PILGUB JABAR 2024: Para Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Tidak Mau Ngariung, Komitmen Mereka pada Isu Keberagaman Dipertanyakan
Para kandidat Pilgub Jabar 2024 tidak memberi prioritas pada nasib kelompok-kelompok rentan di Jawa Barat, seperti difabel, minoritas agama, perempuan, dan anak.
Penulis Awla Rajul22 November 2024
BandungBergerak.id - Organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang isu keberagaman kecewa lantaran tidak ada satu pun perwakilan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pilgub Jabar 2024 maupun tim pemenangannya yang menghadiri acara “Ngariung: Merancang Demokrasi Inklusif Menguatkan Suara Kelompok Rentan di Jawa Barat” yang diselenggarakan Koalisi Aspirasi dan Setara Institute, di Hotel Jayakarta Suites, Kamis, 21 November 2024.
Fasilitator Koalisi Aspirasi Jawa Barat, Risdo menerangkan, Ngariung merupakan kegiatan koalisi masyarakat sipil Jawa Barat yang menyuarakan isu keberagaman, disabilitas, perempuan, gender, minoritas seksual, dan lainnya. Acara ini untuk mendengarkan berbagai hambatan yang dialami oleh kelompok-kelompok rentan. Dari acara Ngariung diharapkan terjadi eksplorasi terkait langkah-langkah strategis yang inklusif untuk memperkuat kebijakan solutif, aspiratif, dan berdampak bagi kelompok rentan di Jawa Barat.
“Sampai pagi tadi, minimal timsesinya konfirmasi ada (yang hadir). Tapi gak hadir,” kata, Risdo fasilitator koalisi Aspirasi Jawa Barat, kepada BandungBergerak.id usai kegiatan Ngariung.
Risdo menerangkan, semula, juru bicara paslon nomor urut 01 mengkonfirmasi hingga sebelum acara dimulai pihaknya akan ada yang hadir. Tapi lantas tidak ada kabar dan tidak ada perwakilan yang hadir. Adapun paslon nomor urut 02, calon Gubernur Jeje mengkonfirmasi akan hadir. Tetapi pukul satu siang, mereka mengabari tidak bisa hadir karena alasan sakit.
Sedangkan paslon nomor urut 03, sejak awal susah dihubungi. Namun begitu, awalnya tim menyebutkan Ilham Habibie yang hadir, tapi tak ada yang hadir. Sementara paslon nomor urut 04 pun mengkonfirmasi kehadiran. Tetapi tidak ada kejelasan dan tidak ada perwakilan yang hadir pada kegiatan itu. Risdo menegaskan, sejak tiga pekan, pihaknya telah mengupayakan jalur resmi. Tapi berbuah kekecewaan.
Perwakilan kawan-kawan isu difabel juga kecewa dengan ketidakhadiran para paslon maupun tim sukses Pilgub Jabar 2024. “Aku sangat kecewa terhadap ketidakhadiran calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat. Yang paling mengecewakan sepanjang tahun 2024 adalah hari ini, kalian tidak bisa hadir ke sini. Kami kecewa,” kata Dinda, perwakilan kawan-kawan isu disabilitas Jawa Barat.
Sementara Lala, perwakilan perkumpulan ibu dari anak-anak spesial seperti autisme, cerebral palsy berat, down-syndrome, dan lainnya pun menyampaikan kekecewaannya. Menurutnya, banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang ragam disabilitas nonfisik ini. Ketidakhadiran calon pemimpin pada kegiatan ini membuatnya menilai calon pemimpin tidak memberi prioritas pada isu kelompok-kelompok rentan.
“Saya kira para calon gubernur akan hadir di sini, mendengarkan keluh-kesah kami, mendengarkan saran kami dan apa yang kami inginkan. Kenapa kami tidak diperhatikan, tidak dihiraukan dan kalian tidak ada yang datang ke sini? Saya kecewa,” terangnya.
Robert, perwakilan isu lintas agama, menegaskan, pemimpin Jawa Barat mendatang harus memberi perhatian dan komitmen di isu keberagaman. “Jangan abaikan satu pun dari warga Jawa Barat, termasuk kami semua yang bersatu dalam koalisi Aspirasi Jawa Barat ini,” tegas Robert.
Usai menyampaikan kekecewaan, perwakilan dari setiap isu difabel, lintas agama, gender, perempuan, menyampaikan delapan poin rekomendasi hasil dari kegiatan Ngariung. Delapan rekomendasi itu di antaranya adalah:
- Memastikan seluruh aparat pemerintahan daerah di Jawa Barat mengadopsi perspektif inklusif dalam penyusunan kebijakan dan penyediaan layanan publik yang adil dan setara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, gender, disabilitas, atau kesehatan.
- Mendesak pemerintah untuk melakukan revisi atau pencabutan aturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama, etnisitas, gender, disabilitas, atau kondisi kesehatan.
- Mendorong pemerintah untuk bersikap tegas dalam menjaga kebebasan beragama dan memastikan kerukunan antar umat beragama di Jawa Barat, melalui penghapusan diskriminasi terkait pendirian rumah ibadah, kegiatan keagamaan, persekusi, bullying di sekolah, serta pemenuhan hak sipil penghayat kepercayaan dan kelompok agama minoritas.
- Mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Perda Disabilitas beserta implementasi RAD Disabilitas yang menjamin 22 hak penyandang disabilitas serta memastikan kebijakan berbasis kesetaraan yang melibatkan kelompok disabilitas dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan.
- Mendorong akselerasi penyusunan RAD Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan yang menjamin hak perempuan, khususnya perempuan rentan, dalam aspek politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya.
- Membangun kultur inklusif melalui pendidikan dengan mengedepankan pencegahan terhadap bullying, intoleransi, dan kekerasan seksual, serta menumbuhkan semangat inklusif di kalangan siswa.
- Mengawal pemerintah untuk memprioritaskan permasalahan kritis yang dihadapi oleh kelompok rentan, seperti penanggulangan HIV/AIDS, kematian ibu dan anak, stunting, perdagangan orang, penggusuran, dan isu lainnya.
- Mendorong pelibatan masyarakat terutama dalam perumusan program pemerintah terutama untuk isu kebebasan beragama, kesetaraan gender, dan disabilitas untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan lebih relevan dan berdampak serta sumber daya dan anggaran digunakan secara maksimal demi kemaslahatan masyarakat Jawa Barat.
Baca Juga:
PILGUB JABAR 2024: Sama-sama Menjanjikan Akan Memfasilitasi Kawan-kawan Difabel dan Talenta Digital
PILGUB JABAR 2024: Ramai-ramai Membicarakan Budaya dan Kuliner Lokal
PILGUB JABAR 2024: Janji Calon Pemimpin untuk Menurunkan TBC dan Stunting
Pemaparan Panelis
Panelis isu agama dan kepercayaan, Wawan Gunawan menerangkan, kegiatan Ngariung dibuat untuk mendapatakan gagasan dari para paslon terkait isu keberagaman dan masyarakat rentang yang tidak terakomodasi melalui debat KPU dengan waktu yang terbatas. Wawan yang juga bertindak sebagai panelis pada debat kedua KPU juga menilai, debat itu tidak memberi jawaban yang tergas sebab mereka terlalu terpaku pada “contekan”.
“Saya tidak mendapat jawaban, karena mereka membaca jawaban dari kertas. Jadi kami gak puas,” ungkapnya.
Ngariung dibuat untuk mengumpukan masyarakat sipil lintas isu keberagaman, menyampaikan keluh-kesah kepada calon pemimpin, mendapatkan tanggapan dan jawaban dari para paslon, lantas menagih komitmen yang dapat ditagih saat mereka menjabat sebagai pemimpin Jabar.
“Forum ini tidak hanya untuk merespons pilkada saja. Tapi harus diteruskan untuk menjaga ruang kritis kita dan mengawal seluruh pihak tidak ada yang tertinggalkan dalam agenda pembangunan Jawa Barat,” katanya. “Menurut kami, hak kebebasan beragama itu hak yang paling dasar yang harus dilindungi negara. Menjadi penghayat, ahmadiyah, dan lainnya itu kebabasan dan negara harus melindungi itu. Kita memastikan agar kelompok-kelompok ini tidak ditinggalkan dalam agenda pembangunan.”
Panelis isu perempuan, anak, dan ragam gender Diana Handayani menyampaikan, di Jawa Barat sudah ada kebijakan untuk perlindungan dan perempuan. Namun yang perlu dikritisi, apakah kebijakan itu sudah berjalan maksimal.
“Sekarang itu penting kebijakan yang sepenuh hati,” katanya. “Bagaimana program perempuan kalau perspektifnya masih patriarki, tebel banget?”
Diana mengaku penasaran bagaimana empat paslon Gubernur Jawa Barat menawarkan solusi untuk memberi jalan keluar pada persoalan perempuan, anak dan ragam gender. Ia mewanti-wanti, jangan sampai kebijakan itu manis dalam etalase, tapi tak ada makna.
Menurutnya, salah satu persoalan utama pada isu perempuan, anak, dan ragam gender adalah kekerasan. Jabar disebut darurat kekerasan. Isu lainnya adalah pernikahan anak. Ada 5.000 dispensasi pernikahan anak. Undang-Undang sebenarnya sudah menurunkan angka pernikahan menjadi 19 tahun, tapi ada “celah” untuk pernikahan anak dengan dispensasi pernikahan.
“Kekerasan ada dalam siklus pernikahan anak. Lalu ada stunting. Jadi siklus kekerasan ini masih ada,” ungkapnya. “Nah ini (solusinya) gimana anak memperlama waktu di sekolah, sampai umur 19 tahun.”
Selain itu itu, ada pula rendahnya representasi perempuan di elektoral Jabar yang belum mencapai 30 persen. Adapula isu buruh migran, dengan angka sekitar 500an masyarakat Jabar masih terjebak.
“Ada banyak persoalan perempuan, anak dan ragam gender yang betul-betul gak ada suaranya, gak ada datanya. Ketiadaan data itu juga bagian dari penerimaan. Kita belum menerima situasi itu,” ungkapnya.
Diana menyampaikan kekecewaan karena ketidakhadiran para paslon ke kegiatan itu. Meski begitu, menurutnya, Ngariung perlu menjadi forum yang terus “berisik” untuk menuntut pemerintah memberi komitmen menjalankan demokrasi yang inklusif.
Panelis isu disabilitas, Dudi Rahimi, menyebutkan bahwa kelompok masyarakat disabilitas tengah menyusun rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang disabilitas. Perancangan itu agar kebijakan mengenai disabilitas di Jawa Barat masih relevan. Dudi juga menyebut, sudah ada amanat Undang-Undang untuk memberikan akses dan hak kepada disabilitas.
“Tapi apakah pemerintah sudah berkomitmen melaksanakan uu ini?” katanya. “Harus berdarah-darah dan berjibaku untuk mengawal UU itu dijalankan oleh pemerintah.”
Dudi berharap, pemerintah bisa membuat program yang meningkatkan kapasitas disabilitas. Terutama dalam bidang pendidikan yang setara untuk mendatangkan kesejahteraan. Sebab, tingkat pendidikan yang rendah membuat disabilitas rentan mendapatkan kekerasan serta sempitnya akses pekerjaan.
Panelisi dari akademisi dan jurnalis, Tri Joko Her Riadi berpendapat, salah satu persoalan yang tak kalah penting adalah program kebijakan infastruktur yang dilakukan pemerintah justru melahirkan kelompok-kelompok masyarakat rentan yang baru. Jawa Barat merupakan provinsi yang mendapatkan banyak Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti KCIC, Waduk Jatigede, Pelabuhan Patimban, Bandara Kertajati, dan lainnya.
“Sering kali percakapan tentang infrastruktur itu menjanjikan banyak hal, hal-hak baik. Tapi di lapangan kita menemukan, tahun lalu dari kolaborasi liputan, dampak dari pembangunan besar menjanjikan dampak besar yang harus ditanggung oleh warga,” kata Joko. “Ketika mereka hilang air, hilang sawah, atau dipaksa pindah dari rumahnya, akan lahir kelompok rentan baru.”
Selain melahirkan kelompok rentan baru, pembangunan infrastruktur besar menurut Joko juga melahirkan konflik agraria, yang juga menciptkan kelompok rentan baru. Persoalan ini menambah persoalan baru, saat pemerintah sejak awal belum maksimal dan gagal memberikan perlindungan terhadap hak asasi masyarakat.
“Rekomendasinya adalah mendengarkan suara-suara dari masyarakat sipil. Membuat jalur alternatif cara untuk mendengarkan suara akar rumput,” tegasnya.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Awla Rajul atau artikel-artikel Pilgub Jabar 2024