• Narasi
  • Mereguk Festival Ngopi Sepuluh Ewu Cingkir Banyuwangi

Mereguk Festival Ngopi Sepuluh Ewu Cingkir Banyuwangi

Festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir merupakan cerminan budaya minum kopi di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, yang sebagian besar merupakan suku Adat Osing.

Kurniasih

Dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) dan pecinta kopi hitam.

Keriaan tabuhan khas Banyuwangi di Festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir di Desa Kemiren, Banyuwangi. (Foto: Kurniasih)

16 November 2024


BandungBergerak.id – Awal November yang lalu begitu berkesan ketika dihabiskan di ujung Timur Pulau Jawa. Menjelang hari pahlawan, tepatnya pada 6 dan 7 November 2024, masyarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, menghelat sebuat festival yang sangat menarik, yaitu festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir. Semboyan yang diusung untuk festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir ini pun bersifat merangkul persaudaraan, yaitu Kopi sacorotan dadi saduluran salawase atau artinya adalah ngopi sama-sama jadi bersaudara. Sekali tuang kita bersaudara.

Festival yang terbuka untuk kalangan luas ini, melalui semboyan yang sangat komunal, telah berhasil menyihir saya untuk takjub pada satu demi satu rangkaian acara yang dihelat. Demikian pula ribuan masyarakat yang terdiri dari warga setempat maupun wisatawan memadati jalan desa Kemiren. Bagaimana tidak menyihir jika biasanya kebiasaan ngopi ditemukan di warung kopi atau café-café modern namun kali ini sungguh berbeda.

Pada awalnya tujuan kedatangan saya dan rombongan adalah untuk melakukan suvey awal penelitian mengenai pola hidup masyarakat adat Suku Osing Banyuwangi. Banyak aspek yang menarik kami telusuri mulai dari kebiasaan minum kopi lokal adat Suku Osing, pola interaksi masyarakat dalam menjaga pengetahuan lokal, dan perilaku fenomenologis dalam seni tari Gandrung. Namun, rencana sebatas rencana. Begitu kami berkunjung untuk kali kedua, pertama kali adalah di tahun 2023, salah satu yang menjadi titik pijak survey adalah festival ngopi ini.

Anak muda tidak ketinggalan meramaikan ngobi bersama di festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir di Desa Kemiren, Banyuwangi. (Foto: Kurniasih)
Anak muda tidak ketinggalan meramaikan ngobi bersama di festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir di Desa Kemiren, Banyuwangi. (Foto: Kurniasih)

Baca Juga: Sejarah yang Hidup dalam Secangkir Kopi Aroma
Upah Buruh-buruh Kafe di Bandung Sepahit Biji Kopi
Energi Listrik Rasa Kopi Gununghalu, Mengolah Alam Tanpa Harus Merusak Lingkungan

Festival Ngopi ala Suku Osing

Rasa antusias untuk mengikuti festival ngopi semakin membuncah ketika kami datang di hari kedua. Kami menginap di rumah salah satu keluarga suku Osing sehingga merasa leluasa untuk dapat mengakses acara baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejak kali pertama berkunjung pada 2023 lalu, kami menemukan bahwa warga terbiasa mengonsumsi kopi hitam yang diolah sendiri. Padahal warga suku Osing tidak umum memiliki kebun kopi. Biji kopi biasanya dibeli di pasar atau toko kopi terdekat. Lalu mereka akan menyangrai secara manual serta menggilingnya sendiri. Setiap kali kami membuka percakapan ramah-tamah maka ibu pemilik rumah segera menawarkan segelas kopi. Biasanya pertanyaan yang dilontarkan adalah, “Buat kopi ya? Pakai gula apa tidak?” Tidak sekalipun kami disuguhkan dengan kopi instan. Secara kultur, warga memiliki ungkapan “ngopai” untuk aktivitas minum kopi ini.

Berbeda dengan penemuan kebiasaan ngopi di wilayah tempat saya melakukan pengabdian masyarakat beberapa tahun lalu di sebuah dusun di Pangalengan, minum kopi yang umumnya dilakukan adalah minum kopi saset dengan aneka rasa. Padahal dusun tersebut merupakan penghasil biji kopi yang cukup besar mengingat banyaknya warga yang memang memiliki kebun kopi. Kedua hal yang berbeda ini tentu menjadi tanda tanya serta berpotensi untuk menjadi bahan penelitian.

Festival ngopi Sepuluh Ewu pada hari kedua dimulai dengan keriaan tabuhan khas Banyuwangi yang dilakukan di Balai Desa. Pada malam sebelumnya kegiatan yang dilakukan adalah literasi Osing berupa pembacaan lontar Yusuf. Pembukaan hari kedua ini dilakukan di panggung yang cukup megah ditata sedemikian rupa. Jalan raya Desa Kemiren ditutup selama beberapa jam agar khidmat acara terselenggara. Antusiasme kami di tengah kumpulan warga segera saja semakin menjadi ketika lapak sederhana di sisi jalan sepanjang jalan desa menyajikan aneka sajian khas Banyuwangi. Kami sampai bingung, apakah hendak mencicipi terlebih dahulu sajian yang menggoda selera atau menyaksikan pembukaan festival? Akhirnya diputuskan untuk mencicipi satu sajian yang baru kami temukan, yaitu sajian daun semanggi lengkap dengan sambalnya.

Warga Desa Kemiren ngopi bersama di festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir di Desa Kemiren, Banyuwangi. (Foto: Kurniasih)
Warga Desa Kemiren ngopi bersama di festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir di Desa Kemiren, Banyuwangi. (Foto: Kurniasih)

Sajian Kopi di Pekarangan Rumah

Suara tabuhan alat-alat musik khas Banyuwangi semakin menambah keriaan festival. Setelah pembukaan festival, akhirnya warung kopi dadakan yang dibuat oleh warga di sisi jalan kanan dan kiri bisa dilakukan dengan lebih leluasa. Ada warga yang menyediakan meja dan kursinya masing-masing, ada juga yang menyediakan tikar untuk lesehan. Tua muda, dan anak-anak berkumpul semua. Sajian mereka seakan memanggil tamu manapun untuk bertandang di meja warga. “Monggo pinarak.” Demikian yang terucap di hampir meja yang saya lewati. Di meja-meja yang yang warga tata sedemikian rupa, tersedia juga aneka jajanan tradisional. Para wisatawan dapat membelinya untuk oleh-oleh atau membelinya untuk disantap bersama sajian kopi gratis.

Menurut informasi dari panitia maupun warga, kopi untuk diseduh sudah disediakan panitia. Namun, jika dirasa kurang, warga dapat menambahkan kopi secara mandiri. Saya sendiri menikmati sajian kopi gratis, pada akhirnya di Kafe Kopi Jaran Goyang. Kopi Robusta yang kental rasanya begitu kuat menendang lidah. Pilihan kopi Arabika pun tersedia. Festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir bukan sebatas acara perhelatan melainkan memang merupakan cerminan budaya minum kopi di Desa Kemiren yang sebagian besar merupakan suku Adat Osing ini. Mereguk sedapnya sajian kopi kental di Desa Kemiren, rasanya sama saja dengan mereguk keterbukaan warga dalam menerima para wisatawan.

Beberapa kawan penggerak kopi lokal di Bandung saya kabari mengenai acara yang tengah saya ikuti ini. Rasa penasaran pada perhelatan yang tak biasa ini segera saya tangkap dari ekspresi mereka. Festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir di Desa Kemiren sudah mempunya chip-nya yaitu tradisi minum kopi lokal. Sehingga, festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir merupakan perwujudan tradisi minum kopi yang umum ditemukan pada warga. Sajian kopi gratis serta jajanan tradisional semakin sempurna karena berbagai seni disuguhkan warga di beberapa titik. festival ngopi Sepuluh Ewu Cingkir adalah pesona di ujung Timur Pulau Jawa.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang budaya

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//