PROFIL UNIT KEGIATAN STUDI KEMASYARAKATAN (UKSK) UPI: Mengajak Mahasiswa Terjun ke Masyarakat
UKSK UPI mempertahankan semangat kemasyarakatan yang harus dimiliki mahasiswa. Mahasiswa bukanlah agen tunggal perubahan.
Penulis Ivan Yeremia1 November 2024
BandungBergerak.id - Mahasiswa sering dikaitkan dengan gerakan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak. Dalam catatan sejarah banyak perubahan social dimulai dari gerakan mahasiswa. Beberapa yang paling diingat adalah gerakan mahasiswa Angkatan 66 dan Angkatan 98 yang berhasil menggulingkan hegemoni penguasa di zamannya.
Masih banyak lagi contoh gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan keadilan dan kepentingan rakyat. Yang terbaru adalah gerakan Peringatan Darurat saat mahasiswa dan kelompok masyarakat lain turun ke jalan menolak kesewenangan yang dilakukan penguasa eksekutif dan legislatif. Buah dari Peringatan Darurat adalah batalnya revisi UU Pilkada.
Semangat untuk memperjuangkan keadilan dan kepentingan rakyat ini berusaha terus dijaga dan dikembangkan oleh Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UPI yang bergerak di ranah sosial.
Adinda Putri Chaniavatov (23 tahun), mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra yang saat ini menjadi Ketua UKSK UPI bercerita, awalnya UKSK UPI lahir karena forum diskusi yang dilakukan mahasiswa Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung pada 1997. IKIP merupakan nama UPI sebelumnya.
“Para mahasiswa itu resah dengan berbagai masalah yang ada di negara khususnya masalah-masalah di kampus,” ujar wanita yang akrab disapa Vatov, 3 September 2024.
Forum diskusi tersebut kemudian melahirkan Serikat Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR). Serikat ini lahir karena mahasiswa saat itu membutuhkan wadah yang mengikat. Di era Orde Baru tersebut, wadah untuk berdiskusi dan berkumpul sangatlah sedikit.
Setelah SMPR, perkumpulan ini berganti nama menjadi Komite Mahasiswa Peduli Pendidikan Indonesia (Komppi) dan Keluarga Aktivis Mahasiswa (KAM) UPI. Pascareformasi, mahasiswa yang tergabung dalam KAM UPI menyadari perlu adanya organisasi intrauniversitas yang jadi basis pengkaderan dan wadah aktif untuk mengkritik berbagai kebijakan di kampus.
“Utamanya (mengkritik) birokrasi kampus,” ujar Vatov, yang tertarik bergabung ke UKSK UPI karena ingin belajar tentang gejala-gejala sosial.
Tanggal 28 Oktober 2000 adalah hari KAM UPI bertranformasi menjadi UKSK UPI. Dari situlah perjalanan UKSK sebagai UKM di UPI dimulai.
Bergiat untuk Masyarakat
Sebagai organisasi, UKSK memiliki beberapa kegiatan rutin yang dilakukan. Marlina Ahdiza Putri, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini mengatakan, meskipun sering kali dikenal sebagai UKM yang gemar demonstrasi tetapi UKSK memiliki berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Sekretaris Jendral UKSK 2023-2024 ini menjelaskan, untuk kaderisasi UKSK memiliki beberapa tingkat yaitu Pendidikan Tahap (PT) 1, PT 2, dan PT 3. UKSK juga rutin melakukan Pengabdian Kepada Masyarakat (P2M) dan beberapa kali melakukan kampanye massa untuk merespons masalah yang ada di masyarakat.
Namun, Adinda Putri Chaniavatov menimpal, ada satu kegiatan yang menjadi taring dari komunitas ini yaitu Selasaan. Selasaan adalah kegiatan diskusi rutin setiap hari Selasa jam 4 sore yang membahas berbagai masalah pada masyarakat khususnya terkait masalah pendidikan. Kegiatan ini biasanya dipantik oleh beberapa mahasiswa dan dilakukan di tempat terbuka seperti di Taman Bareti atau di depan Gedung Geugeut Winda UPI.
“Untuk Selasaan ga ada tema bulanan, gitu. Pembahasannya adalah isu yang sedang berkembang di masyarakat. Prinsip organisasi kita tuh akan membahas masalah yang sedang dialami oleh masyarakat pada saat itu,” ungkap Vatov, tentang isu yang diangkat pada saat Selasaan.
Vatov berharap, diskusi Selasaan bisa menjadi ajang untuk menimba ilmu bagi mahasiswa yang nantinya akan menjawab permasalahan di masyarakat, walaupun sedikit.
Seperti tujuan berdirinya organisasi, UKSK memang memiliki fokus pada permasalahan yang ada di dunia pendidikan. Masalah-masalah pokok yang menghantam mahasiswa dan yang sering menjadi pembahasan di UKSK adalah komersialisasi pendidikan melalui mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT); fasilitas berbayar di kampus; dan masalah bantuan dari pihak kampus pada mahasiswa yang tidak mampu.
“Tapi membahas pendidikan bukan berarti tidak membahas masalah-masalah lain, karena pasti ada irisannya sama elemen-elemen masyarakat yang lebih luas lagi,” ujar Vatov.
Meskipun fokus utama UKSK adalah soal permasalahan pendidikan, tetapi pembahasan dan kegiatan dari komunitas ini tidak hanya terpaku pada bidang itu saja. Sering kali UKSK bergiat dan berdiskusi bersama komunitas masyarakat lain untuk membahas permasalahan yang ada di masyarakat.
UKSK juga menjalin komunikasi dengan buruh, dalam hal ini dengan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Bandung.
“Jadi buruh bisa menyampaikan masalahnya secara langsung kepada mahasiswa supaya mahasiswa paham permasalahan apa yang dialami oleh buruh. Bukan apa yang hanya kita baca dari buku saja,” kata Vatov yang telah bergabung dengan UKSK sejak tiga tahun lalu.
Tak hanya itu, UKSK juga sering bergiat membantu masyarakat yang terkena dampak bencana seperti pada saat gempa Cianjur. Menurut Marlina, anggota UKSK terjun membantu warga Cianjur selama beberapa bulan.
Menjalin kerja sama dengan komunitas lain bukan pantangan. Perkumpulan ini berjaringan dengan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) di Pangalengan untuk memahami kondisi sebenarnya dari penindasan yang dirasakan oleh kaum tani.
Mereka juga aktif bersolidaritas untuk masyarakat Dago Elos yang sedang mempertahankan tanahnya dari klaim Muller bersaudara. Beberapa kali mereka menyuarakan tanah untuk rakyat Dago Elos melalui Aksi Kamisan Bandung.
Peka terhadapa Isu di Masyarakat
Vatov dan Marlina meyakini sebagai bagian dari masyarakat mahasiswa wajib peka terhadap isu-isu yang ada di masyarakat. Mereka percaya bahwa kepekaan itu membuat mahasiswa memahami kondisi objektif yang ada di sekitarnya sehingga tidak mudah dibodoh-bodohi oleh berbagai kebijakan.
Tahun ini ada kenaikan partisipasi mahasiswa yang ikut berdiskusi bersama UKSK. Jika dibandingkan dengan masa pascapandemi Covid-19, menurut Vatov pada tahun 2024 terjadi kenaikan yang cukup signifikan. Hal itu terjadi karena munculnya Permendikbudristek nomor 2 tahun 2024 yang membuat UKT bertambah golongannya walaupun akhirnya dibatalkan.
“Jadi mahasiwa tersadarkan bahwa memang pendidikan sedang tidak baik-baik saja. Pendidikan sedang dikomersialisasikan ditambah di UPI tidak ada bantuan,” ungkap Vatov, mahasiswa yang tertarik dengan isu perempuan.
Dari hal tersebut kemudian mahasiswa baru terdorong untuk mencari tahu dan salah satu jalan untuk mengetahui permasalahan di kampus adalah ikut diskusi selasaan UKSK. Vatov menilai bahwa peserta diskusi yang semakin banyak menjadi bukti keresahan mahasiswa terkait dunia pendidikan.
Di satu sisi, Marlina melihat mahasiswa sekarang banyak yang tertarik pada isu-isu kemasyarakatan, bahkan sebagian ingin terlibat langsung ke masyarakat. Tetapi di sisi lain, kebijakan wajib mengikuti berbagai kegiatan seperti MBKM membuat mahasiswa kurang memiliki waktu untuk terlibat langsung di masyarakat.
Baca Juga: PROFIL BERKAWAN SEKEBUN: Menyemai Zine, Menyulam Literasi di Pasar Cihapit
PROFIL KOMUNITAS ASAS UPI: Teguh Menjaga Api Kesusastraan
PROFIL KOMUNITAS JAKATARUB: Membangun Dialog dengan Umat Berbeda Agama dan Keyakinan
Bukan Agen Perubahan
Walaupun memiliki kepekaaan terhadap masyarakat dan memiliki ilmu yang lebih, Vatov tidak ingin mahasiswa menganggap dirinya sebagai agen perubahan tunggal seperti yang selama ini digaungkan di kampus bahwa mahasiswa adalah agent of change.
“Konsep mahasiswa sebagai agen perubahan sudah tidak relevan dan harus diperbaharui. Slogan agent of change yang ada pada mahasiswa cenderung membuat mahasiswa menjadi arogan dan terjebak dalam kebanggaan semu bahwa perubahan hanyalah melibatkan mahasiswa saja,” jelas Vatov, mahasiswa yang saat ini sedang menjalani tahun terakhirnya di kampus.
Mahasiswa sendirian tidak dapat menyelesaikan semua permasalahan struktural di Indonesia, seperti kemiskinan, sistem pendidikan yang dibentuk tidak ilmiah; serta kondisi ketertindasan yang dialami oleh kelas buruh dan kaum tani.
Anggapan tersebut didukung oleh data yang dikeluarkan Badan Pusat Statitistika pada 2024 bahwa jumlah mahasiswa Indonesia hanya 9,32 juta orang, yang berarti jumlah mahasiswa di Indonesia kurang dari 5 persen dari total seluruh warga Indonesia.
Sangat naif untuk mengatakan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. UKSK meyakini bahwa perubahan harus mencakup keseluruhan sistem yang ada di negara dan untuk mencapai hal tersebut harus dilakukan oleh berjuta-juta massa di Indonesia.
“Jadi perubahan bukan hanya milik mahasiswa saja dan pemuda bukanlah agen tunggal dari perubahan tersebut. Kalau mau perubahan mahasiswa harus turun dengan kaum buruh, kaum tani, nelayan, masyrakat adat, kaum miskin kota, dan kelompok rentan lainnya untuk mencapai hal tersebut,” tutup Vatov
Marlina berharap ke depannya mahasiswa tidak menyekat diri dan tidak melabeli dirinya lebih baik dibanding kelompok masyarakat yang lain. Ia juga ingin mahasiswa untuk dapat lebih berdampak bagi masyarakat walaupun banyak beban tugas dan tuntutan lulus yang harus dihadapi.
*Kawan-kawan yang baik bisa mengunjungi karya-karya lain dari Ivan Yeremia, atau artikel-artikel lain tentang Profil Komunitas Bandung