• Narasi
  • Menghidupkan Kembali Romantisisme Kartu Pos dan Filateli di Abad ke-21

Menghidupkan Kembali Romantisisme Kartu Pos dan Filateli di Abad ke-21

Kartu pos dan filateli mungkin ketinggalan zaman. Namun keduanya menawarkan sesuatu yang tak bisa diberikan teknologi digital, yakni sentuhan personal dan kenangan.

Chelsa Ornela Pakpahan

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad)

Lembar prangko yang mengabadikan perayaan seabad Observatorium Bosscha menandai apresiasi tinggi untuk kiprah institusi ini bukan saja bagi dunia astronomi, tapi peradaban. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

24 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Dalam era ketika kita terbiasa dengan pesan instan dan notifikasi tanpa henti dari layar ponsel dan layar komputer, pernahkah Anda merasa lelah dengan kecepatan dan keseragaman komunikasi digital? Bayangkan betapa istimewanya menerima sepucuk kartu pos fisik, sebuah pengingat bahwa seseorang di luar sana meluangkan waktu dan perhatian untuk menulis sesuatu dengan tangannya sendiri, kemudian menempelkan prangko yang unik dan mengirimnya dari belahan dunia lain.

Kartu pos dan filateli, hobi yang dianggap kuno oleh sebagian orang, sedang menemukan relevansi baru di abad ke-21, terutama di tengah masyarakat yang merindukan keaslian dan sentuhan personal.

Mengapa Kartu Pos dan Filateli Bertahan di Era Digital?

Meskipun hidup di dunia digital yang serba cepat, kartu pos dan prangko tetap bertahan, bahkan mengalami kebangkitan. Di era modern ini, ketika komunikasi sebagian besar terjadi secara online dan cepat, mengirim kartu pos adalah sebuah bentuk pelarian dari keseragaman digital. Ada kesan nostalgia yang menyertai kegiatan ini. Perasaan antisipasi saat menunggu kartu pos tiba dan sensasi membayangkan perjalanan yang dilalui oleh secarik kertas dari satu benua ke benua lainnya memberikan sentuhan emosional yang tidak bisa digantikan oleh layar ponsel.

Bagi banyak orang, mengoleksi prangko (filateli) dan bertukar kartu pos telah menjadi lebih dari sekedar hobi. Ini adalah bentuk seni, sebuah cara untuk merayakan keindahan desain, sejarah, dan budaya dari seluruh dunia. Setiap prangko memiliki cerita; dari gambar yang tercetak, kita dapat mempelajari begitu banyak tentang negara asalnya, peristiwa penting, hingga aspek sosial budaya yang mendefinisikan tempat tersebut.

Fenomena ini juga meluas dengan bantuan teknologi modern, seperti bantuan platform Postcrossing, yang memungkinkan kita bertukar kartu pos dengan orang-orang dari seluruh dunia. Melalui Postcrossing, kita bisa menerima kartu pos dari negara yang bahkan belum pernah kita kunjungi. Pengalaman ini memberikan kita sensasi tersendiri yang tidak dapat ditemukan dalam komunikasi digital.

Baca Juga: Bincang Buku Bandung dalam Kartu Pos di Ramadhan Post Book
Mesin Waktu Bernama Kartu Pos Bandung
Menelusuri Misteri Urban Legend di Museum Pos Indonesia

Sejarah Kartu Pos dan Prangko

Kartu pos pertama kali diterbitkan di Indonesia pada tahun 1874 oleh pemerintah kolonial, berukuran kecil dan tanpa gambar. Baru pada akhir abad ke-19, kartu pos bergambar mulai bermunculan. Pada mulanya, kartu pos hanya diperuntukkan untuk menuliskan alamat tanpa pesan pribadi. Namun, setelah tahun 1906, kartu pos mulai diperbolehkan memiliki sisi surat dan gambar, menjadikannya alat komunikasi yang lebih personal dan menarik. Dari waktu ke waktu, kartu pos terus berkembang dengan desain yang lebih artistik dan beragam.

Sejarah prangko pun tak kalah menarik. Prangko pertama kali muncul di Indonesia pada tanggal 1 April 1864, diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan gambar Raja Willem III. Seiring berjalannya waktu, prangko di Indonesia mulai mengalami perkembangan, dengan berbagai desain yang mencerminkan kekayaan budaya, sejarah, dan keindahan alam nusantara (Susilo R., 2002).

Sejarah Filateli dan Komunitasnya

Filateli, istilah untuk hobi mengoleksi prangko, berasal dari bahasa Yunani “philos” (teman) dan “ateleia” (bebas bea), yang merujuk pada praktik awal pos yang mana surat bisa dikirim tanpa membayar bea jika sudah menggunakan prangko. Hobi ini tidak hanya menarik bagi kolektor di seluruh dunia, tetapi juga telah menjadi bagian penting dari sejarah budaya Indonesia.

Di Indonesia, komunitas filatelis pertama kali terbentuk pada tahun 1922 dengan nama Vereninging van Postzegelverzamelaars in Nederlands-Indie (VPNI). Komunitas ini terus berkembang, dan kini dikenal sebagai Komunitas Filateli Indonesia (KFI). Hingga saat ini, komunitas ini masih aktif dan para anggotanya sering mengadakan pameran serta pertukaran prangko untuk melestarikan hobi klasik ini. (Susilo R, 2002).

Guna Sejarah Kartu Pos dan Filateli

Guna Edukatif: Kartu pos dan prangko adalah jendela kecil ke dunia. Dengan mengoleksi kartu pos dan prangko dari berbagai negara, kita dapat belajar tentang sejarah, geografi, seni, dan budaya.

Guna Inspiratif: Setiap kartu pos yang diterima memiliki cerita unik. Banyak cerita-cerita ini yang bisa menginspirasi, terutama dalam hal memahami sudut pandang orang lain dari negara yang berbeda.

Guna Rekreatif: Bagi sebagian orang, melihat desain prangko yang indah dan membaca pesan di kartu pos adalah bentuk hiburan. Hobi ini dapat menjadi cara untuk melarikan diri sejenak dari dunia digital dan menikmati hal-hal kecil yang penuh makna.

Kebangkitan Kartu Pos dan Filateli di Era Kontemporer

Meskipun hidup di era digital, kebangkitan kartu pos dan filateli terbukti nyata. Di Indonesia sendiri, prangko masih diterbitkan dalam berbagai desain menarik. Setiap tahun, Indonesia merilis sekitar 20-30 desain prangko baru yang mengusung tema-tema nasional, mulai dari keindahan alam hingga peristiwa budaya. Selain itu, berkat platform seperti Postcrossing, bertukar kartu pos menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Pengguna bisa saling bertukar kartu pos dengan siapa saja di dunia tanpa harus khawatir mengenai biaya pengiriman yang mahal. Dengan biaya sekitar Rp 5.000 hingga Rp 10.000, kita dapat mengirim kartu pos ke berbagai benua seperti Asia, Eropa, dan Amerika.

Mengapa Hobi Ini Layak Dilestarikan?

Kartu pos dan filateli memberikan kita kesempatan untuk menikmati sebuah momen. Hobi ini mengajarkan kita tentang keindahan dari hal-hal kecil, dari secarik kertas yang membawa cerita hingga selembar prangko yang menyimpan sejarah panjang. Di dunia yang serba cepat dan serba digital, hobi ini adalah pengingat bahwa tidak semua hal harus instan. Menunggu kartu pos yang datang dari jauh dapat memberikan kebahagiaan yang lebih dalam.

Kartu pos dan filateli mungkin dianggap sebagai tradisi lama, tetapi di era modern ini, keduanya menawarkan sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh teknologi digital; sentuhan personal dan kenangan yang abadi. Jadi, mengapa tidak mencoba mengirim kartu pos atau mulai mengoleksi prangko? Setiap kartu pos yang dikirim adalah bagian kecil dari hubungan yang lebih mendalam dengan dunia luar. Setiap prangko yang dikoleksi adalah jendela menuju sejarah dan budaya yang kaya.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pos

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//