Zaman Pergerakan Reformasi 1998 dalam Bingkai Lukisan Pameran Tunggal Rahmat Jabbaril
Pameran seniman Rahmat Jabbaril di Sanggar Seni Olah Seni (SOS) Bandung berlangsung 20 Oktober- 31 Oktober 2024. Mengajak bercermin ke era reformasi.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah30 Oktober 2024
BandungBergerak.id - Manusia dan sejarahnya menjadi tema yang mencuat di pameran “Live Collage Art Exhibition” Rahmat Jabbaril. Ia memamerkan lukisan-lukisan para tokoh lintas sejarah, mulai dari Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, hingga Karl Marx dan tokoh anarkisme Bakunin. Tak ketinggalan, narasi Orde Baru dan reformasi 1998 melintasi dinding pameran melalui gambar Adian Napitulu dan Budiman Sudjatmiko.
Pameran tunggal ini berlangsung di Sanggar Olah Seni (SOS) Babakan Siliwangi, Bandung, mulai 20 Oktober- 31 Oktober 2024. Momentum pameran bertepatan dengan transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Melalui lukisan-lukisannya, Rahmat Jabbaril ingin menampilkan sejarah, pemikiran, dan gerakan di dalam ruangan yang sama di galeri SOS yang juga memiliki sejarah pergerakan di Bandung. Sedikitnya lebih dari 20 lukisan yang dipamerkan, ada juga instalasi patung yang menyatu dengan kanvas.
Rahmat Jabbaril menyebut karya-karya tersebut sebagai seni rupa kontemporer. Patung di atas kanvas merupakan bentuk tubuh tanpa wajah yang menggunakan pakaian hitam. Pakaian ini dipakai Rahmat ketika menjadi aktivis 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru.
“Pameran ini jadi kolase hidup. Ini baju dulu selalu saya pake semasa 1998, saya dulu ikut Forum Kota,” kata Rahmat Jabbaril kepada BandungBergerak, Kamis, 24 Oktober 2024.
Bagi seniman asal Bandung ini, lukisan-lukisan para tokoh dengan latar belakang filsafat, politikus, revolusi, dan bahkan sastrawan banyak mempengaruhi kaum-kaum gerakan kritis di masa reformasi 1998. Tak terkecuali Budiman Sudjatmiko yang kini menjadi Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan di Kabinet Merah Putih pimpinan Prabowo Subianto.
“Saya juga menggambarkan Budiman, ada Adian Napitulu ada riwayat dari gerakan, walaupun mengecewakan tapi ada jejak sejarahnya. Untuk mengingatkan dia. Dan para tokoh itu, (membaca) bacaan-bacaan yang banyak dilarang juga semasa Suharto dulu,” ungkap Rahmat.
Ya, pameran ini untuk mengingatkan kaum aktivis dan generasi muda agar terus belajar sejarah dan membaca pemikiran. “Biar menjadi aktivis itu tidak sekedar ikut-ikutan, harus berpikir kritis juga,” jelas Rahmat.
Tidak hanya para tokoh gerakan saja yang ia lukis. Beberapa lukisan bernada satire juga mewarnai pameran ini, misalnya ‘Democracy Riot’ yang dilukis di atas kanvas berukuran 100 x 100 centimeter. Lukisan ini terasa abstrak, meski banyak sosok-sosok kepala di antara coretan-coretan kacau. “Demokrasi kita kecamuk, walaupun gemoy tapi tidak membahagiakan,” ujar Rahmat.
Baca Juga: Catatan 24 Tahun Reformasi
Catatan Seperempat Abad Reformasi
Refleksi Reformasi 1998, dari Maraknya Politik Identitas hingga Menguatnya Penguasa Otoriter
Rahmat Jabarril dan Seni Sebagai Alat Perjuangan
Rahmat Jabbaril tidak lagi asing di kalangan seniman Kota Bandung. Karya-karyanya selalu bercerita tentang protes terhadap ketidakadilan, kelas-kelas pinggiran, dan perjuangan aktivis prodemokrasi. Tak sedikit lukisan-lukisannya mengabarkan kemuraman dan kegelapan negeri ini.
Dalam catatan kuratorial Bambang Subarnas, babak kesenian Rahmat Jabbaril dibagi ke dalam empat periode, yaitu periode Rahmat muda, periode konfrotasi, periode advokasi, dan periode refleksi.
Rahmat Jabarril muda tumbuh di lingkungan pesantren di Garut. Di periode ini, kegemarannya pada menggambar telah tumbuh. Budaya pesantren juga mendorongnya untuk berpikir kritis.
Di periodisasi konfrontasi era tahun 1990-2000-an, ia terlibat dalam aktivisme untuk menyuarakan isu sosial dan keadilan. Rahmat pernah membuat pameran berjudul ‘Demokrasi Sudah Mati’ yang diselenggarakan 21 November 1997- 21 Mei 1998. Di pameran ini ada karyanya yang dikubur dan ia bersumpah akan mencabutnya setelah Suharto lengser. Tahun 2000-an ia melakukan aksi monumental dengan membawa kepala babi dari Gedung Yayasan Kebudayaan hingga Gedung DPRD Jabar.
“Pascareformasi, seniman yang mengangkat isu sosial politik ibarat iringan gitar yang chordnya tidak pas,” demikian tulis Bambang Subarnas, dalam catatan kurator “Rahmat Jabbaril, Dari Garut Hingga Dago Pojok”.
Rahmat kemudian beranjak ke periode advokasi. Ia membangun kemandirian dan kreativitas di kawasan Dago Pojok. Di masa ini, aksinya tak seliar dibandingkan era konfrontasi.
Bambang menyebut pameran yang diselenggarakan di Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi sebagai periodisasi refleksi yang mengajak bercermin ke diri sendiri. “Sebagaimana layaknya berkaca, kita melihat diri kita sendiri,” jelas Bambang.
Sementara itu, Ika Ismurdiyahwati dalam Sebuah Karya Seni Tidak dapat Menandingi Suatu Wajah Manusia Dalam Keindahan Air Mukanya mengatakan, pameran Rahmat Jabbaril ini penuh dengan kekuatan dan pengalaman hidup yang mendalam. Melalui karya-karyanya terdapat pengalaman dari realita hidup yang terus memaksa maju dan belajar.
“Pengalaman yang dilalui tidak dapat mengalahkan imajinasi kreatif karena perjalanan panjang yang telah dilaluinya dengan kegigihan,” ujar Ika.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel Reformasi 1998