• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #9: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (6)

MULUNG TANJUNG #9: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (6)

Pekerjaan para dobi, tukang cuci di masa lalu, di Ciguriang mesti melalui berbagai macam tahapan panjang yang tak terbayangkan di masa sekarang.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Ilustrasi. Mencuci pakaian di masa lalu dikerjakan dengan cara tradisional. (Foto: Koleksi Gnabmab Aznom)

28 Oktober 2024


BandungBergerak.idMencuci pakaian atau benda-benda rumah tangga berbahan tekstil adalah kegiatan yang sudah menjadi hal rutin dilakukan setiap keluarga atau sebagian besar individu. Rasanya setiap orang pernah melakukan kegiatan mencuci. Pada saat ini kegiatan mencuci menjadi jauh lebih mudah. Pesatnya perkembangan teknologi menghasilkan satu alat yang diberi nama mesin cuci. Dengan alat ini kegiatan mencuci tidak lagi memerlukan banyak waktu dan tenaga, sehingga kita bisa mengerjakan lebih banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan dan selesai dalam waktu yang lebih singkat.

Lalu bagaimana sih kegiatan mencuci para dobi di masa lalu?

Dobi, Jasa Cuci Pakaian Tradisional

Kegiatan mencuci pada masa lalu memerlukan tenaga lebih besar, membutuhkan air yang lebih banyak, dan tentu saja waktu yang lebih panjang. Hal ini karena proses dalam mencuci itu melalui berbagai tahap. 

Dulu, saat masih kanak-kanak, saya sering mengamati diam-diam saat Abah Ilim dan Ma Abah sedang melakukan aktivitas sebagai penyedia jasa mencuci. Saya sesekali duduk di atas jojodog (bangku kecil) di depan abah atau di bangku di sisi tempat setrika.

Menyabuni 

Biasanya Abah akan menyabuni dulu cucian-cuciannya di rumah, cucian dibasahi, lalu disabuni di dalam tahang kayu yang cukup besar, sebentar saja. Lalu Abah mengucek cucian satu per satu. Noda sekecil apa pun tak akan luput dari jelajah matanya. Cucian putih dan berwarna tidak direndam dalam satu wadah, untuk menghindari resiko terkena bahan yang luntur warnanya. Jadi cucian berwarna putih direndam dalam wadah tersendiri, atau dilakukan proses mencuci bahan-bahan berwarna putih terlebih dahulu sebelum bahan-bahan berwarna lainnya.

Mengelantang 

Cucian yang sudah selesai dikucek, ditampung dalam tahang yang lain. Dan jika ada noda atau kotoran membandel Abah akan melanjutkan pada proses ngalantang atau mengelantang, yaitu menjemur cucian itu di bawah terik matahari, setelah cucian disabuni agar kotoran atau noda itu hilang. Abah dan Ma Abah biasa mengelantang seprai-seprai dengan menggelarnya di atas rerumputan dan perdu yang tumbuh subur di tegalan. Lalu sesekali seprai itu diperciki air, setelah pengelantangan selesai, cucian kembali dicuci seperti semula.

Sabun Batangan

Sebelum ada deterjen sabun yang digunakan adalah sabun batangan. Sabun ini digunakan dengan cara menggosokkan pada cucian yang sudah dibasahi lalu mengucek cucian sampai bersih. Sabun batangan yang saya ingat dulu salah satunya sabun cap tangan. Sabun ini sangat ampuh untuk menghilangkan noda.

Bulao

Satu benda yang masih mampu saya ingat karena bentuk dan warnanya adalah bulao. Berbentuk kubus dengan sisi sekitar 2 centimeter panjangnya dan berwarna biru muda, adalah salah satu bahan yang digunakan untuk mencuci baju-baju berwarna putih agar tetap cemerlang. Selain itu bulao atau blau ini digunakan juga untuk mencerahkan pakaian-pakaian berwarna putih yang sudah agak menguning. Walaupun tetap saja jangan penah berharap untuk mendapatkan kembali warna putih cerah seperti baru. Tak akan bisa.

Menganji  

Menganji adalah proses merendam sejenak cucian dalam air yang mengandung larutan kanji, agar cucian rapi lebih lama. Dulu, dalam pengamatan mata kecil saya, Abah juga melakukan proses menganji ini. Cucian-cucian yang dikanji biasanya berupa seprai. Proses penganjian ini bermanfaat agar seprai tidak mudah kusut dan ketika proses penyetrikaan menjadi lebih cepat rapi.

Cara pembuatan larutan kanji adalah dengan mencampur tepung kanji dengan air panas, lalu aduk sampai mengental dan warna tepung berubah bening mengkilat, lalu masukkan ke dalam ember yang berisi air, diaduk dan bisa dipakai merendam dalam waktu yang sebentar saja. Rendam cucian di dalamnya lalu bilas dan jemur sampai kering.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #6: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (3)
MULUNG TANJUNG #7: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (4)
MULUNG TANJUNG #8: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (5)

Membilas 

Saya ingat, Abah akan membawa cucian yang selesai disabuni, dikelantang, dan dikanji itu ke Ciguriang. Cucian itu ditata di atas sundung atau pikulan kayu. Tak lupa dibawa juga tahang dengan dikaitkan pada ujung sundung. Di Ciguriang abah membilas cucian itu sambil sesekali membantingnya pada alas batu penggilasan. Suara cucian dibanting, atau kata Abah digebot, menimbulkan bunyi-bunyi berirama khas, berpadu dengan suara air yang menggelontor deras dari pancuran. Mencuci dan mengucek cucian dalam air beberapa kali sampai tidak tersisa lagi sabun pada cucian tersebut. Setelah bersih dari air sabun, baru cucian dijemur di bawah terik matahari. 

Kembali dalam ingatan saya, ketika Abah dan Ma Abah sibuk membilas dan menggebot cucian, saya pun sibuk menangkap impun yang bergerak lincah di air yang menggenang di bawah pancuran. Tempat mencuci dan membilas di Ciguriang berupa bilik kotak yang dibuat agak dalam, sehingga air yang keluar dari pancuran secara terus menerus itu tergenang. Jika kita mencuci atau membilas di sana, maka kaki kita akan terendam sedalam mata kaki sampai setengah betis anak balita. Seru sekali...! walaupun tak jarang yang kami tangkap itu bukan impun tapi berudu.

Menyetrika

Setelah cucian kering, proses selanjutnya adalah menyetrika. Ma Abah membakar arang di dalam rongga setrika yang besar. Jika kawan-kawan membayangkan setrika ayam jago, itu tidak tepat, karena setrika arang yang digunakan Abah adalah setrika yang besar, berat pada saat sudah terisi arang yang membara mungkin sekitar 3-4 kilogram.

Abah membuat tempat menyetrika di depan rumah. Hampir serupa dipan setimggi pinggul orang dewasa, setengahnya memanjang dialasi ijuk dan kain-kain bekas selimut sampai tebal – saya sering iseng mecabuti ijuknya – lalu ditutupkain yang lebih tipis sebagai alas setrika. Setengah bagiannya lagi digunakan untuk menyimpan pakaian atau seprai yang belum disetrika, dan yang sudah sesesai disetrika. Sesekali seprai yang baru disetrika  setengah jalan dibatek, ditarik kuat ke arah yang berlawanan dengan sedikit dihentak, oleh dua orang. Mungkin supaya seprei menjadi lebih rapih lipatannya.

Jika setrika terlalu panas, utuk meredamnya dengan menambah arang dan menggosokkan setrika pada daun pisang kering (kararas) yang sudah diikat. Saya masih menyukai wangi daun pisang yang terkena panas setrika. Sampai saat ini.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//