• Kampus
  • Membicarakan Krisis Demokrasi di Unpad, Sudahkan Negara Melayani Rakyatnya?

Membicarakan Krisis Demokrasi di Unpad, Sudahkan Negara Melayani Rakyatnya?

Acara Political Science Week 8.0 di Unpad, Bandung mengingatkan kita bahwa demokrasi milik rakyat, bukan milik penguasa atau segelintir orang.

Bivitri Susanti, aktivis hukum, dan Rocky Gerung di diskusi Political Science Week 8.0, Unpad, Bandung, 14 November 2024. (Foto: Pahmi Novaris/BandungBergerak)

Penulis Pahmi Novaris 19 November 2024


BandungBergerak.idMakna demokrasi di Indonesia cenderung menyempit. Demokrasi hanya diperingati lima tahun sekali melalui pemilu. Sementara rakyat hanya diposisikan sebagai pemilih, bukan pemilik kedaulatan di dalam sistem demokrasi. Padahal, rakyatlah yang menjadi tuan di dalam negara demokrasi.

Bivitri Susanti, aktivis sekaligus dosen hukum di STH Indonesia Jentera, mengibaratkan demokrasi saat ini bukan berada di persimpangan jalan, melainkan mulai redup. Penguasa cenderung memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan dirinya.

"Yang salah adalah banyaknya penguasa yang memutarbalikkan akal sehat kita," ujar Blvitri, di acara diskusi Political Science Week 8.0, Unpad, Bandung, 14 November 2024.

Acara Political Science Week 8.0 berisi diskusi tentang kondisi demokrasi di Indonesia yang sering kali memunculkan berbagai pandangan dan refleksi mendalam. Forum ini melibatkan beberapa narasumber terkemuka, selain Bivitri, hadir Rocky Gerung, Andi M. Nurdin seorang akademisi sekaligus alumni FISIP Unpad.

Bivitri mengingatkan, negara adalah milik rakyat, bukan milik kepala negara. Negara tidak akan eksis tanpa warga. Hak-hak warga negara seharusnya dipenuhi oleh negara. Ia juga mengkritik pandangan yang menyatakan bahwa rakyat hanya perlu bertanya, "Apa yang bisa negara berikan untukmu?" Sebaliknya, negara ada untuk melayani warga.

Rocky Gerung pun menimpali, bahwa demokrasi sekarang bukan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. “Melainkan pemerintahan oleh segelintir orang," tegas dosen filsafat ini.

Menurutnya, masalah utama Indonesia saat ini bukan hanya ke mana demokrasi harus dibawa, tetapi siapa yang membawa demokrasi tersebut. "Kita tidak melihat bahwa demokrasi akan dihidupkan kembali; jika tidak, ia akan mati," ungkapnya. Ia juga memperingatkan bahwa potensi untuk kembali ke kehidupan feodal sangat besar jika upaya untuk menghidupkan demokrasi tidak dilakukan.

Baca Juga: Tantangan Edukasi Politik di Cicalengka
Politik Mbajingisme
Negara, Oligarki, dan Politik Kelas

Pertanyaan-pertanyaan Kritis

Diskusi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan kritis dari peserta, di antaranya Wijran, mahasiswa dari UIN SGD Bandung, yang mempertanyakan soal ambang batas pencalonan di negeri ini. Ia menyoroti pentingnya memahami dampak dari kebijakan tersebut.

Kemudian Razi, juga dari UIN SGD Bandung, yang prihatin dengan nasib demokrasi dan mahasiswa. "Bagaimana kita berharap terhadap masa depan demokrasi, tetapi para mahasiswanya justru memainkan politik pragmatis?"

Terakhir, seorang mahasiswa dari UPI mengangkat isu penting mengenai peran perempuan yang semakin minim di kampus-kampus. “Bagaimana cara keluar dari situasi ini dan mendobrak kultur patriarki?"

Bivitri menanggapi pertanyaan tentang ambang batas pencalonan, bahwa terdapat fenomena yang disebut autocratic regalism, di mana penguasa dapat bertindak sewenang-wenang. "Kita perlu melihat demokrasi secara lebih luas," ujarnya.

Mengenai pertanyaan Razi, Bivitri menekankan pentingnya mendorong politik kewargaan. "Kita harus membincangkan dan mendekonstruksi pikiran-pikiran yang ada," tambahnya, mengingatkan perlunya membongkar pemahaman keliru tentang politik yang berkembang di kampus.

Ia juga menyoroti pentingnya pendidikan politik yang kritis. Ia mengajak untuk meramaikan media sosial dengan daya kritis mahasiswa. Untuk pertanyaan mahasiswa UPI, ia menyatakan, "Kita perlu membongkar pakem yang ada dengan tindakan konkret dan menggiatkan pemikiran tentang peran perempuan di lingkungan publik."

Pendidikan Politik

Diskusi Political Science Week 8.0 mencerminkan kepedulian mahasiswa terhadap berbagai tantangan yang dihadapi dalam konteks demokrasi di Indonesia. Pertanyaan mengenai ambang batas pencalonan, politik pragmatis di kalangan mahasiswa, dan minimnya partisipasi perempuan mengindikasikan perlunya refleksi dan tindakan nyata untuk meningkatkan kualitas kehidupan politik.

Diskusi tersebut menggarisbawahi pentingnya rekonstruksi publik menuju politik yang lebih inklusif dan berkeadilan, serta mendorong keterlibatan aktif dari semua elemen masyarakat, terutama perempuan dalam menciptakan perubahan yang positif. Melalui kesadaran dan partisipasi yang lebih besar, generasi muda diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia.

Selain itu, kesadaran akan pentingnya pendidikan politik yang kritis dan partisipatif menjadi kunci untuk membongkar struktur kekuasaan yang ada. Mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen ide dan solusi yang dapat menanggapi tantangan sosial dan politik.

Dengan demikian, upaya untuk memperbaiki kondisi demokrasi dan mendobrak kultur patriarki akan semakin kuat, menciptakan ruang bagi dialog yang konstruktif dan partisipasi yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan. Melalui berbagai langkah ini, generasi muda dapat berperan aktif dalam membentuk masa depan demokrasi yang lebih baik di Indonesia.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Pahmi Novaris, atau artikel lain tentang Politik

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//