Menyuarakan Kesejahteraan Buruh Bukan Tindakan Kriminal, Bebaskan Septia!
Septia dikriminalisasi karena menulis nasib buruh di tempanya bekerja, soal gaji di bawah UMR, pemotongan upah, tidak ada upah lembur.
Penulis Nabila Eva Hilfani 25 Oktober 2024
BandungBergerak.id - Septia masih harus berjuang menuntut keadilan. Buruh perempuan muda yang dikriminalisasi oleh John LBF sebagai atasannya di PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five), Selasa, 22 Oktober 2024 lalu menjalani sidang yang kelima di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia didakwa dengan pasal karet di Undang Undang ITE.
Septia dilaporkan oleh John LBF atas dasar pencemaran nama baik. Sebelumnya, Septia menyuarakan suaranya di media sosial terkait hak-haknya sebagai tenaga kerja yang tidak ia dapatkan, mulai dari gaji dibawah UMR, jam kerja yang melebihi batas, pemotongan gaji secara sepihak, dan tidak dibayarkannya jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut keterangan dari Safenetvoice, Septia bersama dengan beberapa rekannya sempat melaporkan John LBF kepada Dinas Tenaga Kerja dan hasilnya dinyatakan ada pelanggaran. Namun, pada tanggal 26 Agustus 2024, Septia dinyatakan sebagai tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik.
Setelah berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Septia ditahan dan mendekam di Rumah Tahanan Pondok Bambu Jakarta Timur selama 20 hari. Pada tanggal 19 September 2024 pascasidang penangguhan penahanan, Septia dibebaskan dengan status tahanan kota hingga 1 Oktober 2024. Penangguhan diberikan atas dasar akan berlangsungnya pernikahan Septia yang telah direncanakan sejak lama.
Pada 3 Oktober 2024, eksepsi yang diajukan oleh Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (Astaga) ditolak. Oleh karena itu, proses kriminalisasi terhadap Septia terus berlanjut. Siaran pers PBHI Nasional pada 4 Oktober 2024 menyebutkan beberapa argumentasi yang menjadi eksepsi Tim Astaga yakni, perihal kewenangan Pengadilan Negeri Jakpus untuk mengadili kasus Septia, legal standing John LBF sebagai pelapor, kebebasan ekspresi Septia sebagai korban pelanggaran hak-hak pekerja, ketiadaan upaya restorative justice oleh JPU, dan penggunaan pasal UU ITE yang sudah tidak berlaku.
Tanggal 9 Oktober 2024, sidang pemeriksaan pokok perkara diselenggarakan. Pertama kalinya, John LBF hadir sebagai saksi pelapor. Dalam persidangan tersebut pelanggaran-pelanggaran ketenagakerjaan perusahaan Hive Five terbukti benar. Bahkan, John LBF tidak membantah ketika bukti-bukti dijabarkan oleh kuasa hukum Septia.
Siaran pers LBH Pers soal persidangan lanjutan pemeriksaan saksi kasus kriminalisasi Septia menyebutkan bahwa terdapat beberapa fakta, yakni tidak adanya penyebutan nama Herdy Kurnia Adi atau John LBF dan nama perusahaan Hive Five di postingan media sosial Septia, ancaman pemotongan upah dan pemecatan dibenarkan oleh Sabar L. Toding, direktur Hive Five, hingga terungkapnya kebenaran soal kerja melebihi batas dan tidak adanya upah lembur.
Baca Juga: Warga yang Menolak Pertambangan Panas Bumi Tidak Bisa Dikriminalisasi
Kriminalisasi terhadap Partisipasi Publik, Cara Negara Menjegal Kritik
Masih Marak Kriminalisasi, Makin Sulit HAM Terlindungi
Alasan Septia Tidak Dapat Dikriminalisasi
Tim Astaga yang mendampingi Septia dalam proses hukum sejak sidang pertama menyatakan, tidak ada dasar hukum yang kuat atas penahanan yang dilakukan terhadap Septia.
“Kenapa Septia harus dibebaskan? Satu, Septia didakwa dengan Pasal yang sudah tidak berlaku lagi di Undang-Undang ITE. Undang-undang ITE yang digunakan adalah Undang-Undang versi 2016. Sekarang, sudah versi 2024,” jelas Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers dalam siaran pers sidang 17 September 2024 PBHI Nasional, diakses 24 Oktober 2024.
Dalam siaran pers tersebut juga menjelaskan bahwa Pasal 36 Undang-Undang ITE 2016 yang digunakan untuk menahan Septia pun sudah tidak berlaku. Hal-hal yang menjadi dasar penolakan Tim Astaga atas tuduhan yang dilayangkan pada Septia ini bahkan masuk dalam eksepsi yang diajukan. Namun eksepsi tersebut ditolak pada persidangan 3 Oktober 2024.
Penolakan tersebut dianggap sebagai kegagalan majelis hakim melihat ketidakadilan yang ada pada kasus Septia. Siaran pers PBHI Nasional 4 Oktober 2024, menyebutkan pernyataan Gema Gita Persada, salah satu pengacara Septia dari LBH Pers soal penolakan eksepsi tersebut.
“Penolakan eksepsi yang dibacakan pada hari ini (Sidang 3 Oktober 2024) menunjukkan bahwa majelis hakim, gagal mengidentifikasi dimensi ketidakadilan yang terdapat dalam kasus ini. Pertimbangan putusan sela cenderung hanya melihat dari sudut pandang penuntut umum,” jelas Gema (Diakses pada 24 Oktober 2024).
Penolakan eksepsi yang berujung pada lanjutnya kriminalisasi terhadap Septia ini dinilai Hafiz Nabiyyin, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Bahkan hal ini semakin memperlihatkan bahwa UU ITE versi 2024 yang digadang akan menghentikan kriminalisasi di Indonesia tidak berguna. UU ITE akan terus dijadikan alat resepsi (Siaran pers PBHI Nasional, 4 Oktober 2024).
Meski fakta-fakta yang dialami Septia mulai terungkap dalam beberapa sidang terakhir, pengawalan atas kasus Septia oleh masyarakat perlu dilakukan hingga pada persidangan terakhir, seperti yang disebutkan Gema pada Siaran Pers PBHI Nasional.
Terlebih, adanya kekhawatiran atas pembungkaman-pembungkaman lain oleh perusahaan terhadap karyawan yang menjadi korban pelanggaran hak-hak pekerja yang dinyatakan oleh massa aksi solidaritas Septia dalam Siaran Pers PBHI Nasional 20 September 2024.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain Kriminalisasi atau UU ITE