CERITA GURU: Perilaku Siswa dan Dampak Negatif Kemajuan Teknologi
Pendidikan emosi sejak dini sangat penting untuk membantu anak memahami dan mengelola perasaan mereka agar anak mampu menjalin hubungan sosial yang baik.
Wawan Ridwan AS
Peduli Dunia Pendidikan, Berbagi Khazanah Keilmuan
13 November 2024
BandungBergerak.id – Rasulullah SAW diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ajaran beliau memberikan pedoman hidup yang universal, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan keadilan. Di era teknologi saat ini, pesatnya perkembangan teknologi membawa tantangan baru bagi upaya menyempurnakan akhlak. Kemudahan akses informasi dan interaksi virtual yang ditawarkan teknologi justru sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan hal negatif dan perilaku tidak etis lainnya. Ketergantungan yang berlebihan pada teknologi dapat menjauhkan individu dari interaksi sosial yang sehat, melemahkan empati dan mengikis perilaku yang sesuai nilai-nilai moral agama.
Bila melihat teori yang dicetuskan oleh Bloom bahwa perilaku afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat, minat, motivasi, dan sikap; maka dalam konteks manajemen perilaku afektif keagamaan pada anak, kita dapat melihat betapa pentingnya peran emosi dalam membentuk keyakinan dan perilaku beragama anak. Emosi seperti rasa takjub terhadap kebesaran Tuhan, rasa cinta terhadap sesama, serta rasa takut akan dosa merupakan fondasi penting dalam membangun karakter religius anak. Oleh karena itu, dalam mendidik anak, kita tidak hanya perlu mengajarkan pengetahuan agama secara kognitif, tetapi juga perlu merangsang dan membimbing perkembangan emosi keagamaan anak agar mereka dapat menghayati dan mengamalkan ajaran agama dengan sepenuh hati.
Berdasar pengamatan penulis di lapangan/sekolah yang kebetulan juga menjadi seorang pendidik dan juga sebagai orang tua, ada beberapa hal yang perlu kita cermati terkait permasalahan-permasalahan perilaku yang muncul seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi saat ini.
Baca Juga: CERITA GURU: Tidak Ada Murid yang Bodoh, Refleksi dari (Belajar) Menjadi Guru BK
CERITA GURU: Murid Merdeka Belajar, Guru Belajar (untuk) Merdeka
CERITA GURU: Urgensi Guru BK di Sekolah Dasar
Apa yang Terjadi pada Perilaku Anak Saat ini?
Kerentanan emosional sebagai kecenderungan individu untuk mengalami perasaan tidak nyaman, putus asa. Menurut Hude bahwa kondisi emosional yang dimiliki seseorang dapat memicu terjadinya perilaku afektif keagamaan yang rentan. Muhamad Abduh menilai agama adalah yang paling penting dalam kehidupan manusia. Yang berarti semestinya dikembangkan dalam diri siswa adalah terbangunnya pikiran, perkataan dan tindakan siswa yang diupayakan senantiasa berdasarkan nilai-nilai ketuhanan atau yang bersumber dari ajaran agama.
Keberhasilan siswa tidak hanya ditandai dengan prestasi akademisnya saja, tetapi juga harus dilihat dari kemampuan dalam mengendalikan sikap perilakunya terhadap nilai-nilai keagamaan. Triatna berpendapat bahwa taraf inteligensi seseorang bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang karena ada faktor lain yang mempengaruhi, yaitu emosional dalam hal ini sangat dibutuhkan, emosional menentukan apakah seseorang dapat atau tidak mengendalikan perilakunya
Masa remaja dianggap sebagai usia bermasalah. Nurihsan & Agustin menyebut bahwa setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi, baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Menurut Willis masa remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap, serta masa yang rawan oleh pengaruh-pengaruh negatif dari kemajuan teknologi.
Dapat dipahami bahwa masa remaja merupakan masa yang tidak mantap, remaja mengalami peralihan dan pencarian jati diri. pada masa remaja dianggap sebagai usia bermasalah yang sering ditandai oleh sifat-sifat negatif pada diri remaja, sehingga masa ini sering kali disebut fase negatif karena rawan oleh pengaruh negatif seperti narkoba, kriminal, kejahatan atau kekerasan, konten negatif, sehingga menjauhkan remaja dari nilai-nilai afektivitas keagamaannya.
Mengapa ini Terjadi ?
Faktor internal motivasi lahir dari diri sendiri, bahwa di mana pun berada, nilai-nilai perilaku agama tetap dipelihara. Sebagian siswa memang mengharapkan ingin memperdalam teknologi tanpa meninggalkan kesadaran untuk melaksanakan ajaran agamanya, tetapi ada juga siswa yang memang ingin mencari alasan pembenaran sendiri untuk lebih banyak berkecimpung dibidang teknologi dan mulai lupa akan nilai kesadaran untuk berperilaku agama yang baik, anak dalam keadaan terjebak.
Faktor eksternal, lingkungan, (keluarga, sekolah, masyarakat), saat ini ada banyak anak yang sudah tidak rutin /meninggalkan pengajian di rumahnya, pesantren kecil dan besar, termasuk anak usia sekolah dasar. Tanggung jawab dan pengawasan orang tua yang rendah, mengikuti ajakan teman yang tidak baik, masyarakat atau lingkungan yang tidak acuh terhadap kehidupan sosial beragama sehingga hal tersebut tidak kondusif untuk pembentukan sikap perilaku agama anak yang baik.
Saat ini media televisi dan ponsel yang notabene saat ini hampir dimiliki sebagian besar anak memiliki banyak saluran hiburan dan bermacam acara yang menyenangkan buat anak dan tanpa pengawasan orang tua, kurang memiliki orientasi yang jelas terhadap tanggung jawab moral masyarakat, sebagai media komersial mereka cenderung mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan financial semata. Internet dengan mudah dan tanpa batas bisa diakses oleh semua kalangan termasuk siswa yang belum siap menerima dengan baik, dan salah satunya berimbas pada sikap perilaku agama yang kurang baik, tidak mau melaksanakan salat, malas mengaji, malah asyik dengan ponselnya, chating, dan lain-lain.
Faktor lain yang bisa memperburuk keadaan, tidak adanya atau jauhnya lokasi sarana ibadah, kurang kompetensi guru yang dimiliki sekolah, minimnya waktu pelajaran pendidikan agama di sekolah umum sehingga mempengaruhi pemahaman diri siswa dalam mengelola perilaku afektif dirinya. Prestasi akademik yang baik belum tentu mencerminkan perilaku yang baik pula.
Pengelolaan perilaku afektif keagamaan disadari para ahli bahwa hal tersebut bukan suatu hal yang mudah untuk dilaksanakan, karena hal tersebut membutuhkan pemahaman, pembelajaran yang mendalam sehingga wajar saja seorang siswa sulit untuk mengimplementasikan hal tersebut. Dorongan yang kuat dari sekolah dengan berbagai program dan kegiatan serta keluarga, juga keinginan yang kuat dari diri siswa akan memperbesar harapan seorang siswa bisa mengelola perilaku afektif agamanya dengan baik.
Upaya Memperbaiki Manajemen Perilaku Anak
Imam Gazali menyatakan bahwa salah satu cara untuk memperbaiki akhlak adalah menggunakan sebagian akhlak untuk menghancurkan akhlak yang tidak baik, bahwa kita harus selalu berusaha untuk menundukkan kemarahan, hawa nafsu, ketamakan dan sifat-sifat lain kepada petunjuk syariat agar tujuan dapat tercapai.
Sekolah perlu menerapkan sistem baik program pembelajaran ataupun kebijakan yang mendukung pada perkembangan pengelolaan perilaku keagamaan yang baik apa pun kurikulum yang digunakan. Guru mampu memberi perhatian lebih terhadap perkembangan jiwa siswa, tidak sekedar hanya catatan akhlak saja.
Orang tua memiliki peran yang sangat krusial sebagai model peran dan pendidik pertama bagi anak, menanamkan nilai-nilai agama sejak dini, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif untuk pertumbuhan spiritual anak, serta membatasi paparan konten digital yang negatif. Masyarakat lingkungan sekitar dan komunitas agama, juga berperan penting dalam membentuk karakter anak. Mereka dapat menyediakan ruang untuk berinteraksi sosial yang positif, memberikan dukungan moral, dan menyelenggarakan kegiatan keagamaan yang menarik bagi anak-anak.
Memperbaiki Pengelolaan Perilaku Afektif Anak di Era Digital
Untuk membantu anak-anak mengembangkan kecerdasan emosional yang baik, diperlukan upaya yang komprehensif. Salah satu langkah penting adalah dengan memberikan contoh yang baik. Orang tua perlu menunjukkan bagaimana cara mengelola emosi dengan sehat dan konstruktif. Penting juga menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak untuk mengeksplorasi emosi mereka. Dengan memberikan dukungan emosional yang cukup, anak akan merasa lebih percaya diri untuk menghadapi berbagai situasi dan tantangan dalam hidup.
Pendidikan emosi sejak dini sangat penting untuk membantu anak memahami dan mengelola perasaan mereka. Orang tua dan pendidik dapat mengajarkan anak tentang berbagai jenis emosi, seperti bahagia, sedih, marah, dan takut. Selain itu, anak juga perlu diajarkan tentang cara mengidentifikasi emosi yang mereka rasakan, serta strategi untuk mengatasi emosi negatif. Dengan memberikan pendidikan emosi yang tepat, anak akan tumbuh menjadi individu yang lebih bahagia, sehat, dan mampu menjalin hubungan sosial yang baik. Esensi pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia, proses humanisasi, dan proses humanisasi seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya kini dan masa depan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang Cerita Guru