LPM Suaka Mengajak untuk Tetap Berani Bersuara Kritis di TikTok
TikTok digarap dengan baik oleh tim kampanye Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Sebagian orang muda Indonesia mengakses berita melalui TikTok.
Penulis Yopi Muharam4 November 2024
BandungBergerak.id - Pengaruh media sosial berperan besar membawa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ke tampuk kekuasaan. Bahkan masifnya kampanye yang dilakukan timses Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 mampu mengubah fakta sejarah tentang dugaan pelanggaran HAM di masa lalu.
Sosok bekas serdadu yang dinilai tegas, seketika berubah menjadi pribadi yang dinilai gemoy. Hal itu juga berpengaruh pada persepsi masyarakat Indonesia terhadap Prabowo sekaligus melupakan peristiwa-peristiwa saat Orde Baru masih berkuasa.
Melihat hal tersebut, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka menyelenggarakan diskusi bertajuk ‘Representasi Demokrasi Melalui Gerakan di Media Sosial’ di aula Student Center, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Sabtu, 2 November 2024. Diskusi ini dipantik oleh dua narasumber, Iqbal Tawakal Lazuardi, Ketua AJI Bandung, dan Bilal M Sean dari tim kampanye LBH Bandung.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam itu menyoroti pengaruh media sosial yang berdampak pada kehidupan nyata. Iqbal yang menjadi pemantik pertama, menjelaskan tentang siklus media sosial dalam memenangkan Prabowo-Gibran sebagai presiden.
Iqbal mengungkapkan ada kesamaan antara Prabowo dan Bombong Marcos, Presiden Filipina dalam memenangkan pemilihan presiden. Keduanya mengambil hati masyarakat dengan melakukan gimik berupa tarian. Bukan tanpa alasan, menurut Iqbal tarian-tarian yang dianggap lucu itu merupakan kampanye sistematis, terstruktur, dan masif yang disebarkan ke berbagai media sosial, terutama TikTok untuk menggaet hati masyarakat.
“Kita tahu bahwa Prabowo seperti sekarang itu sangat menggemaskan dan anak muda banget, itu by design teman-teman,” tuturnya. “baik Marcos atau Prabowo menjadikan TikTok sebagai area untuk mereka meraih suara,” lanjutnya.
Ada analisis yang Iqbal jabarkan dalam pemaparannya. Indikasi terbesar dalam memenangkan Prabowo-Gibran adalah platform TikTok. Dia menjelaskan, bahwa pengguna Tik-Tok di Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Ada sekitar 157 juta masyarakat Indonesia aktif menggunakan aplikasi buatan China itu. Belum lagi pengguna rata-ratanya mencapai 38 jam 26 menit dalam sebulan.
Adanya peluang tersebut mampu dimanfaatkan oleh timses Prabowo untuk menyebarkan ke khalayak TikTok joget gemoy ala Prabowo. Alhasil pemilih terbanyak ada di aplikasi tersebut. “TikTok tuh sangat cepat penyebarannya dan sangat mudah,” tutur Iqbal.
Iqbal melanjutkan sebanyak 69,9 persen orang muda dari rentang 18-26 tahun merupakan pemilih Prabowo. Hal itu selaras dengan persentase pengguna TikTok dengan rata-rata usia 18–24 tahun.
Hal itu juga berpengaruh pada pemberitaan di TikTok. Merujuk pada data Reuters Institute, 60 persen orang Indonesia mendapatkan berita dari platform media sosial. Dari semua medsos, TikTok memperoleh popularitas sebagai sumber berita. Bahkan melonjak dari 7 point persentase, dari 22 menjadi 29 persen.
"Artinya Marcos dan Prabowo bisa merebut hati orang muda untuk memenangkan pemilu," ujarnya. Marcos sendiri merupakan anak sulung dari bekas presiden diktator Filipina, Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos. Antara Prabowo dan Marcos, menurut Iqbal mempunyai kesamaan, yaitu; melakukan tarian untuk menggaet hati masyarakat.
Baca Juga: Dari Balas Budi ke Politik Nilai, Menakar Harapan untuk Kabinet Prabowo
Aksi Kamisan Bandung Tentang Rezim Prabowo
Indonesia di Bawah Prabowo-Gibran, Kabinet Gemuk Dikhawatirkan Melemahkan Semangat Oposisi dan Kritik
Megkritik Rezim Mendapat Serangan Siber
Di sisi lain, Bilal menyoroti adanya serangan siber bagi pengkritik pemerintah. Adanya buzzer yang diperalat pemerintah dapat meredam suara masyarakat yang kritis. Salah satu serangan siber menimpa Najwa Shihab, jurnalis perempuan yang gencar melakukan kritik.
Beberapa hari pascapelantikan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden, pengguna TikTok ramai menyerang karakter Najwa Shihab. Puncaknya ialah adanya pembakaran buku. Buku bersampul merah dengan judul Catatan Najwa itu sengaja dibakar oleh kreator dengan narasi merendahkan. “Efek cuaca panas bisa keluar api gini. Menyala Mbak Nana,” tulis video yang diunggah salah satu pemilik akun.
Bukan hanya itu, serangan masif juga diikuti oleh beberapa pengguna TikTok. Serangan tersebut, menurut Bilal sangat sistematis dan terstruktur. Dia mengatakan bahwa buzzer hanya melempar penggiringan opini ke publik. Selebihnya pengguna atau bahkan bot yang membalas itu secara otomatis.
“Ya udah dia (buzzer) cuma lempar opini doang terus cabut (pergi) gitu ga ada balasan lagi gitu,” jelasnya. Bilal menyarankan untuk tidak menggubris hal tersebut. Dia menekankan lebih penting membuat konten tandingan yang lebih bermanfaat.
Dia juga menambahkan, jika ada masyarakat Indonesia yang mengalami serangan siber akibat mengkritik pemerintah untuk tidak menahan sendiri. Menurutnya lebih baik segera ceritakan kepada teman terdekat atau langsung menghubungi lembaga bantuan hukum untuk mencari tempat perlindungan.
“Dia (buzzer) akan menyerang secara individu, karena individu paling rentan untuk diserang. Kalau lembaga kan enggak akan mungkin mereka serang,” lanjutnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Iqbal. Dia menyadari bahwa fenomena buzzer ini tidak bisa dipisahkan. Menurutnya itu adalah hal yang naluriah.
Iqbal menjelaskan saat terjadinya aksi Peringatan Darurat yang diinisiasi oleh postingan Narasi menyebabkan terseretnya Najwa Sihab menjadi sasaran empuk para buzzer. Akan tetapi, Iqbal menyoroti bahwa gerakan Peringatan Darurat itu adalah hal yang organik. Justru, Iqbal menyoroti aksi pembakaran buku ini sebagai gerakan anorganik.
Hal yang paling penting menurut Iqbal adalah terus bersuara untuk mengkritik pemerintah. Bahkan, jika sampai masyarakat diam tidak bersuara melihat ketidakadilan akan membuat para buzzer berhasil menjalankan tugasnya.
“Bahwa kalau kita diam buzzer-buzzer yang tidak bertanggung jawab dan ingin merusak itu ya menang mereka,” jelasnya. Lebih dari itu, Iqbal menyarankan untuk membuat konten tandingan di platform yang penggunanya minim mempunyai kekritisan. TikTok, salah satunya.
“Kita harus mencoba di platform yang kira-kira orang kritisnya sedikit gitu. Kaya TikTok. Makanya saya aware terhadap tiktok, karena penyebaran-penyebaran seperti naik kasus pembakaran itu kan awalnya di tiktok,” ungkap Iqbal. “Si penyebar pesan ini sadar bahwa orang-orang di tiktok ini sangat rentan secara psikologis,” lanjutnya.
Dia juga menyarankan agar terus bersuara di TikTok. Intinya, kata Iqbal, adalah untuk menghalau serangan-serangan yang dilakukan oleh buzzer. Hal ini menurutnya agar membuat demokrasi lebih sehat.
“Jadi pesan saya tetap bersuaralah tetap terus melakukan counter terhadap isu-isu tersebut. Karena itu kan sangat-sangat merusak (demokrasi),” katanya. “Orang-orang kritis bakal terus mendapat tantangan seperti itu,” lanjutnya.
Saat pemerintahan era Jokowi, kebebasan ekspresi sudah sangat rentan. Sebab, adanya UU ITE untuk mencekal para masyarakat yang bersuara mampu untuk meredam. Menurut Iqbal para mahasiswa, masyarakat, hingga aktivis harus berjalan beriringan. Sebab menurutnya di era pemerintahan mantu Suharto ini, kebebasan bisa lebih menantang.
“Kita harus memikirkan hal terburuk ini. Watak Prabowo yang aslinya mungkin bakal kita alami,” tutupnya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain Prabowo Subianto