Beban Orang Muda Indramayu Meningkat Setelah Ekonomi Orang Tua Terdampak PLTU
Beroperasinya PLTU 1 Indramayu berdampak pada menurunnya produksi padi, meningkatnya hama, tangkapan ikan dan rebon semakin jauh, dan tambak garam semakin tersisih.
Penulis Awla Rajul11 November 2024
BandungBergerak.id - Masyarakat yang berdekatan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merasakan betul dampak yang ditimbulkan karena kehadiran pembangkit listrik berbahan bakar batu bara tersebut. Perwakilan Jaringan Tanpa Asap Indramayu (Jatayu) Eri Irawan menerangkan, setelah adanya PLTU 1 Indramayu pada 2011, banyak pemuda yang harus bekerja membantu ekonomi keluarga lantaran penghasilan orang tua di sektor kelautan dan pertanian merosot.
“Sulit kita mencari anak muda seusia saya, karena banyak anak muda yang lebih memilih ke luar daerah atau harus ke luar negeri untuk menjadi TKW (tenaga kerja wanita) atau TKI (tenaga kerja Indonesia),” ungkap Eri dalam diskusi publik bertajuk “Co-firing biomassa: Tipu-tipu Pensiun Dini PLTU” yang diselenggaraan LBH Bandung, Walhi Jawa Barat, Trend Asia, bekerja sama dengan PLEADS Unpad di Ruang Serbaguna Rektorat Gedung 2 lantai 4 Universitas Padjadjaran, Dipatiukur, Bandung, Selasa, 5 November 2024.
Eri menerangkan demikian, sebab banyak orang tua di Indramayu, tepatnya di wilayah kecamatan Sukra dan Patrol yang bekerja sebagai petani dan nelayan telah merasakan dampak penurunan pendapatan akibat adanya PLTU. Karena orang tua mengalami penurunan pendapatan, banyak anak-anak yang tidak memilih melanjutkan pendidikan, lantas membantu ekonomi keluarga dengan bekerja atau menikah muda.
Eri menyebut, jarang anak muda di Indramayu yang melanjutkan pendidikan tinggi. Kebanyakan dari mereka putus sekolah di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menangah Atas. Pun demikian, Indramayu memang daerah dengan angka pernikahan tertinggi kedua, setelah Garut di Jawa Barat.
“Waktu pembangunan PLTU Indramayu dijanjikan akan menyerap tenaga kerja dari wilayah Patrol dan Sukra. Tetapi, hanya 5 persen dari kedua wilayah itu yang masuk sebagai pekerja di PLTU. Itu juga bukan karyawan tetap, outsourcing, hanya tiga bulan atau paling lama lima bulan udah selesai. Mata pencaharian hilang, banyak yang memilih ke luar daerah,” tambah Eri, mantan koordinator Aliansi Bersihkan Indramayu (ALBIN).
Eri menerangkan, pertanian dan kelautan merupakan dua sektor yang paling terdampak. Setelah adanya PLTU 1 Indramayu, produksi padi menurun, tanaman bawang merah rentan terserang hama. Adapun nelayan mengeluh semakin jauhnya tangkapan ikan, berkurangnya tangkapan rebon, tambak garam semakin tersisih keberadaannya, dan lautan yang semakin tercemar. Eri menyebut, sebelum ada PLTU, dengan wilayah tangkap yang dekat, nelayan bisa mendapatkan 25-50 kilogram sekali tangkap.
“Sekarang seharusnya musim rebon. Kemarin beberapa warga ada yang mencoba mencari rebon dan mereka mengaku ada penurunan pendapatan 50 sampai 75 persen, karena paling banyak mereka bisa mendapatkan 15 kilogram rebon dan dengan wilayah tangkap yang semakin jauh,” terangnya.
Di samping itu, Eri menunjukkan adanya peningkatan penyakit ISPA pada bayi dan balita pada rentang tahun 2019-2021. Merujuk data Dinas Kesehatan Kabupatan Indramayu, ada 145 kasus bayi dan balita yang mengidap ISPA di Kecamatan Patrol pada 2019, 301 kasus pada 2020, dan 289 kasus pada 2021. Sementara di Kecamtan Sukra, ada 181 kasus bayi dan balita yang mengidap ISPA pada 2019, 183 kasus pada 2020, dan 186 kasus pada 2021.
“Pernah diklaim, kenaikan angka ISPA akibat Covid-19. Padahal, dari sekian banyak daerah Indramayu, hanya daerah Sukra dan Patrol saja banyak balita yang mengidap ISPA. Daerah lain yang sama-sama kena Covid di wilayah Indramayu tidak sebanyak Patrol dan Sukra. Itu kan menjadi salah satu pertanyaan, ada apa?” ungkapnya retoris saat menyampaikan dampak adanya PLTU dan penerapan co-firing (bahan bakar oplosan) di Indramayu.
Di samping itu, Eri juga menerangkan, PLTU 1 Indramayu telah menerapkan skema co-firing biomassa atau metode pembakaran batubara yang dioplos biomassa. Penerapan ini juga memunculkan persoalan. Sebab, pihak PLTU menyimpan serbuk kayu, jenis biomassa yang dipakai, di pinggir jalan di wilayah Patrol secara terbuka.
Serbuk kayu itu disebut mencapai 600 ribu ton dan telah melebihi kapasitas penampungan lahan. Karena overload, serbuk kayu pun ditaruh sementara di lahan-lahan kosong milik warga. Eri menyebut, penyimpanan secara terbuka serbuk kayu itu menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Selain itu, lalu-lalau transportasi pengangkutannya mengganggu masyarakat.
Baca Juga: PILGUB JABAR 2024: Para Kandidat Belum Serius Menggarap Sektor Energi Bersih Berkeadilan
Setengah Hati Suntik Mati PLTU Pelabuhan Ratu
Orang Muda Jawa Barat Mendesak Gubernur Mendatang Membuat Kebijakan yang Berpihak pada Lingkungan
Penerapan Solusi Palsu
PLTU 1 Indramayu yang berkapasitas 3 x 330 MW telah menerapkan co-firing biomassa sejak sekitar tahun 2021. PLTU yang terletak di Jalan Raya Sukra, Sumuradem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu ini mengoplos biomassa jenis serbuk kayu sekitar satu sampai lima persen. 95 persennya masih menggunakan batu bara.
Direktur Walhi Jawa Barat Wahyudin Iwank menyebut, untuk memasok kebutuhan biomassa di PLTU Indramayu, dibutuhkan pasokan biomassa sebanyak 688 ton per tahun. Kebutuhan pasokan biomassa itu membutuhkan lahan Hutan Tanaman Energi (HTE) seluas 20 ribu hektare dengan potensi emisi pembakaran 1,2 juta ton emisi.
“Kami menolak co-firing biomassa ini karena hanya solusi palsu belaka, hanya akal-akalan untuk memperpanjang usia PLTU yang seharusnya disuntik mati,” kata Iwank dalam diskusi publik itu.
Sedangkan Direktur LBH Bandung Heri Pramono menyebutkan, pemerintah telah menyiapkan segala aturan untuk mendukung program co-firing biomassa. Salah satunya, pada aturan tahun 2014, biomassa belum tercantum. Sedangkan pada PP23/2021 dan PermenLHK 8/2021, biomassa sudah disebutkan secara spesifik. Contohnya, fungsi hutan produksi dicadangkan menjadi ketahanan energi dengan HTE.
“Dari penyelenggaraan kehutanan dan hutan produksi, HTE ini sudah disiapkan untuk kebutuhan co-firing biomassa,” kata Heri.
Heri menyebut, meski mengklaim akan melibatkan masyarakat dalam penanaman energi, pihaknya melihat adanya potensi konflik. Sebab, lahan-lahan THE tidak bisa digarap oleh masyarakat. Kalaupun masyarakat menempati lahan, mereka harus pindah.
“Itulah kenapa kami bilang ini berpotensi konflik, karena dari hulu hilirnya akan ada konflik,” tambahnya.
Sementara Bayu Maulana dari Trend Asia menerangkan, secara nasional, pemerintah menargetkan penerapan skema co-firing biomassa di 52 PLTU hingga 2030. Sejauh ini, skema oplos ini sudah diemplementasikan di 43 PLTU se-Indonesia dan memakai 1 juta ton biomassa sengan rasio campuran 1-3 persen.
Secara nasional, lanjut Bayu, Indonesia memang memiliki kekayaan potensi bioenergi, salah satunya biomassa. Karena memiliki kekayaan potensi bioenergi pula, Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto memiliki ambisi agar Indonesia mampu merajai energi hijau.
“Karena ada ambisi itu, biomassa terus digenjot,” ungkapnya.
Meski begitu, Bayu mengajak masyarakat untuk kritis melihat persoalan ini. Pemerintah memang mengklaim co-firing biomassa lebih ramah lingkungan. Dengan menerapkan skema ini, pemerintah tidak perlu membangun pembangkit energi baru untuk mencapai bauran energi. Tetapi, bagaimana pun, persentase pemakaian batu bara masih tinggi, yaitu 90 persen, meski sudah dioplos biomassa sebagian kecilnya.
“Itulah kenapa aku bilang kita perlu melihat lebih kritis persoalan ini,” tegasnya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional