Menyusun Strategi Kampanye Pilkada Berdasarkan Data dan Analisis Media Sosial
Media sosial seperti Instagram, Facebook, X, hingga TikTok bagi para kandidat Pilkada adalah ruang kampanye yang amat luas. Orang-orang muda bisa mengkritik mereka.
Heny Hendrayati
Dosen Prodi Manajemen – Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia
14 November 2024
BandungBergerak.id - Media sosial sudah lama menjadi alat penting dalam kampanye politik di Indonesia. Para politisi menggunakan platform seperti Instagram, Facebook, X, hingga TikTok untuk menarik perhatian pemilih. Kalau dulu kampanye politik hanya terbatas pada pemasangan baliho, pertemuan tatap muka, atau iklan di media massa, kini media sosial memungkinkan calon pemimpin untuk terhubung langsung dengan masyarakat, menyampaikan visi dan program mereka, bahkan memperlihatkan sisi pribadi yang lebih humanis.
Menurut data We Are Social (2023), Indonesia memiliki lebih dari 190 juta pengguna internet dengan hampir 170 juta pengguna aktif media sosial. Di Jawa Barat sendiri, pemilih muda berusia 18-34 tahun mendominasi penggunaan media sosial, yang berarti kelompok ini sangat strategis untuk dijangkau melalui platform seperti Instagram dan TikTok.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kampanye yang efektif di media sosial dapat meningkatkan tingkat partisipasi pemilih. Sebuah riset oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pilkada sebelumnya menunjukkan bahwa 65 persen pemilih muda lebih memilih untuk mengikuti perkembangan kampanye melalui media sosial, dibandingkan dengan media tradisional seperti televisi atau radio. Selain itu, YouGov juga mengungkapkan bahwa pemilih muda berusia 18-34 tahun cenderung menggunakan media sosial sebagai sumber utama informasi politik, yang menjadikan mereka target audiens yang sangat penting bagi kampanye digital.
Mengukur Efektivitas Media Sosial dalam Kampanye
Di Jawa Barat, media sosial berperan penting dalam menjangkau masyarakat di wilayah-wilayah terpencil. Bayangkan saja, di provinsi seluas Jawa Barat dengan beragam karakteristik demografis dan geografis, media sosial bisa menembus batas wilayah dan menyampaikan informasi kapan saja. Hal ini membuat calon pemimpin tidak lagi terbatas pada jadwal kampanye lapangan yang sempit atau ruang yang terbatas.
Namun, untuk bisa efektif, konten yang disampaikan melalui media sosial harus relevan dan mudah dipahami oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Ini adalah tantangan tersendiri bagi para kandidat, karena mereka harus bisa merangkum program kerja dalam bahasa yang sederhana namun tetap kuat secara substansi. Calon pemimpin yang peka terhadap isu-isu lokal seperti masalah ekonomi, kesehatan, dan infrastruktur akan lebih mudah menjangkau hati pemilih.
Media sosial tidak hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga membangun keterlibatan atau engagement. Salah satu kekuatan media sosial adalah membuka ruang dialog dua arah antara kandidat dan masyarakat. Lewat fitur-fitur seperti live streaming di Instagram atau sesi tanya jawab di Facebook, kandidat bisa mendengarkan langsung aspirasi masyarakat dan meresponsnya dengan cepat.
Bagi para pemilih muda yang lebih aktif di media sosial, pendekatan ini sangat relevan. Mereka cenderung lebih kritis dan terbuka dalam menyuarakan pendapat. Dengan gaya komunikasi yang lebih santai dan informal, kandidat bisa menunjukkan bahwa mereka bukan hanya seorang pemimpin yang formal, tetapi juga manusia biasa yang siap mendengarkan. Misalnya, kandidat bisa membuat polling sederhana di Instagram Stories atau Twitter untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang suatu isu. Ini bukan hanya cara untuk menyebarkan informasi, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Membangun engagement di media sosial memang menawarkan banyak peluang. Kandidat bisa memperlihatkan sisi personal mereka melalui unggahan aktivitas sehari-hari atau momen kebersamaan dengan keluarga. Ini penting, terutama di daerah seperti Jawa Barat, di mana masyarakatnya punya latar belakang budaya yang beragam dan memiliki nilai-nilai kebersamaan yang kuat. Sisi personal ini membuat calon pemimpin terlihat lebih relatable, dekat, dan peduli pada masyarakat yang mereka wakili.
Namun, engagement yang kuat bukan berarti tanpa risiko. Kandidat harus siap menghadapi kritik yang mungkin muncul di kolom komentar atau pesan langsung. Kunci utama adalah transparansi dan ketulusan dalam berinteraksi. Masyarakat cenderung tidak suka jika mereka merasa diabaikan atau hanya direspons dengan jawaban standar. Kandidat perlu hadir secara aktif dan nyata, bukan sekadar formalitas.
Baca Juga: Perilaku Doom Spending, Antara Gaya Hidup Konsumtif dan Kesehatan Finansial
MAHASISWA BERSUARA: Imbas Polarisasi Algoritma Media Sosial terhadap Kehidupan Pengguna Media Sosial
Membongkar Efektivitas Pemasaran Perawatan Wajah melalui Media Sosial
Pemanfaatan Data Analitik Media Sosial
Penggunaan data dan analisis media sosial sangat penting untuk menyesuaikan strategi kampanye dengan preferensi pemilih. Calon kepala daerah dapat memanfaatkan perangkat analitik untuk melacak engagement, demografi audiens, dan tren diskusi. Data ini dapat memberikan gambaran jelas tentang konten yang paling banyak menarik perhatian, memungkinkan calon untuk memperbaiki atau menyesuaikan pesan kampanye mereka. Dengan mengidentifikasi topik yang sedang tren dan respons masyarakat, calon dapat merespons dengan cepat dan relevan, sehingga kampanye mereka tetap aktual dan menarik bagi audiens yang ditargetkan. Setiap platform memiliki fitur analitiknya masing-masing yang memberikan wawasan yang berbeda untuk membantu calon memahami audiens dan meningkatkan efektivitas kampanye.
Instagram menyediakan Instagram Insights yang memungkinkan calon kepala daerah untuk memantau demografi pengikut, waktu terbaik untuk posting, serta tingkat interaksi (likes, komentar, dan shares). Metrik seperti reach, impressions, dan engagement rate membantu calon untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa banyak orang terlibat dengan konten mereka. Instagram Stories juga menyediakan data mengenai berapa banyak orang yang melihat setiap cerita, berapa banyak yang melanjutkan untuk melihat cerita lainnya, dan bagaimana audiens berinteraksi dengan stiker atau polling.
Facebook memiliki Facebook Insights yang lebih mendalam, memberikan data tentang reach, engagement, serta demografi pengikut yang lebih rinci, termasuk usia, lokasi, dan jenis kelamin. Calon dapat mengukur efektivitas iklan berbayar di Facebook, serta memahami pesan mana yang lebih resonan dengan audiens. A/B testing juga dapat dilakukan untuk menguji iklan atau posting yang berbeda dan melihat mana yang memberikan hasil terbaik.
Twitter Analytics menyediakan wawasan tentang jumlah impresi, interaksi, dan engagement rate setiap cuitan. Calon kepala daerah dapat melihat top tweets, kata kunci yang sering digunakan, dan reaksi terhadap cuitan mereka. Tagar yang digunakan juga dapat dilacak untuk melihat seberapa besar dampaknya dalam diskusi politik yang lebih luas. Sentiment analysis bisa digunakan untuk mengukur bagaimana perasaan audiens terhadap calon tersebut, apakah lebih positif atau negatif.
TikTok memiliki TikTok Analytics yang memberikan data lengkap tentang performa video yang diunggah. Calon dapat melihat total view, engagement rate, dan demografi audiens seperti usia, jenis kelamin, dan lokasi. Selain itu, TikTok memberikan informasi tentang bagaimana audiens berinteraksi dengan video mereka, apakah mereka berkomentar, menyukai, atau membagikan konten. Hal ini sangat membantu untuk mengidentifikasi jenis konten yang paling efektif dalam menjangkau generasi muda, yang merupakan pengguna utama TikTok.
Dari semua perangkat yang terpaut di media sosial tadi, dapat disimpulkan bahwa media sosial tidak hanya digunakan untuk menyebarkan informasi dan membangun engagement, tetapi juga harus dianalisis lebih jauh efektivitasnya oleh para calon kepala daerah dalam kampanyenya. Dengan memanfaatkan data analitik dari media sosial, calon kepala daerah dapat lebih memahami cara audiens mereka merespons kampanye dan menyesuaikan konten untuk mencapai hasil yang optimal.
Data ini juga memungkinkan mereka untuk lebih cepat beradaptasi dengan perubahan tren dan sentimen publik. Secara keseluruhan, penggunaan analitik media sosial memungkinkan kampanye yang lebih terarah, lebih personal, dan lebih relevan dengan keinginan pemilih. Dengan strategi yang tepat, calon dapat memperkuat hubungan dengan pemilih dan meningkatkan peluang kemenangan dalam pilkada.
Ke depannya, tentu semua perangkat analitik tadi tidak sekadar cara untuk meraih kursi kekuasaan. Media sosial menjadi cara paling efektif dalam mendengarkan suara rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Setidaknya sampai hari ini.
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Heny Hendrayati, atau artikel-artikel lain tentang Media Sosial