• Berita
  • Organisasi Masyarakat Sipil Mendorong Indonesia Segera Beralih ke Energi Baru Terbarukan untuk Mengurangi Dampak Perubahan Iklim

Organisasi Masyarakat Sipil Mendorong Indonesia Segera Beralih ke Energi Baru Terbarukan untuk Mengurangi Dampak Perubahan Iklim

Salah satu pencemar yang memicu perubahan iklim adalah PLTU batubara. Energi fosil seperti batubara mesti diganti dengan energi baru terbarukan.

Proyek pembangunan PLTU Cirebon 2, Jawa Barat. (Foto: Walhi Jabar)

Penulis Yopi Muharam28 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Perhatian dunia saat ini tertuju pada energi baru terbarukan (EBT). Banyak negara berlomba-lomba menggantikan energi fosil menjadi energi yang lebih sehat. Mereka mulai sadar bahwa krisis iklim sudah nampak dan sudah terjadi di beberapa belahan negara yang ditandai dengan berbagai bencana alam. Di pesisir utara Jabar (Pantura), 700 hektare lahan tenggelam karena naiknya permukaan laut yang disebabkan pemanasan global.

Pemanasan global memicu mencairnya kutub es di utara dan selatan. Tingginya polusi udara akibat gas buang (emisi atau karbondioksida) dari aktivitas manusia, menjadi biang kerok pemanasan global. Salah satu sumber polusi adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, di samping penggunaan bahan bakar fosil.

Maulida, perwakilan dari LBH Bandung menyatakan, mengurangi dampak pemanasan global membutuhkan dukungan penuh dari masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang dampak energi fosil ataupun batubara.

Selain edukasi, LBH Bandung juga telah mendampingi langsung masyarakat terdampak penggunaan energi fosil ini, seperti di lokasi pembangunan PLTU Cirebon dan Indramayu. Sejak 2015 LBH Bandung mengadvokasi masyarakat di bantaran laut utara untuk menggugat izin lingkungan proyek strategis nasional (PSN) ini yang dikeluarkan di Cirebon dan Indramayu.

“Kami melakukan advokasi terkait izin lingkungan terhadap Tanjung Jati A atau PLTU jawa 3 karena base daripada gugatannya adalah untuk mempertimbangkan perubahan iklim,” tegas Maulida, di dialog tentang transisi energi berkeadilan yang digelar GreenFaith Indonesia bekerja sama dengan GreenFaith Jepang, dan WALHI Jawa Barat di hotel Grand Tebu, Jalan R.E Marthadinata, Kota Bandung, Jumat, 25 Oktober 2024.

Bahkan advokasi yang dilakukan LBH Bandung dan Walhi Jabar terhadap PLTU Indramayu 2 membuahkan hasil. Kendati, dalam gugatan ke pengadilan tidak menang, tetapi PLTU 2 akhirnya tidak jadi dibangun. Meskipun dari gagalnya PLTU 2 itu tidak jadi dibangun ada tiga masyarakat yang dikriminalisasi.

“Di Jatayu (Indramayu) itu pernah bikin suatu perayaan mengibarkan bendera Indonesia, tapi kemudian mereka mengalami kriminalisasi karena ada proses manipulasi bendera Indonesianya dibali,” lanjutnya.

Kesadaran Memakai Energi Baru Terbarukan

Dialog ini dihadiri oleh berbagai stakeholder mulai dari DPRD, LBH Bandung, Akademisi, Perkumpulan Inisiatif, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat yang menjadi moderator, mengharapkan setelah acara ini berlangsung, setiap pemangku kepentingan (stakeholder) mampu mempunyai kesadaran tentang energi baru terbarukan, tak terkecuali pemerintahan yang mempunyai wewenang untuk membuat peraturan.

Dalam paparan perdana dialog ini, akademisi dari Unpad sekaligus peneliti, Viktor Permana memaparkan hasil risetnya tentang Survei Persepsi Masyarakat terhadap Isu Transisi Energi dan Dampak Perubahan Iklim dalam Momentum Pilkada 2024 di Provinsi Jawa Barat. Viktor meneliti lebih dari 400 orang warga Jawa Barat untuk penelitiannya itu.

Dalam hasil penelitiannya, Viktor mengungkapkan responden setuju bahwa isu perubahan iklim kini menjadi perhatian utama bagi warga Jawa Barat menjelang Pilkada 2024. Dari data tersebut sebanyak 84,1 persen menunjukkan bahwa responden mendukung transisi energi dan berharap para calon pemimpin daerah memasukkan program lingkungan yang jelas dalam kampanye mereka.

Lebih dari itu, mayoritas responden menyadari bahwa cuaca semakin tak menentu, dengan persentase 93,8 persen mereka merasa hal ini perlu diatasi. Tingkat kesadaran ini, ujar Viktor berada pada kelompok usia mayoritas dari umur 26-45 tahun.

“Isu transisi energi dan dampak perubahan iklim mulai menjadi pertimbangan dalam pemilihan politik masyarakat,” ujarnya. “Kami melakukan riset ini dilatarbelakangi oleh konsen terdahap dampak sosial ekonomi dari perubahan iklim,” lanjutnya.

Di sisi lain, peneliti dari Perkumpulan Inisiatif Koalisi Untuk Energi Bersih (Kutub), Wulandari mepresentasikan tentang anggaran publik Jawa Barat untuk energi terbarukan. Wulan mengungkapkan, pendapatan Pemprov Jawa Barat untuk energi terbarukan masih minim dibandingkan dengan pendapatan dari energi fosil.

“Pendapatan daerah dari energi fosil mencapai 2 triliun (rupiah), sementara energi terbarukan hanya menyumbang 0,5 persen dari total PAD (Pendapatan Asli Daerah),” jelas Wulan. Dia menjelaskan bahwa hasil penelitian tersebut hanya bersumber dari satu kementerian yaitu Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kendati potret pendapatan energi kotor masih mendominasi PAD, Wulan mengharapkan pemerintah mampu membelanjakan hasil tersebut untuk membelanjakan kebutuhan untuk EBT. Bahkan dia juga menegaskan agar masyarakat mampu dilibatkan dalam proses memutuskan anggaran dan perencanaan.

Dialog tentang transisi energi berkeadilan yang digelar GreenFaith Indonesia bekerja sama dengan GreenFaith Jepang dan WALHI Jawa Barat di hotel Grand Tebu, Bandung, Jumat, 25 Oktober 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Dialog tentang transisi energi berkeadilan yang digelar GreenFaith Indonesia bekerja sama dengan GreenFaith Jepang dan WALHI Jawa Barat di hotel Grand Tebu, Bandung, Jumat, 25 Oktober 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Tantangan yang Mesti Dilalui

Perwakilan dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat Permadi mencatat, bahwa dampak dari perubahan iklim sudah menimpa pesisir utara Jawa Barat. Dia mengatakan ada 700 hektare lahan yang sudah tenggelam. Hal tersebut diakibatkan dengan kenaikan permukaan air laut.

Saat ini, kementerian ESDM tengah menggenjot melakukan energi terbarukan. Salah satunya dengan menerapkan Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2019 yang mengatur tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Jawa Barat tahun 2018-2050. 

RUED sendiri merupakan kebijakan pemprov Jawa Barat untuk mengelola energi secara lintas sektor untuk mencapai rencana umum energi nasional. Dalam peraturan tersebut Permadi mengungkapkan target porsi energi terbarukan bisa mencapai 20 persen pada tahun 2025 dan 28 persen pada tahun 2050.

“Kemudian kami sendiri dari pemerintahan melaksanakan beberapa hal di antarnnya pemanfaatan PLTS atap untuk sektor publik, kita bangun PLTS publik di beberapa sekolah,” ujar Kepala Bidang Energi itu.

Dia juga mengatakan dalam menghadapi tantangan krisis iklim perlu adanya kolaborasi antarsektor. “Kemudian kita juga membentuk forum energi daerah karena memang untuk masalah energi ini tidak bisa sektor ESDM sendiri,” lanjutnya.

Baca Juga: Kasus Korupsi PLTU 2 Cirebon, Iklim Panas dan Uang Panas
Pendapatan Asli Daerah dari PLTU Indramayu tak Sebanding dengan Besarnya Risiko Kerusakan Lingkungan dan Masalah Kesehatan
Jurnalis Rakyat Indramayu Mengupas Dampak Merugikan PLTU Bagi Nelayan

Kata Wakil Rakyat

Dalam dialog bertemakan lingkungan bersih ini, hadir Ahab Sihabudin, anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi PKS dan Heri Ukasah dari Fraksi Gerindra. Ahab yang menjabat sebagai komisi 4 DPRD ini mengatakan bahwa EBT harus betul-betul menjadi perhatian pusat. Tidak hanya itu, pemerintah pusat juga harus bisa mendorong untuk memfasilitasi kebutuhan di daerah untuk menerapkan EBT ini.

“Potensi energi terbarukan di Jawa Barat mencapai 200 gigawatt, dan pemerintah pusat perlu memfasilitasi peralihan ini,” ujarnya. Dia menyadari, perubahan iklim ini tidak hanya dihasilkan dari PLTU saja. Pembalakan hutan contohnya, yang bisa menyebabkan banjir bandang.

“Banjir di bantaran sungai Cimanggu banjir bandang sudah terjadi dua kali. Yang pertama tahun 2016  dan 2022,” ujarnya. “Pedahal dalam siklus sejarah, banjir bandang katanya 100 tahun sekali. Terus sekarang cuman enam tahun sekali, itu karena hulunya sekarang itu sudah gundul atau sudah rusak,” lanjutnya.

Dia juga menegaskan agar masyarakat harus mempunyai kesadaran akan perubahan iklim ini. Ahab mengungkapkan bahwa pentingnya EBT ini akan berpengaruh kepada kebijakan pusat.  

Di sisi lain, Heri menyatakan dukungannya terhadap upaya transisi energi. Menurutnya sudah menjadi tanggung jawab DPRD Jawa Barat atas kondisi lingkungan di daerahnya. “DPRD bertanggung jawab atas kondisi lingkungan di Jawa Barat, sehingga kita harus mendukung sepenuhnya,” tuturnya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharamatau artikel-artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//