• Opini
  • Ruang Hijau atau Ruang Bisnis, Siapa yang Diuntungkan dari Tata Ruang Kota Bandung?

Ruang Hijau atau Ruang Bisnis, Siapa yang Diuntungkan dari Tata Ruang Kota Bandung?

Minimnya ruang terbuka hijau akan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Mengapa pemerintahan Kota Bandung terkesan tidak serius dalam menyediakan ruang hijau baru?

Hery Prasetyo Laoli

Masyarakat Sipil Biasa

Pemandangan kota minim ruang terbuka hijau (RTH) dengan latar kabut polusi di pusat Kota Bandung, 3 September 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

12 November 2024


BandungBergerak.id – Bandung adalah kota yang terkenal dengan sebutan “Kota Kembang” yang artinya kota ini memiliki banyak taman dan ruang hijau. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, laju dari alih fungsi lahan hijau di Bandung semakin mengkhawatirkan. Akibatnya ruang hijau sebagai jantung Kota Bandung beralih fungsi menjadi pusat komersial.

Menurut Rustam Hakim Manan seorang akademisi yang menjabat sebagai Associate Professor di Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan di Universitas Trisakti. Salah satu permasalahan yang dihadapi wilayah kota di Indonesia, tak terkecuali Kota Bandung, yakni semakin berkurangnya ruang publik. Ruang publik sendiri padahal merupakan sebuah ruang yang dapat menciptakan interaksi sosial yang dapat pula menciptakan karakter masyarakat kota. Jika ditinjau dari segi bentuk fisiknya, ruang terbuka hijau merupakan bagian dari ruang publik.

Dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan bahwa luas ideal RTHKP minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat dari luas kota. Namun, jika kita melihat data RTRW Kota Bandung 2011-2031, luas RTH pada 2010 mencapai 1.910.49 Ha atau hanya 11.43% dari luas wilayah Kota Bandung yang mencapai 167.3 km2. Sementara itu, data dari BPS Kota Bandung tahun 2020, luas RTH mencapai 2.048.97 Ha atau hanya 12.25% dari luas wilayah Kota Bandung yang mencapai 167.3 km2.

Artinya dalam RTRW Kota Bandung masih belum sejalan dengan ketentuan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mewajibkan bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH sebesar 30% dari total luas kota. Tentu alih fungsi pemanfaatan ruang hijau dan lingkungan hidup di Kota Bandung merupakan penyebab utama dari sulitnya merealisasikan pemenuhan luasan RTH dari proposisi yang telah ditentukan.

Taman-taman publik yang dulu dapat diakses secara bebas kini semakin terbatas. Sebagai gantinya, kini Bandung lebih terkenal dengan kota modern dengan munculnya deretan gedung komersial, perumahan elite, dan mal. Namun, dalam data DP3AKB Kota Bandung setidaknya ada 90 pusat perbelanjaan di Kota Bandung yang masih berhutang 85 ribu m2 ruang hijau.

Ada yang lebih ironis dan agaknya aneh bahwa dalam rencana tata ruang Kota Bandung, banyak kawasan hijau yang direncanakan justru tidak terealisasi atau malah beralih fungsi. Seperti misalnya Taman Sari yang direncanakan sebagai salah satu ruang terbuka hijau, namun beberapa bagian dari taman ini terancam hilang akibat rencana pembangunan fasilitas komersial. Kawasan Cicaheum yang sempat direncanakan menjadi kawasan dengan ruang terbuka hijau, namun sebagian besar lahan tersebut dialihkan untuk pembangunan apartemen dan perumahan. Atau kawasan Dago Pakar yang dikenal sebagai salah satu tempat wisata alam dengan keberadaan hutan kota yang menjadi salah satu paru-paru Kota Bandung, namun kini banyak bagian dari Dago Pakar terancam proyek pembangunan properti dan perumahan elite.

Baca Juga: Akar Masalah DAS Citepus Bukanlah Sampah melainkan Tata Ruang
Rendahnya Kualitas Ruang Publik Kota Bandung Berpengaruh Buruk pada Kesehatan Masyarakat
Membicarakan Benang Kusut Tata Kota Bandung

Ketimpangan Manfaat dalam Tata Ruang Kota Bandung

Memang pembangunan untuk sebuah kemajuan tidak bisa ditolak keberadaannya, tetapi kepada siapa sebenarnya pembangunan ini ditujukan? Banyak proyek yang dicanangkan Pemerintah Kota Bandung justru lebih mengutamakan kepentingan kelas menengah ke atas. Kita bisa melihat bahwa sudah banyak apartemen mewah dan kawasan bisnis premium yang menghiasi lanskap kota Bandung dan pertanyaannya apa yang diuntungkan masyarakat kecil dari proyek semacam ini?

Justru dengan adanya berbagai macam proyek yang hanya memperuntukkan sebagian pihak saja, maka disisi lain kita kehilangan ruang publik dan ruang hijau. Ruang publik yang diharapkan menjadi tempat berkumpulnya masyarakat kini menjadi area yang tidak inklusif yang hanya bisa dirasakan orang berduit. Selain itu, berkurangnya ruang hijau menyebabkan kualitas udara Kota Bandung memburuk, diperparah lagi dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir suhu panas Kota Bandung meningkat drastis. Selain itu, Kota Bandung juga sedang mengalami penurunan daya resapan air yang mengakibatkan banjir. Menurut Walhi Jawa Barat, bahwa Banjir di Kota Bandung diakibatkan oleh pelaksanaan pembangunan di kawasan budidaya dan kawasan pengelolaan konservasi dialih fungsikan pada tujuan komersial.

Berkurangnya ruang hijau memang sangat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Namun, mengapa Pemerintahan Kota Bandung agaknya terkesan tidak serius dalam menyediakan ruang hijau baru? Semoga saja, jargon dari keempat pasangan calon (paslon) wali kota Bandung yang semuanya membawa misi keberlanjutan ekologis bukan hanya ucapan visi dan misi belaka, namun harapannya dapat terealisasikan walaupun itu hanya janji.

Kebijakan Tata Ruang Bukan Hanya Milik yang Beruang

Peran Pemerintah Kota Bandung memang perlu untuk menjaga keseimbangan ekologi kota dan memastikan bahwa tata ruang Bandung berpihak pada kepentingan publik. Karena sebagai yang mengelola kota, Pemerintah Kota Bandung mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengatur pembangunan yang bukan hanya mementingkan keuntungan ekonomi, namun juga keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial.

Namun, agaknya sulit untuk menyadarkan Pemerintah Kota Bandung yang sudah terjebak dalam lingkaran setan kapitalistik. Kapitalis telah menjadi pihak yang paling diuntungkan dari proyek pembangunan yang dirancang oleh Pemerintahan Kota Bandung. Dalam The Urbanization of Capital (1985) David Harvey menjelaskan bahwa kapitalis akan berusaha terus-menerus menghasilkan keuntungan berupa uang maupun ruang, seperti dapat membangun apartemen atau hotel dengan sistem sewa maupun beli serta alat komersialisasi lainnya. Sebaliknya keuntungan yang diperoleh pemerintah adalah mendapatkan aliran investasi dari kapitalis sebagai penggerak pertumbuhan pembangunan kota.

Sikap pemerintah yang merangkul para kapitalis memang menjadi langkah untuk pertumbuhan pembangunan kota. Namun, pembangunan kota yang sehat bukan hanya soal menambah gedung baru, tetapi memastikan bahwa pembangunan itu menjawab kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya bagi para segelintir elite saja. Kota Bandung tidak hanya membutuhkan wajah modern, melainkan perlu juga adanya keseimbangan antara bisnis dan ruang publik yang hijau dan inklusif, sebab kebijakan tata ruang yang inklusif ini akan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih lanjut lagi Harvey menjelaskan bahwa aspek keberlanjutan atas ruang itu bersifat menyeluruh (global sustainability) yang berlangsung dalam tiga komponen, yakni lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Keberlanjutan lingkungan sangat erat kaitannya dengan bagaimana pembangunan dan penggunaan ruang memengaruhi alam dan ekosistem. Kemudian, dalam aspek sosial masyarakat perlu adanya pemerataan akses terhadap ruang publik yang inklusif serta pengurangan ketimpangan sosial dalam hal akses terhadap sumber daya dan fasilitas tata ruang kota. Sementara itu, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus pada pertumbuhan ekonomi yang tidak merusak lingkungan dan kesejahteraan sosial.

Oleh Karenanya, menuntut Pemerintah Kota Bandung untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan tata ruang menjadi langkah transparansi dari pemerintah. Sebab, masyarakat berhak untuk mengetahui ke mana arah kebijakan tata ruang kota dan mengetahui apakah kebijakan dari pemerintah sudah benar-benar menguntungkan bagi masyarakat. Jika pembangunan hanya berjalan tanpa arah yang jelas dan hanya menguntungkan pihak tertentu yang mengarah pada komersialisasi dan mengorbankan ruang hijau, maka Kota Bandung dapat kehilangan identitasnya sebagai “Kota Kembang” atau kota ramah lingkungan dan inklusif.  Sudah saatnya bagi para paslon wali kota Bandung untuk benar-benar memulihkan hak masyarakat atas ruang hijau yang sehat dan terbuka. Mari Bung rebut kembali!

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang Kota Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//