Orang-orang Muda Bandung Mempertanyakan Mengapa Pemerintah Enggan Membangun Transportasi Publik yang Aman dan Nyaman?
Orang-orang muda Bandung mengingatkan, pembangunan transportasi publik mesti didasari pelayanan terhadap masyarakat, bukan untuk mencari untung.
Penulis Bagas Charli Manuel Purba12 November 2024
BandungBergerak.id - Pembenahan transportasi publik menemukan urgensinya di tengah perubahan iklim yang terjadi karena tingginya polusi. Peralihan penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum yang lebih ramah lingkungan sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Masalahnya, transportasi publik tidak menjadi prioritas pembangunan pemerintah karena dianggap tidak menguntungkan.
Dalam transisi penggunaan kendaraan ini orang-orang muda memiliki peranan krusial. Mereka banyak berkegiatan di luar rumah, dan mereka otomatis membutuhkan kendaraan. Kurang memadainya transportasi publik membuat orang-orang muda memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Masalah transportasi publik dan orang-orang muda dibahas dalam diskusi publik bertajuk "Transportasi Publik dan Keadilan Lingkungan bagi Antar Generasi" yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat di Bandung, Jumat, 1 November 2024.
Diskusi ini mengundang orang-orang muda untuk membahas visi kota layak huni, khususnya dalam aspek transportasi publik. Para narasumber diskusi antara lain Raihan Aulia dari Transport for Bandung Rahma Husna Fauziyah dari Sahabat WALHI Jawa Barat, dan Daryl Gema dari Enter Nusantara, dengan moderator Fadhli Fauzan Ilahi.
Diskusi ini berfokus pada pemetaan hubungan antara transportasi publik dan kebutuhan pemuda untuk mobilisasi, serta urgensi akan sistem transportasi yang lebih adil dan ramah lingkungan. Para peserta berpendapat bahwa diskusi ini penting untuk meningkatkan kesadaran dan preferensi terhadap transportasi umum yang lebih berkelanjutan di Kota Bandung.
Peningkatan infrastruktur transportasi publik yang terjangkau, pengurangan emisi karbon melalui peralihan ke moda transportasi ramah lingkungan, dan integrasi sistem transportasi yang dapat diakses generasi muda dan generasi mendatang menjadi poin penting yang disampaikan para pemantik dan peserta di akhir diskusi.
Menurut Rahma, emisi yang disumbangkan oleh kendaraan menjadi salah satu efek polusi urban heat island (UHI) atau pulau panas perkotaan. Sektor transportasi di Kota Bandung menyumbang hampir 40 persen dari total emisi (polusi). Hal ini pula yang menyebabkan Bandung semakin hareudang (gerah).
“Efek dari polusi kendaraan pribadi tadi yang menyebabkan fenomena Urban Heat Island (UHI),” ucap Rahma.
UHI dapat meningkatkan polusi udara di perkotaan. Hal ini terjadi karena pembakaran bahan bakar fosil (bbm, batu bara) yang berkontribusi terhadap efek rumah kaca (penyebab pemanasan global).
Rahma memaparkan, transportasi publik merupakan hak semua warga. Setiap orang berhak untuk beraktivitas dan bepergian. Maka, transportasi publik haruslah aman, memadai, dan mudah diakses bagi semua kalangan baik disabilitas, ibu hamil, lansia, dan anak-anak. Dengan keamanan dan hak yang sama, transportasi publik tidak lagi menjadi isu yang menghalangi kegiatan atau mobilitas lagi.
Raihan Aulia mewakili Transport for Bandung mempertanyakan apakah transportasi umum di Bandung layak atau tidak? Jumlah moda transportasi umum di Kota Bandung memang banyak, mulai dari boseh, angkot, bus kota, dan kereta lokal.
“Apakah transportasi umum itu sudah layak? Jawabannya adalah tidak,” ucap Raihan.
Alasan Raihan memandang transportasi umum tidak layak karena masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Boseh hanya ada di tengah kota dan melenceng dari tujuan awal, angkot dengan operasional yang tidak jelas. Bus kota juga belum memadai dengan pelayanan seadanya dan jam operasional terbatas.
Raihan memaparkan, ada 3 kriteria untuk mengukur transportasi publik, yaitu keterjangkauan, ketercapaian, dan keberlanjutan. Dari kriteria ini, dia kembali menyampaikan pertanyaan retoris: apakah transportasi umum sudah dapat menjangkau semua kalangan? Sudahkah semua wilayah terjangkau angkutan umum? Sudahkah dampak emisinya dapat diminimalisasi?”
“Salah satu pemahaman kesalahan pemahaman yang masih dilakukan pemerintah adalah menganggap transportasi itu sebagai usaha komersial yang harus mendapatkan keuntungan,” ucap Raihan.
Pemerintah wajib membangun transportasi umum untuk melayani warganya. Tetapi Raihan memandang pemerintah menganggap transportasi umum menjadi usaha komersial yang harus mendapat keuntungan.
“Ini juga yang menjadikan kenapa pemerintah lebih suka membuat jalan tol karena melihat untung yang jelas dan cepat balik modal,” lanjut Raihan.
Menurut survei Kompas, Raihan memaparkan biaya yang dikeluarkan warga dalam mengakses transportasi. Untuk ongkos angkutan umum warga hanya mengeluarkan 410.000 rupiah dibandingkan motor pribadi yang sampai 1.398.000 rupiah dalam waktu 30 hari.
Baca Juga: Menelusuri Patok-patok Bus Rapid Transit Bandung Raya, Menanti Transportasi Publik Berkualitas untuk Warga
Bukan Hanya Jalan Layang, tapi Juga Layanan Transportasi Publik
Klaim Smart City Kota Bandung tak Membekas pada Transportasi Publik
Keruntuhan Ekologi
Kelemahan transportasi publik di Bandung juga disampaikan Daryl Gema dari Enter Nusantara. Ia telah mensurvei 86 persen orang muda di Kota Bandung yang memilih transportasi pribadi dan 18 persennya memilih ojek online.
Para responden menyatakan, jumlah transportasi publik di Bandung minim dan jarak tempuh yang lama. Mereka juga merasa moda transportasi di Bandung tidak nyaman, informasinya terbatas, dan tidak aman.
Di tengah kebutuhan mendesak akan transportasi publik, polusi yang ditimbulkan kendaraan bermotor juga mencapai taraf mengkhawatirkan. Polusi bahkan mengancam keutuhan ekologi.
“Jika kita tidak merubah pola hidup kita yang kotor ini, pake kendaraan pribadi, ga pake transportasi publik, buang sampah sembarangan, penggunaan listrik pake batu bara. Di 2030 kita bakal mengalami keruntuhan ekologi,” ucap Daryl.
Menurutnya, sebanyak 88 persen mahasiswa di Kota Bandung sudah tahu mencegah emisi dengan naik transportasi umum. Tetapi karena tidak punya pilihan lain dan kesulitan mengakses transportasi, akhirnya mereka memilih untuk transportasi pribadi.
Permasalahan di atas menurut Daryl karena kebijakan transportasi publik yang tidak manusiawi, tidak adanya perbaikan sistem eksisting moda transportasi, dan perencanaan kota yang semerawut.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Bagas Charli Manuel Purba, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Transportasi Publik