Perlawanan Rakyat Dago Elos di Meja Hijau, 18 Fakta Persidangan yang Menjerat Keluarga Muller
Sedikitnya ada 18 fakta persidangan yang mendorong hakim untuk menjatuhkan vonis bersalah terhadap Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustandi Muller.
Penulis Pahmi Novaris 22 Oktober 2024
BandungBergerak.id - Sudah sepekan berlalu setelah hakim Pengadilan Negeri Bandung memvonis bersalah Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustandi Muller, Senin, 14 Oktober 2024. Kedua terdakwa dinyatakan bersalah menggunakan dokumen palsu untuk mengklaim tanah Dago Elos. Mereka dihukum 3 tahun 6 bulan penjara. Namun, perjuangan warga Dago Elos belum usai karena pihak Muller masih melakukan perlawanan dengan mengajukan banding.
BandungBergerak telah menghimpun fakta persidangan selama sidang pidana pemalsuan dokumen tanah Dago Elos. Berikut ini rangkumannya:
- Dakwaan Pemalsuan Dokumen
Dua bersaudara, Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustandi Muller, dihadapkan pada dakwaan serius terkait tindak pidana pemalsuan dokumen dalam sengketa tanah Dago Elos, Bandung, Selasa, 30 Juli 2024. Kedua terdakwa didakwa pasal-pasal di KUHPidana yang mengatur pemalsuan surat dan penggunaan surat palsu dengan ancaman bervariasi antara 6 hingga 7 tahun penjara.
Jaksa telah menghadirkan bukti dan saksi yang mendukung dakwaan mereka. Kerugian dari perkara ini diperkirakan mencapai lebih dari 546 miliar rupiah.
Proses persidangan perdana diwarnai dengan demonstrasi dari dua kelompok, satu mendukung terdakwa dan lainnya mendukung warga Dago Elos, menunjukkan ketegangan sosial yang muncul akibat sengketa ini.
- Gugurnya Praperadilan
Di hari yang sama, pihak Muller mengajukan praperadilan. Hakim PN Bandung menyatakan praperadilan ini gugur karena status mereka telah berubah menjadi terdakwa. Keputusan ini diambil berdasarkan pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP, yang menyatakan bahwa jika suatu perkara telah dimulai pemeriksaannya di pengadilan, maka permohonan praperadilan yang berkaitan dengan perkara tersebut otomatis gugur.
- Ketidakhadiran Saksi Kunci
Dalam persidangan yang berlangsung pada 12 September 2024, hanya satu dari lima saksi yang dijadwalkan hadir, yaitu Orie Agus Chandra, mantan Direktur PT. Dago Inti Graha. Ketidakhadiran keempat saksi lainnya, termasuk Jo Budi Hartanto, dianggap signifikan karena mereka merupakan pihak-pihak yang dapat memberikan informasi penting terkait kasus ini. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai komitmen mereka untuk menghadiri persidangan dan memberikan keterangan yang diperlukan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan bahwa mereka akan memanggil kembali saksi-saksi yang tidak hadir, menunjukkan keseriusan dalam penegakan hukum dan keinginan untuk memastikan semua suara didengar dalam proses pengadilan. Ketidakhadiran ini juga menimbulkan kecurigaan di kalangan warga Dago Elos, yang merasa bahwa ada upaya untuk menghindar dari tanggung jawab hukum. Massa aksi bahkan "menggeruduk" Kantor Kejaksaan Tinggi untuk mendesak agar saksi yang mangkir dipanggil kembali, menandakan ketidakpuasan dan harapan masyarakat untuk keadilan.
Jo Budi Hartanto merupakan bos PT. Dago Inti Graha. Bersama keluarga Muller, dia menggugat warga Dago Elos secara perdata mengenai kepemilikan tanah di kawasan tersebut.
- Sengketa Lahan Dago Elos dan Pemalsuan Dokumen
Sengketa lahan di Dago Elos melibatkan klaim yang kompleks antara warga setempat dan keluarga Muller, yang mengaku sebagai ahli waris sah dari tanah tersebut. Kasus ini berakar dari dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh dua anggota keluarga Muller, Doddy Rustendi dan Heri Hermawan. Proses hukum yang panjang dan rumit ini melibatkan berbagai saksi, termasuk kontraktor dan pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan PT. Dago Inti Graha. Warga Dago Elos menunjukkan dokumen dan bukti kepemilikan mereka, berargumen bahwa mereka telah menempati dan mengelola tanah tersebut selama bertahun-tahun.
Kasus ini mencerminkan ketegangan antara kepentingan bisnis dan hak-hak komunitas lokal. Dengan hadirnya saksi-saksi yang memberikan kesaksian di pengadilan, situasi ini menyoroti masalah keadilan, kepemilikan, dan hak-hak warga di tengah perselisihan lahan yang melibatkan entitas bisnis.
- Peran PT. Dago Inti Graha dan Jo Budi Hartanto
Dago Inti Graha, yang didirikan oleh Jo Budi Hartanto pada tahun 2016, memiliki tujuan untuk mengurus dan mengembangkan potensi lahan di Dago Elos. Jo Budi Hartanto memberikan kesaksian di pengadilan, menjelaskan bahwa meskipun perusahaan mengeluarkan biaya signifikan untuk pengurusan sertifikat lahan, ia tidak terlibat langsung dalam proses penyusunan dokumen yang diduga dipalsukan. Kesaksian Jo Budi menyoroti masalah tanggung jawab dan pemahaman dalam manajemen perusahaan. Ia mengklaim bahwa semua urusan dokumen dikelola oleh Orie Agus Chandra, mantan direktur PT. Dago Inti Graha, yang ia percayai. Hal ini menunjukkan bahwa dalam situasi seperti ini, ada risiko bahwa pengurus perusahaan bisa tidak menyadari atau tidak memahami aspek legalitas yang krusial, yang berpotensi menghasilkan konflik hukum yang lebih besar.
Pengeluaran biaya untuk pengurusan sertifikat dan upaya hukum lebih lanjut menunjukkan adanya investasi yang signifikan dalam sengketa ini, yang berdampak pada hubungan antara perusahaan, keluarga Muller, dan warga Dago Elos.
- Ketidakcocokan Data Nama
Dalam persidangan, Disdukcapil Kabupaten Bandung mengonfirmasi bahwa nama "Muller" tidak terdaftar dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Ini menjadi titik fokus dalam pembuktian kasus, karena nama tersebut digunakan oleh kedua terdakwa untuk mengklaim hak sebagai ahli waris tanah Dago Elos yang diklaim berasal dari George Hendrik Muller, sosok yang disebut-sebut sebagai pemilik tanah pada zaman kolonial Belanda. Ketidakcocokan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keabsahan klaim mereka. Jika nama yang mereka gunakan tidak terdaftar, ini dapat mengindikasikan bahwa mereka tidak memiliki hak hukum untuk menggugat warga yang telah menempati tanah tersebut selama bertahun-tahun. Pengacara keluarga Muller juga menghadapi tantangan dalam membuktikan bahwa nama ini sah dan memiliki sejarah yang jelas, sehingga memperumit posisi hukum mereka dalam sengketa ini.
- Proses Hukum yang Terus Berlanjut
Sidang ini melibatkan banyak saksi dari berbagai instansi pemerintahan, seperti Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah, Badan Pendapatan Daerah, serta Badan Pembinaan Hukum Nasional. Masing-masing saksi memberikan informasi yang berbeda-beda, yang menunjukkan kompleksitas dari kasus ini. Jaksa Penuntut Umum Rika optimis dengan alat bukti dan kesaksian yang sudah dikumpulkan, dan mengindikasikan bahwa mereka belum menghadirkan semua saksi yang relevan. Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum masih jauh dari selesai dan masih ada potensi untuk menemukan bukti tambahan yang dapat memperkuat atau melemahkan posisi kedua belah pihak.
Sementara itu, penasihat hukum terdakwa, Taslim, mengkritik kesaksian yang dianggap kurang akurat dan menyatakan bahwa banyak saksi hanya memberikan informasi yang tidak berkontribusi pada keputusan akhir. Penilaian ini menciptakan ketegangan dalam pengadilan, di mana publik dan warga Dago Elos, seperti yang diungkapkan oleh Ayang, terus mengawasi perkembangan kasus dengan harapan bahwa keadilan akan ditegakkan dalam sengketa lahan yang berdampak pada tempat tinggal mereka.
- Tuntutan Hukum terhadap Muller Bersaudara
Heri Hermawan dan Dodi Rustendi terlibat dalam kasus pemalsuan dokumen tanah yang melibatkan Dago Elos. Dalam pledoinya, mereka menegaskan bahwa mereka adalah keturunan sah dari Edi Eduard Muller, yang memiliki hubungan langsung dengan tanah tersebut. Mereka mengklaim bahwa dokumen yang menjadi pokok permasalahan adalah milik kakek mereka dan tidak ada pemalsuan yang terjadi.
Heri mengekspresikan keprihatinan tentang keterlibatan pihak-pihak yang dianggap tidak berhak dalam urusan keluarga mereka, menyatakan bahwa masalah ini telah menyebabkan mereka dijadikan terdakwa tanpa alasan yang jelas. Kedua bersaudara ini berharap hakim mempertimbangkan argumen mereka dan membebaskan mereka dari tuduhan yang mereka anggap tidak berdasar, karena mereka percaya bahwa hak atas tanah tersebut seharusnya kembali kepada keturunan sah.
- Pledoi Penasihat Hukum
Penasihat hukum Heri dan Dodi, Dr. Jogi Nainggolan dan timnya, menyampaikan pledoi yang komprehensif sepanjang 122 halaman. Mereka berargumen bahwa kesaksian yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak memenuhi syarat pembuktian yang diperlukan untuk mendukung tuduhan pemalsuan. Dalam pledoi tersebut, penasihat hukum menekankan bahwa saksi yang dihadirkan JPU tidak memberikan bukti yang kuat dan relevan, sehingga pernyataan mereka harus dikesampingkan.
Selain itu, mereka menyoroti bahwa dokumen-dokumen yang diajukan sebagai bukti tidak menunjukkan adanya niat jahat untuk melakukan pemalsuan. Penasihat hukum juga menjelaskan bahwa akta kelahiran yang menjadi perdebatan telah mengikuti prosedur yang benar dan tidak ada indikasi bahwa dokumen tersebut dipalsukan. Mereka meminta majelis hakim untuk mengesampingkan dakwaan JPU dan membebaskan terdakwa dari semua tuntutan, serta memulihkan nama baik mereka.
- Pengajuan Nama Muller
Terdakwa Heri Hermawan dan Dodi Rustandi mengklaim bahwa mereka adalah keturunan dari George Hendrik Muller, seorang tokoh yang memiliki hubungan historis dengan tanah Dago Elos. Klaim ini menjadi dasar bagi mereka untuk menggugat kepemilikan tanah yang telah dihuni oleh ribuan warga secara turun-temurun.
Namun, pemeriksaan dokumen di Disdukcapil Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa sejak tahun 1988, nama "Muller" tidak tertera di akta kelahiran mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan nama tersebut bukanlah bagian dari identitas resmi mereka sebelumnya, melainkan merupakan tindakan yang dilakukan belakangan dengan tujuan untuk mengklaim hak atas tanah tersebut.
Baca Juga: Muller Bersaudara Divonis 3 Tahun 6 Bulan Penjara
Sidang Praperadilan Ditolak, Duo Muller Didakwa Empat Pasal tentang Pemalsuan Dokumen Tanah Dago Elos
Dago Elos Menang!
- Proses Hukum dan Penolakan Pengajuan Akta
Proses hukum terkait pengajuan perubahan nama oleh kedua terdakwa menunjukkan betapa pentingnya prosedur legal dalam hal administrasi kependudukan. Disdukcapil Kabupaten Bandung menolak permohonan perubahan nama yang diajukan oleh Heri dan Dodi, dengan alasan bahwa setiap perubahan nama harus melalui keputusan pengadilan. Kesaksian dari pihak KUA Rancaekek juga menegaskan bahwa mereka tidak dapat menerbitkan akta baru tanpa adanya penetapan resmi dari pengadilan.
Penolakan ini mencerminkan kepatuhan terhadap hukum dan prosedur yang berlaku, serta menyoroti potensi penyalahgunaan dokumen yang bisa terjadi jika prosedur tidak diikuti. Ini menunjukkan bahwa pengadilan memiliki peranan penting dalam mengatur keabsahan dokumen dan mencegah tindakan pemalsuan yang dapat merugikan pihak lain.
- Eigendom Verponding Bukan Dokumen Kepemilikan
Eigendom verponding, yang digunakan sebagai dasar klaim oleh Muller bersaudara atas tanah Dago Elos, tidak dapat dianggap sebagai bukti kepemilikan. Sebagaimana dijelaskan oleh saksi ahli, Yani Pujiwati, eigendom verponding adalah dokumen yang berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak pada masa kolonial Belanda. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960, seluruh hak-hak barat yang sebelumnya diakui telah dihapuskan. UUPA bertujuan untuk mengatur dan menegakkan asas nasionalitas dalam penguasaan tanah, sehingga hanya warga negara Indonesia (WNI) yang dapat memiliki hak penuh atas tanah. Oleh karena itu, dasar hukum untuk mengklaim kepemilikan tanah berdasarkan eigendom verponding tidak ada, dan hal ini memperkuat argumen bahwa dokumen tersebut tidak dapat digunakan dalam gugatan kepemilikan.
- Ketentuan Konversi UUPA
Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) memiliki ketentuan yang jelas mengenai konversi hak-hak barat, termasuk eigendom verponding. Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa eigendom verponding yang dimiliki oleh WNI harus dikonversi menjadi hak milik dalam jangka waktu tertentu setelah UUPA diberlakukan. Jika pemiliknya adalah warga negara asing (WNA) atau badan hukum, konversi akan dilakukan menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) yang berlaku selama 20 tahun dan berakhir pada 24 September 1980.
Yani Pujiwati menjelaskan bahwa jika hak tersebut tidak dikonversi dalam periode yang ditentukan, maka hak tanah tersebut akan dianggap beralih menjadi tanah negara. Dalam kasus ini, eigendom verponding yang diklaim oleh Muller bersaudara atas nama George Hendrik Muller tidak pernah dikonversi sesuai dengan ketentuan UUPA, sehingga tanah yang disengketakan dianggap sebagai tanah negara. Hal ini menunjukkan bahwa klaim berdasarkan eigendom verponding tidak memiliki landasan hukum yang valid dan memperkuat posisi hukum pihak-pihak yang menentang klaim tersebut.
- Pemalsuan Dokumen Tanah
Kasus pemalsuan dokumen tanah di Dago Elos mencuat setelah warga setempat, termasuk Ade Suherman, melaporkan dugaan pemalsuan yang dilakukan oleh keluarga Muller. Terdakwa, Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustandi Muller, dituduh menggunakan dokumen-dokumen yang tidak sah untuk menggugat hak atas tanah yang sudah dikuasai oleh warga. Dalam persidangan, Ade Suherman memberikan kesaksian bahwa ia mencurigai adanya pemalsuan dokumen, termasuk akta kelahiran dan akta Eigendom Verponding, yang digunakan oleh keluarga Muller untuk mengklaim tanah.
Ade menemukan ketidaksesuaian antara dokumen yang diajukan dan berita kematian nenek terdakwa, Rusmah, yang dipublikasikan pada tahun 1989 di surat kabar Belanda. Dari berita tersebut, tidak ada nama Edi, ayah terdakwa, yang tercantum, yang mengindikasikan adanya kemungkinan kecurangan. Penyelidikan warga yang lebih lanjut menunjukkan bahwa dokumen yang digunakan oleh keluarga Muller tidak terdaftar dengan benar di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ini menambah kekuatan argumen bahwa dokumen yang mereka ajukan adalah palsu dan tidak dapat dijadikan dasar untuk klaim hak milik atas tanah yang telah lama dikuasai oleh warga Dago Elos.
- Sertifikat Hak Milik (SHM)
Banyak warga Dago Elos, termasuk saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan, memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah dan diakui oleh Badan Pertanahan Negara. SHM ini menjadi bukti kuat bahwa mereka adalah pemilik yang sah atas tanah yang disengketakan. Saksi Wahyu Pribadi, misalnya, telah tinggal di Dago Atas Cirapuhan sejak 2009 dan mengurus sertifikat tanah sesuai prosedur yang ditetapkan BPN, yang menunjukkan bahwa tanah tersebut adalah miliknya berdasarkan konversi dari SK Gubernur.
Saksi lainnya juga memberikan kesaksian serupa, menjelaskan bahwa mereka memiliki SHM yang diterbitkan pada tahun 1988 dan merupakan konversi dari SK Gubernur. Hal ini menunjukkan bahwa warga Dago Elos tidak hanya mengklaim hak milik secara lisan, tetapi juga memiliki dokumen resmi yang mendukung klaim mereka. Kepemilikan SHM oleh warga Dago Elos tidak hanya menegaskan hak mereka atas tanah, tetapi juga menunjukkan nilai aset yang signifikan, dengan beberapa klaim mencapai triliunan rupiah. Dengan adanya bukti-bukti ini, warga Dago Elos berusaha untuk melindungi hak mereka dan menegaskan bahwa klaim keluarga Muller tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan kepemilikan yang sah dan telah diakui secara hukum.
- Penolakan Terhadap Eksekusi
Warga Dago Elos secara tegas menolak rencana eksekusi yang diusulkan oleh PT. Dago Inti Graha dan trio keluarga Muller. Mereka menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Bandung pada 20 Februari 2024 untuk menyampaikan keberatan terhadap surat aanmaning yang meminta mereka mengosongkan dan membongkar bangunan yang telah mereka tempati. Warga menuntut agar pengadilan menetapkan objek sengketa sebagai non-executable object, yang berarti bahwa tanah dan bangunan yang mereka huni tidak dapat dijadikan objek eksekusi. Mereka merasa terancam kehilangan tempat tinggal dan ruang hidup mereka, serta menegaskan bahwa keputusan tersebut akan berdampak besar pada kehidupan mereka. Dalam pernyataan di pengadilan, Ketua RT 2 Dago Elos, Heri Purnomo, menegaskan bahwa mereka akan terus menolak setiap upaya eksekusi, mengungkapkan komitmen warga untuk tetap tinggal di lokasi tersebut.
- Kecacatan Hukum dalam Gugatan
Warga Dago Elos, bersama tim kuasa hukum mereka, mengklaim bahwa gugatan yang diajukan terhadap mereka memiliki cacat hukum yang signifikan. Mereka menunjukkan bahwa daftar subjek dan objek yang tercantum dalam gugatan tidak akurat dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Banyak nama yang terdaftar adalah nama-nama yang tidak ada, ada pengulangan, atau bahkan mencakup individu yang sudah meninggal.
Ahmad Budie Santoso, salah satu anggota tim kuasa hukum, mengkritik sistem pengadilan yang membiarkan gugatan cacat seperti ini lolos ke tahap lebih lanjut. Ia menyoroti adanya kesalahan dalam identifikasi subjek dan objek yang dapat mengarah pada keputusan yang tidak adil. Daffa, anggota tim hukum lainnya, menambahkan bahwa kesalahan ini menunjukkan bahwa keputusan dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung adalah cacat formil dan dapat dipertanyakan secara hukum. Berbagai kesalahan ini menciptakan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi warga yang berusaha mempertahankan hak mereka atas tanah dan bangunan yang telah mereka huni selama bertahun-tahun.
- Vonis
Hakim PN Bandung menjatuhkan vonis bersalah terhadap duo Muller. Mereka dihukum 3 tahun 6 bulan penjara, sesuai pasal 266 ayat 2 KUHP, Senin, 14 Oktober 2024.
"Telah terbukti sah dan meyakinkan mempergunakan akta otentik yang isinya keterangan palsu, sebagaimana dalam dakwaan keempat. Menjatuhkan pidana kepada masing-masing terdakwa 1 dan terdakwa 2 penjara selama 3 tahun 6 bulan," Hakim Ketua Majelis, Syarif, membacakan putusan sidang.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain dari Pahmi Novaris atau artikel-artikel lain tentang Dago Elos