• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #12: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (9)

MULUNG TANJUNG #12: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (9)

Cara membungkus pakaian di Kampung Dobi memakai teknik furoshiki, dari bahasa Jepang. Diduga cara ini dipakai karena pengaruh penjajahan Jepang.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Pasar Baru mulai dibangun pada tahun 1884, setelah Pasar Ciguriang dibakar. Kini pasar ini terkenal sebagai salah satu pasar fesyen dan tekstil terbesar di Indonesia. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 November 2024


BandungBergerak.idNama furoshiki resmi digunakan pada masa Muromachi (1136-1573). Pada masa itu di pemandian umum, para pengunjung akan membungkus kimono mereka masing-masing agar tidak tertukar satu sama lainnya. Sejak saat itu, furoshiki menjadi populer di semua lapisan masyarakat. Kemudian menjadi lebih luas penggunaannya ke hal-hal lain, misalnya digunakan untuk membungkus buku, hadiah, dan bekal makanan. Sayangnya saya tak sempat mengetahui latar belakang abah Ilim membungkus barang-barang langganannya yang sudah dicuci dan disetrika dengan teknik serupa walaupun lebih sederhana. Mungkin, menurut Ambu, bisa jadi karena Abah Ilim yang lahir tahun 1913, dan mengalami zaman penjajahan Jepang, memang mengadaptasi teknik pembungkusan ini dari masa pendudukan Jepang di Indonesia. 

Cara membungkus pakaian dan barang-barang pelanggan lain yang sudah rapi dan siap kirim itu ternyata hampir sama dengan cara membungkus bekal atau hadiah yang biasa dilakukan masyarakat Jepang. Teknik membungkus dengan menggunakan kain sebagai pembungkus itu disebut furoshiki. Furoshiki biasanya menggunakan kain berbahan dasar katun, nilon, sutra atau rayon dengan berbagai motif dan ukuran, sesuia dengan tujuan dan jenis benda yang akan dibungkus. Pada masa periode Nara (710 SM), kain yang membungkus suatu benda disebut sebagai tsutsumi, yang berarti paket atau hadiah.

Nama furoshiki resmi digunakan pada masa Muromachi (1136-1573). Pada masa itu di pemandian umum, para pengunjung akan membungkus kimono mereka masing-masing agar tidak tertukar satu sama lainnya. Sejak saat itu, furoshiki menjadi populer di semua lapisan masyarakat. Kemudian menjadi lebih luas penggunaannya ke hal-hal lain, misalnya digunakan untuk membungkus buku, hadiah, dan bekal makanan. Sayangnya saya tak sempat mengetahui latar belakang abah Ilim membungkus barang-barang langganannya yang sudah dicuci dan disetrika dengan teknik serupa walaupun lebih sederhana. Mungkin, menurut Ambu, bisa jadi karena Abah Ilim yang lahir tahun 1913, dan mengalami zaman penjajahan Jepang, memang mengadaptasi teknik pembungkusan ini dari masa pendudukan Jepang di Indonesia.  

Setrika 

Jika membahas setrika zaman dahulu, setrika yang banyak digunakan adalah setrika ayam jago.  Setrika ini mendapatkan energi panas dari arang yang sudah dibakar sampai membara lalu ditaruh di dalam rongga setrika. Bahan dasar setrika yang berasal dari logam, yang paling banyak digunakan adalah besi, menjadi penghantar panas yang sangat baik. Tapi setrika yang kami gunakan adalah setrika besi dengan ukuran yang lebih besar, lebih berat, dan mempunyai bukaan sisi tanpa engsel.

Perlu waktu yang cukup panjang pada saat mempersiapkan penggunaan setrika arang ini. Pertama harus disiapkan sejumlah arang kering lalu dibakar dengan menggunakan siraman sedikit minyak tanah untuk membantu proses pembakaran sampai menghasilkan bara yang tentu saja sangat panas. Untuk menjaga bara, arang perlu dikipasi secara berkala. Setelah arang dimasukkan ke dalam setrika, biarkan setrika menghantarkan panas dari bara ke alasnya. Kesiapan penggunaan setrika bisa dicek dengan meneteskan air pada ujung setrika. Jika air sudah berbunyi mencericis lalu menguap, tandanya setrika sudah panas dan siap digunakan.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #8: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (5)
MULUNG TANJUNG #9: CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN (6)
MULUNG TANJUNG #10: Ciguriang Kampung Dobi dalam Ingatan (7)

Cara lain yang biasa Abah lakukan adalah menggosokkan setrika pada alas setrika dan mengukur panasnya dengan menyentuh alas kain yang sudah digosok setrika. Jika panasnya sudah dirasa cukup, Abah akan memulai menyetrika dengan urutan bahan tertentu sesuai tingkat panas yang dihasilkan oleh bara arang.

Setrika arang bisa digunakan untuk menyetrika banyak jenis bahan tekstil, hanya saja menggunakannya harus hati-hati karena panasnya tidak bisa diatur secara manual seperti setrika listrik. Seikat kararas atau daun pisang kering juga membantu mengontrol panas setrika, atau mengatasi permukaan setrika yang lengket karena terlalu panas. Abah juga menyediakan lap basah untuk mempermudah menyetrika bahan yang sulit licin saat disetrika. Jika pada zaman sekarang kita menggunakan cairan pelicin pakaian untuk disemprotkan pada pakaian dengan bahan jenis kain yang sulit licin, zaman dulu hanya bermodal lap bersih basah yang dibentuk membulat untuk membasahi pakaian yang sulit licin, atau bisa pula dengan memercikkan air diatas permukaan kain yang akan disetrika (dikepret – Sunda).

Hal lain yang harus diperhatikan jika menyetrika dengan setrika arang adalah percikan bara yang bisa tiba-tiba terbang, lalu terkena pakaian yang sedang disetrika. Jika tidak cepat dipadamkan atau ditepis dari permukaan pakaian atau barang lain yang sedang disetrika, alamat diomeli pelanggan karena pakaiannya atau seprainya bolong. Selain itu arang yang jatuh pada bahan yang sedang disetrika juga bisa menimbulkan noda hitam pada barang-barang tekstil milik pelanggan.

Setrika arang umurnya panjang, karena jarang sekali rusak. Perawatannya juga sangat mudah. Setiap selesai digunakan, rongga setrika dibersihkan dari abu sisa pembakaran arang, lalu dilap sampai bersih dan disimpan sampai waktunya digunakan kembali. Abah mempunyai dua setrika yang biasa digunakan dalam pekerjaannya sebagai seorang dobi, satu setrika besar dengan berat kosong sekitar tiga kilogram, dan satu lagi setrika yang lebih besar. 

Banyak orang suka dengan bau khas arang terbakar. Tapi ada pula yang tidak menyukainya. Salah satu cara Abah mengurangi bau arang melekat pada pakaian ialah dengan menyetrika di ruang terbuka. Abah mempunyai tempat setrika khusus di tepas, beranda rumah yang terbuka. Dengan demikian sirkulasi udara membuat aroma arang ataupun bau asap tidak terperangkap terlalu lama dalam ruangan, dan tidak melekat pada pakaian yang disetrika. Ruangan terbuka juga membuat udara tidak terlalu panas, karena pekerjaan menyetrika apalagi dengan menggunakan bara arang bisa membuat badan gerah, ditambah dengan ukuran setrika yang besar yang tentu saja memerlukan tenaga ekstra untuk menggunakannya. 

Setrika sendiri sudah ada sejak peradaban China. Berawal dari digunakannya panik logam yang berisi udara panas untuk menghaluskan pakaian. Lalu pada abad ke-17 di Eropa digunakan lembaran besi dengan pegangan yang dipanaskan di atas api, mungkin istilah bahasa Sunda yang tepat untuk ini adalah dideangkeun. Sampai akhirnya pada saat ini muncul setrika yang lebih praktis, ringanm dan lebih mudah diatur suhunya sesuai kebutuhan.

Alat pelicin pakaian ini di Indonesia dikenal dengan nama setrika, berasal dari bahasa Belanda yaitu strijkijzer yang berarti menghilangkan kerutan dari baju dengan alat yang dipanaskan. 

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//