MULUNG TANJUNG #12: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (10)
Orang tua selalu mengingatkan anak-anak untuk menjaga mata air di Ciguriang, Bandung. Kisah noni Belanda bisa jadi sebagai bentuk simbolik untuk menjaga mata air.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
24 November 2024
BandungBergerak.id - Ketika masa kecil dulu, Ciguriang menjadi tempat yang dijaga oleh para orang tua di kampung kami. Oleh sebab itulah, air yang mengalir dari mata air itu terpelihara baik. Tidak sembarangan orang melakukan banyak hal di area mata air itu, bahkan kami anak kecil agak segan jika harus melalui jalan yang melewati mata air. Kami terutama cucu-cucu Bah Ilim memang jarang sekali bermain di sekitar mata air.
Pada saat itu kami bisa dikatakan sangat patuh pada larangan Abah. Lagi pula keadaan kampung yang belum terjamah listrik pada waktu itu membuat keadaan mata air itu gelap pada waktu sareupna, senja menjelang maghrib membuat suasana agak membuat nyali ciut karena pohon-pohon besar di sekitarnya membuat keadaan makin gelap.
Beberapa cerita memang sering sampai ke telinga kami, entah suara orang mandi atau suara perempuan cekikikan bermain air ketika lewat tengah malam, membuat anak-anak kecil ini makin enggan utuk mendekat ke mata air itu sendirian. Keluarga kami sendiri lebih sering melakukan aktivitas mandi, cuci, kakus di kamar mandi di sebelah sumur di dekat tempat tinggal kami. Tapi tetap saja karena letaknya di luar rumah, ketika kami ada keinginan menuntaskan kebutuhan ke kamar mandi malam hari selalu meminta untuk diantar orang tua atau kakak. Alhamdulillah, saya sendiri belum pernah Kherkoff bertemu hal-hal aneh selama inggal berpuluh-puluh tahun di sana.
Tapi memang tidak bisa dipungkiri, setiap tempat pasti mempunyai banyak cerita atau urband legend tersendiri. Seperti di daerah Ciguriang itu sendiri. Lokasi Ciguriang yang tepat berada di belakang GOR Pajajaran yang merupakan lahan bekas permakaman di masa kolonial yaitu Kherkoff Kebon Jahe, juga melahirkan banyak cerita.
“Pernah zaman baheula mah aya dongeng nu kawenehan Noni (Belanda),” pernah ada yang kebetulan melihat (hantu) Noni, cerita Ambu, konon, dulu, para orang tua sering melihat seorang Noni yang sedang berdiri di dekat sebatang pohon besar di sana. Bahkan Ambu sering mendengar cerita dari Ma Abah pada masa kecilnya. Waktu itu Kherkoff Kebon Jahe masih belum mengalami pembongkaran.
“Di Ciguriang teh, mun nu kawenehan mah sok ningali Enon, nu nyareuseuh teh. Tapi ari nu teu kabeneran mah nya tara ningali, komo panggih,” begitu yang disampaikan Ma Abah pada Ambu.
Baca Juga: MULUNG TANJUNG #11: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (9)MULUNG TANJUNG #10: Ciguriang Kampung Dobi dalam Ingatan (7)
Para dobi yang sering melakukan aktivitas mencuci di waktu tengah malam sampai dini hari, konon sering menemukan hal-hal tak kasat mata, salah satunya sang Noni Belanda tadi. Namun ketika dobi yang melihat sang Noni memberi tahu teman dobi lainnya, si Noni tiba-tiba menghilang. Penampilan sang Noni dengan kulit pitih dan gaun putih di kegelapan malam tentu akan mampu menarik mata untuk menoleh, dan ketika menoleh yang kedua kali, dipastikan sang Noni sudah akan menghilang di kegelapan malam.
Lalu apakah hal tersebut menyurutkan semangat para dobi untuk tetap melanjutkan aktivitasnya di malam-malam selanjutnya? Tentu saja tidak, buktinya kegiatan itu terus berlanjut berpuluh tahun lamanya.
Cara para dobi untuk mengusir rasa keueung yang muncul salah satunya dengan bersenandung silih berganti, atau berbalas pantun, dengan demikian suasana menjadi cukup ramai. Apalagi suara kecipak kecipuk air pada saat membilas, dan pak puk pak suara cucian yang dibanting menjadi nada berirama seolah musik yang mereka tabuh di keheningan malam. Dengan mencuci beramai-ramai selain mengusir sepi juga membuat waktu mencuci yang panjang juga terlalui tanpa terasa. Jangan lupa dengan satu cangkir besar kopi yang mereka bekal dari rumah untuk mengurangi rasa kantuk.
Salah satu kakak sepupu saya, Teh Ida, bercerita ada saat-saat Ciguriang dalam “kekuasaan” para ular, biasanya ada saatnya ular muncul banyak dan bersamaan. Ular-ular itu juga nampak di mata air dan bilik tempat mencuci. Kalau sudah terjadi demikian biasanya warga enggan untuk mencuci di sana. Dan warga yang sebelumnya selalu melakukan kegiatan mandi ataupun mencuci di sana menunggu sampai ular-ular itu pergi untuk kembali melakukan kegiatan di sana. Selain ular, hewan lain yang sering muncul di mata air Ciguriang adalah kodok atau bangkong, ada masa-masa bangkong berkeliaran banyak sekali di sekitar mata air dan tempat mencuci. Ini juga sering bersamaan dengan banyak ditemukannya telur kodok, lalu ratusan kecebong setelahnya. Banyaknya kecebong ini juga jadi cerita masa kecil saya yang sering menangkap impun, ikan-ikan kecil yang biasa hidup di kolam-kolam. Suatu hari dengan riang saya membawa pulang satu plastik yang berisi “ikan-ikan” kecil yang saya kira impun, dan setibanya di rumah dengan rok yang basah kuyup, Ambu menyuruh saya membuang isi plastik, “Piceun ka ditu ka solokan, eta mah lain impun, buruy!” kata Ambu.
Sampai saat saya masih tinggal di sana, berkali-kali ditemukan ular di sekitar rumah, bahkan tak jarang masuk ke dalam rumah. Salah satu kejadian tak terlupakan adalah ketika anak kedua saya masih bayi dan tidur sendirian di siang hari. Ketika dia bangun, saya langsung mengangkatnya dari atas tempat tidur. Adik saya yang mengetahui bayi sudah saya gendong lalu menyibakkan selimut dengan maksud akan tidur di sana, dan ternyata setelah selimut dibuka nampak seekor ular yang cukup besar sedang menggulung badannya tepat disamping tempat bayi tidur sebelumnya. Berarti bayi saya waktu itu tidur diparende oleh seekor ular.
Seringnya ular muncul di sekitar rumah membuat adik-adik saya terlatih menangkap ular. Setidaknya mengurangi panik jika tiba-tiba berpapasan dengan ular. Ya, ular dan kodok memang menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari kisah Ciguriang di masa lalu.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung