Buku DokumenTARI, Mengabadikan Pengalaman Para Penari di Masa Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 sudah lama berlalu, walaupun dampaknya hingga kini masih terasa. Para penari menceritakan pukulan dahsyat pagebluk pada profesi mereka.
Penulis Lydia Riama12 November 2024
BandungBergerak.id - Pandemi Covid-19 tinggal catatan sejarah. Sebagian orang mungkin sudah melupakannya. Tapi tidak bagi para penari Sasikirana. Mereka pernah merasakan pedihnya pagebluk yang membabat habis acara-acara pertunjukan tari. Kerumunan menjadi hal yang aman dihindari untuk mengurangi penularan virus. Sedangkan seni tari amat bergantung pada pertunjukan dan kerumunan penonton.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, sedikitnya para pekerja seni yang terdampak pagebluk mencapai 40.081 orang. Mereka terpaksa harus menerima keputusan bahwa pertunjukan dan festival mereka dibatalkan.
Tidak sedikit penari yang mencari pekerjaan alternatif, seperti Achoel di Pekanbaru yang menjadi sopir ojek online, Mas Tulus di Malang yang ternak ikan cupang, Ninus di Bali yang berjualan jamu, dan berbagai sumber pencaharian lainnya.
Pandemi tidak hanya membatasi ruang fisik para seniman. Kesehatan mereka turut terancam. Tak sedikit penari yang diserang langsung wabah sejenis flu ini. Bagaimana para penari bertahan selama pagebluk? Kelompok tari Sasikirana menceritakan pengalaman mereka dalam buku DokumenTARI!
Buku DokumenTARI: Ruang, Volume #1 dibedah di Kedai Jante, Bandung, Kamis, 31 Oktober 2024. Proyek penulisan buku dimulai dengan kegiatan-kegiatan khas pandemi seperti pertemuan Zoom untuk berbagi cerita, pelatihan penulisan auto-biografi dan esai fotografi, berlokakarya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan untuk mengenal diri sendiri, saling mengirim surat fisik yang mana harus pergi ke kantor pos, dan melatih pemikiran kritis.
Salah satu kontributor penulis, Ariel Nurannisa Mulyanegara bercerita bagaimana ia mengalami seni sebagai pengalaman iman. Waktu pengikutsertaan seri buku pertama ini, Ariel belum lulus kuliah karena tugas akhirnya tertunda akibat pandemi.
Bagi penari asal Bandung tersebut, keimanan untuk menari sempat goyah dan ketika membaca ulang tulisannya ia menjadi sedikit malu. Refleksi yang didapatkan dikira receh tetapi ternyata berdampak.
“Ternyata menulis tentang pandemi menjadi terapi. DokumenTARI in a way jadi panggung baru. Jadi ini berkarya dan berterapi. Akhirnya hasil terapinya jadi pencatatan apa yang dialami semacam rekaman terhadap masa-masa tersebut,” kata Ariel, di sela-sela diskusi.
Berlainan dengan prasangka umum yang berbicara bahwa tindakan menari bergantung pada penggunaan otot, pandemi Covid-19 mendorong para penari untuk mengekspresikan seni dengan cara baru yang tak terduga.
Keterbatasan ruang fisik memberikan para penari pengalaman unik dalam menjalankan fungsi katalis dan naratif manusiawinya. Dalam fungsi katalis, manusia menghubungkan aspek-aspek hidup dan menciptakan suatu hal baru sedangkan dalam fungsi naratif, manusia menjadi pendongeng. Sasikirana terutama melakukan fungsi naratif ini!
Maka pandemi adalah katalis dan menulis tentang pengalaman penari saat pandemi adalah wujud dari fungsi naratif. Menulis adalah berinteraksi dengan pandemi sebagai ruang baru yang merupakan salah satu cara manusia menggunakan pengamatan dan tubuhnya secara bersamaan untuk berinteraksi dengan ruang. Cara kita berinteraksi pun tergantung dengan ruangnya.
Dari pengalaman-pengalaman ini, ruang diartikan oleh para kontributor sebagai “konteks yang menciptakan sekaligus diciptakan” dalam DokumenTARI: Ruang, Volume #1 (2024). Pengertian ini berbicara tentang bagaimana lingkungan tertentu dapat menciptakan manusia yang sesuai dengan lingkungan itu. Orang yang besar di kota sering kali berbeda dengan orang yang besar di desa.
Walaupun penari, menulis tetap sangat penting agar ada pengauditan di masa depan. Menulis tentang pengalaman hidup di ruang terbatas ini adalah seperti berinteraksi dengan seni sebagai peran yang dihidupi, tidak hanya sebagai komposisi. Adalah kebetulan bahwa untuk berinteraksi dengan ruang, menulis tidaklah wajib dan elemen pentingnya adalah kepekaan namun kelebihan menulis adalah bagaimana imajinasi diwujudkan. Ada keunikan dan kelebihan tersendiri ketika membaca ulang hasil tulisan imajinasi tersebut.
Sari Asih, salah seorang narasumber diskusi, merasa respek dengan ketahanan para penari di tengah-tengah pandemi. Secara tidak langsung, menari menjadi suatu protes fisik.
Seniman fotografi dan mentor DokumenTARI ini menginterpretasikan para penari di era pandemi menghadapi fenomena dwimuka, dua karpet yang berbeda. Perbedaannya menjadi surga kreativitas yang tidak dilihat sebagai sesuatu ganjalan. Kreativitas ini diperoleh dari ruang fisik penari (lingkungan, alam, dan sekolah), ruang sosial penari (orangtua, rekan penari, mentor, dan Tuhan), dan ruang mental (keyakinan sebagai jembatan dan bermain dengan ilusi).
Menulis seperti yang dilakukan DokumenTARI dalam mengekspresikan diri sebebas-bebasnya merupakan wujud dari eksistensialisme, melihat adanya perbedaan pengalaman karena perbedaan ruang sehingga hasilnya pun subjektif.
Menulis adalah seperti menari. Pemaknaan tarian tidak hanya dilakukan oleh penari namun juga dilakukan oleh orang lain. Menyerupai tulisan, sang penulis juga merupakan objeknya sehingga bukan hanya topik tulisannya saja yang menjadi objek. Hal itu karena penulis membuka dirinya, mengekspos.
Baca Juga: PROFIL SASIKIRANA: Membangun Ruang Inkubasi Kompetensi bagi Penari-penari Muda
Melihat Padalarang Lewat Koreografi Penari Muda
PROFIL KOMUNITAS RUANG KETIGA: Mengubah Ruang Kosong di Bandung Menjadi Ruang Publik Inklusif
Refleksi Atas Kapitalisme, Eksploitasi, AI
Sebelum pandemi, manusia mengekspresikan diri secara keluar atau eksternal namun pandemi memaksa kita untuk mengekspresi ke dalam dan merefleksi. Itulah mengapa seri pertama buku ini diberikan tema “Who Am I?” yang berhubungan dengan konteks terhadap siapa kita di ruang-ruang baru. Walaupun DokumenTARI menunjukkan banyak poin-poin positif, muncul juga kesadaran bahwa ternyata kita didorong untuk lebih berekspresi secara keluar karena budaya kita yang kapitalis.
Melalui budaya tersebut, muncullah sikap-sikap kurang menghargai perbedaan dan lebih mendorong keserakahan. Yang sebelumnya bertanya, “Makan di mana?” menjadi, “Makan siapa?” karena dari kapitalisme lahirlah eksploitasi. Itulah mengapa DokumenTARI mengajak kita untuk makan bersama. Apabila ada yang berkata bahwa waktu seni adalah waktunya festival, maka buku ini merayakan ruang tersebut.
Tak hanya itu, seni kecerdasan buatan (AI) pun salah satu bukti dari budaya kapitalis di mana semakin banyak, mudah, dan cepat, maka semakin baik. Seharusnya seni melekat dengan manusia seperti yang disampaikan oleh F.X. Widaryanto, narasumber lainnya dalam diskusi buku ini. “AI itu terlalu sempurna. Kalau ngomongin AI kan lebih banyak tentang informasi, ini tidak seperti seni,” katanya.
Seniman asli justru mengambil ruang. Lantas, apa yang membentuk kita lewat seni? Kata kuncinya adalah interaksi dengan ruang yang berupa berbeda-beda lingkungan, tidak jarang munculnya bersama hubungan kita dengan krisis.
Interaksi dengan ruang lingkungan perkotaan dibandingkan lingkungan alam akan memberikan keberagaman hasil. Hal itu karena di lingkungan ada kearifan lokal masing-masing yaitu biosfer, berbeda dengan AI berasal dari dunia siber, sibersfer.
Inilah seni, sebab ruang kritis berada ketika manusia interaksi dengan lingkungan yang mana menciptakan berbagai subjektivitas, tergantung dari konteks lingkungan. Proses adalah bagian penting untuk seni.
DokumenTARI: Ruang, Volume #1. Pembaca diajak mendekonstruksi pengertian umum terhadap ruang. Ruang bukan hanya kotak dari dinding-dinding yang memiliki pintu dan jendela tetapi melingkupi ruang yang dijelaskan sebagai di mana ketakutan diproyeksi (Freud), konsep primordial hasil pikiran (Immanuel Kant), dan menyinggung teori relativitas (Einstein). Tentunya seri-seri selanjutnya dengan pembahasan tentang dua sisa elemen penari, waktu, dan energi tidak akan kalah menariknya.