung. “Satu kata buat Bandung: sayang. Ya kita menyayangi Bandung, tetapi juga menyayangkan Bandung,” ucapnya.

*Kawan-kawan bisa menyimak tulisan-tulisan lain dari Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//