• Cerita
  • Melihat Padalarang Lewat Koreografi Penari Muda

Melihat Padalarang Lewat Koreografi Penari Muda

OpenLAB 2024 yang digagas oleh Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp kali ini mengambil tema Padalarang untuk dikembangkan dalam penciptaan karya.

Hasil presentasi dari Melynda Adriani bersama 4 orang kolaborasi dari Gelanggang Olah Rasa yang menyoroti danau Saguling yang berlokasi di Padalarang dalam kegiatan OpenLAB Sasikirana di Institut Francais Indonesia, Bandung, pada Rabu (17 Juli 2024). (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak)

Penulis Tofan Aditya22 Juli 2024


BandungBergerak.id – Bunyi tetesan air terdengar. Lampu berwarna merah menyorot sesosok perempuan yang sedari tadi berdiri tegak di atas pentas. Raut wajahnya terlihat datar. Tatapannya kosong. Dalam beberapa detik, perempuan berpakaian serba putih itu hanya mematung di hadapan penonton di Institut Fançais Indonésie, Bandung, Rabu, 17 Juli 2024, malam.

Tidak hanya merah, kini lampu sorot ditambah dengan warna kuning dan hijau. Dengan langkah gontai, lambat namun pasti, perempuan tersebut maju selangkah demi selangkah. Tangan kanan dan kiri ia ayunkan setinggi dada. Makin lama, suara air terdengar makin deras. Gerakan tubuh perempuan tersebut mengikuti ritme suara. Cepat dan semakin cepat. Lama-kelamaan, perempuan tersebut seperti ikan yang kehabisan napas.

Meski baru gerakan pembuka, para penonton sudah dibuat terpukau dengan suguhan Melynda Adriani. Semuanya enggan berkedip, enggan melewatkan setiap gerak tubuh yang ditampilkan. Setiap gerakan perempuan asal Berau, Kalimantan Timur, itu syarat akan makna.

“Tubuh sungai dekat dengan tubuh industri. Namun, dijauhkan dari tubuh manusia,” ucap Melynda tepat setelah tariannya selesai. Disambut riuh tepuk tangan tiap pasang mata yang menyaksikan.

Dalam presentasinya kemudian, Melynda menceritakan bahwa apa yang dia tampilkan adalah hasil observasinya selama satu minggu di Padalarang. Salah satu tempat yang dikunjungi perempuan yang juga pernah terlibat di Residensi Lumbung Kelana pada tahun 2023 itu adalah danau Saguling. Di kawasan PLTA tersebut, Melynda bersama empat orang kolaborator asal Bandung dari Gelanggang Olah Rasa menemukan banyak sekali gardu-gardu besi berukuran besar, suara-suara bising listrik, dan aliran air deras berwarna coklat dan hijau. Semua itu kemudian diterjemahkan ke dalam koreografi.

Melynda melanjutkan cerita. Kondisi danau Saguling mengingatkan dirinya dengan kondisi di sungai Kelay dan Segah, tempat dirinya tinggal. Kondisi air kedua tempat tersebut sama-sama tercemar. Di sana, tidak kurang dari 30 ponton setiap pekannya hilir mudik mengangkut batu bara melewati aliran sungai.

“Aku marah, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap penari dan koreografer yang fokus pada studi gerak dan tubuh pada tari Dalling sejak tahun 2016. Kemudian, dirinya diam, menghela napas.

Foto bersama panitia koreografer, kolaborator, dan hadirin selepas kegiatan OpenLAB Sasikirana di Institut Francais Indonesia, Bandung, pada Rabu (17 Juli 2024). (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak)
Foto bersama panitia koreografer, kolaborator, dan hadirin selepas kegiatan OpenLAB Sasikirana di Institut Francais Indonesia, Bandung, pada Rabu (17 Juli 2024). (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak)

Melynda adalah satu dari dua seniman tari yang terlibat dalam OpenLAB 2024 yang digagas oleh Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp. Setiap peserta yang terlibat dalam kegiatan ini memang diharuskan untuk mengeksplorasi gagasan dan riset di satu tempat yang kemudian dikembangkan menjadi artistik dalam penciptaan karya. Lokus yang diangkat dalam OpenLAB tahun ini adalah Padalarang, sebuah kecamatan yang secara administratif berada di Kabupaten Bandung Barat dan dikenal sebagai kota satelit atau wilayah penyangga Kota Bandung, Ibukota Provinsi Jawa Barat.

Sejak digelar pertama kali pada tahun 2016, program ini ingin mengajak para koreografer muda untuk berkarya bersama dengan seniman lain di lintas disiplin. Para peserta tempatkan di satu tempat dengan waktu tertentu agar dapat mengeksplorasi berbagai isu, menggali sejarah, mengkaji ruang dan fenomena sosial yang terjadi di daerah.

Keni K. Soeriaatmadja, direktur sekaligus founder Sasikirana, menerangkan bahwa program ini ingin melihat secara kritis bagaimana Padalarang dari “mata ke tiga” atau orang luar. Bubbu, sapaan akrab Keni, menjelaskan bahwa OpenLAB adalah uji gagasan. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi ruang bagi koreografer dan kolaborator untuk mengali gagasan, menemukan pengalaman, dan bertemu orang-orang baru.

“Karya seni itu jarang dapat ruang. Karya di Indonesia itu selalu dianggap harus sudah jadi, harus sudah benar. Tapi, di mana kita boleh salah?” Tanya Bubbu retoris dalam sambutannya.

Selepas OpenLAB, akan ada workshop Kemah Tari akan diselenggarakan di Bumi Pancasona Sports Club, Padalarang, pada 21 hingga 26 Juli 2024. Agenda ini akan memancing ruang eksplorasi dari 20 penari se-Indonesia di bawah bimbingan mentor Joned Suryatmoko (Indonesia), Thusnelda Mercy (Jerman), dan Pascal Merighi (Jerman). Hasil dari workshop Kemah Tari kemudian akan dipresentasikan pada tanggal 27 Juli 2024 di IFI Bandung.

Pemaparan metode oleh Ayu Permata Sari (kiri) dan Yosi Frisa Papilaya (kanan) dalam kegiatan OpenLAB Sasikirana di Institut Francais Indonesia, Bandung, pada Rabu (17 Juli 2024).. (Foto:  Nabila Eva Hilfani /BandungBergerak)
Pemaparan metode oleh Ayu Permata Sari (kiri) dan Yosi Frisa Papilaya (kanan) dalam kegiatan OpenLAB Sasikirana di Institut Francais Indonesia, Bandung, pada Rabu (17 Juli 2024).. (Foto: Nabila Eva Hilfani /BandungBergerak)

Padalarang dari Kacamata Lain

Selain Melynda, koreografer lain yang terlibat dalam KoreoLAB tahun ini adalah Ayu Permata Sari. Bersama kolaborator Yosi Frisa Papilaya dari Rakarsa Foundation, Ayu mempresentasikan metodenya dalam mengeksplorasi Padalarang. Agak berbeda dengan penampilan sebelumnya, Ayu dan Yosi melibatkan langsung peserta yang hadir untuk berpikir.

Presentasi Ayu dan Yori dimulai dengan mengajak peserta untuk menyaksikan video berdurasi tiga menit berisikan perjalanan selama mengeksplorasi beberapa lokasi di Padalarang. Kemudian, dilanjutkan dengan permainan “Kata Segitiga”. Peserta diminta menyebutkan dua kata yang berkaitan dengan video. Dua orang hadirin kemudian menyebutkan dua kata pertama: Goa dan Riweuh (ribet).

Dari dua kata tersebut, hadirin diajak mencari hubungan atau interaksi. Kata yang muncul kemudian adalah Arkeolog. Arkeolog kemudian disambungkan dengan kata Riweuh menjadi Seret (pampat). Seret kemudian disambungkan dengan kata Goa menjadi Batu. Kata-kata tersebut kemudian terus disambungkan sampai memunculkan kata-kata lain, seperti Perang, Hilang, Korupsi, Pariwisata, Warga, Polisi, Sampah, Purba, dan banyak kata lain.

“Kalau temen-temen bingung mau bikin karya apa gitu ya, ini (permainan Kata Segitiga) dapat menjadi alat untuk langkah kita selanjutnya, seperti apa yang saya dan Ayu lakukan,” jelas Yosi, seniman lulusan FSRD ITB yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal ArtSociates.

Yosi kemudian memaparkan bahwa metode ini adalah yang dirinya dan Ayu gunakan untuk mencari kata-kata lain yang berkaitan dengan Bandung dan Padalarang. Dari kata-kata yang ada, Ayu dan Yosi melihat ada beberapa kata yang sering muncul. Kata-kata tersebut adalah invisibilty (ketidakterlihatan), space (ruang), movement (gerak), fiction (fiksi), dan negotiation (negoisasi). Lima kata kunci tersebutlah yang kemudian menjadi panduan untuk lanjut ke proses berikutnya.

Ayu melanjutkan presentasi. Ketika di Padalarang, Ayu bercerita bahwa dirinya berkunjung ke pabrik kertas. Pabrik kertas tersebut memproduksi kertas-kertas untuk ijazah, materai, dan sebagainya. Sebagai orang yang selalu memakai barang-barang dari kertas tersebut, Ayu berkesimpulan bahwa Padalarang sudah ada di dalam dirinya. Tidak terlihat, tapi sangat dekat.

Setiap yang ada selalu memiliki dualisme yang saling berkelindan. Melalui basis pengetahuan tersebut, Ayu kemudian mengajukan satu metode yakni “negative and positive space”. Negatif dan positif ini kemudian diterapkan ke tubuh. Tubuh positif adalah bagian yang ada di dalam tubuh. Tubuh negatif adalah bagian yang ada di luar tubuh.

“Negosiasi tak berakhir antar kata, ada dan tak terlihat, gerak dari titik satu dan lainnya, fakta dan fiksi, terpegang dan tak terpegang, ruang positif dan negatif,” terang perempuan asal Kotabumi, Lampung Utara, yang juga pernah meluncurkan karya berjudul Load? di Zurcher Theater Spectacle, Swiss pada tahun 2021. “Positif dan negatif ini bukan tentang baik-buruk.”

Setelah menjelaskan metode, Ayu dan Yosi mulai beraksi menampilkan hasilnya. Ayu dan Yosi saling berhadapan, berjalan melingkar. Lampu kuning kini menyorot mereka berdua. Beberapa kata yang tadi sempat disampaikan oleh peserta disebutkan, sambil memberikan respons tubuh terkait kata-kata tersebut. Setiap gerakan yang ditunjukkan oleh Ayu dan Yosi seolah mengisi ruang-ruang negatif di sekitar tubuh lawan mainnya. Tanpa menyentuh.

Cuma. Mampir. Cuma. Mampir. Cuma. Mampir. Cuma. Kedua kata tersebut terus diulang oleh keduanya. Makin keras suaranya, makin cepat pula temponya. Sampai kemudian Ayu menyebutkan kata terakhir: Lewat. Suara video yang di awal sempat diputar kembali dimainkan. Setelah semuanya, riuh tepuk tangan menggema di ruang tersebut.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Tofan Aditya, dan tulisan-tulisan lain tentang seni

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//