• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #10: Ciguriang Kampung Dobi dalam Ingatan (7)

MULUNG TANJUNG #10: Ciguriang Kampung Dobi dalam Ingatan (7)

Aki Omo seorang dobi senior di Kampung Dobi, Ciguriang, Bandung. Setiap pagi datang ke rumah kami untuk membaca koran Pikiran Rakyat. Usianya 80 tahun.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Cara membukus pakaian yang sudah dicuci di Kampung Dobi, Ciguriang, Kota Bandung, 2024. Praktik dobi lazim dilakukan di era 50an di Bandung. (Foto: Ernawati Sutarna/BandungBergerak)

4 November 2024


BandungBergerak.id - Mencuci pakaian dan benda-benda rumah tangga yang terbuat dari tekstil seperti seprai, selimut, sarung bantal guling, hingga tirai, dan gorden, adalah pekerjaan jasa yang dilakukan para dobi. Pekerjaan ini dibutuhkan untuk meringankan pekerjaan rumah tangga masyarakat pada masa itu. Selain rumah tangga yang banyak menggunakan jasa dobi pada masa kolonial adalah hotel dan penginapan.

“Seneng kalau nerima cucian, sprei yang baru disetrika waktu itu, soalnya wangi. Wangi arang,” kenang Ratih, salah satu pelanggan Abah Ilim sekitar tahun 80-an. “Mamah kan langganan nyuci,” lanjutnya lagi.

Ratih yang masa kecilnya dihabiskan di Jalan Haji Iskat, sekitar Ciguriang memang seseorang yang turut terpantik kembali kenangan masa kanak-kanaknya, ketika saya mencoba untuk berkisah tentang Kampung Dobi ini.

Setrika yang digunakan waktu itu adalah setrika arang, wangi khas arang dan wangi khas daun pisang yang sering digunakan untuk melicinkan kembali permukaan setrika saat lengket jika terlalu panas memang sangat memorable. Banyak orang masih mengingat wangi-wangi khas itu walaupun kenyataannya setrika arang sudah lama tergeser posisinya oleh setrika listrik.

Ketika pakaian atau barang-barang lain itu sudah tercuci bersih dan disetrika rapi, Abah akan segera meminta Ma Abah untuk mengantarkan cucian itu, terutama jika tempat tinggal pelanggan tidak jauh dari tempat tinggal kami. Saya pun sering mendapat tugas mengantarkan cucian itu pada pelanggan yang masih terhitung tetangga kami, ke rumah Teh Ratih, misalnya.

Seprai atau pakaian yang masih hangat setelah disetrika itu dibungkus dengan kain segi empat. Pakaian atau cucian itu dilipat segi empat lalu ditaruh di tengah-tengah kain segi empat dengan posisi diagonal, lalu ujung kain segi empat yang berhadapan ditaruh dengan rapi di tengah, di atas cucian yang akan dibungkus, untuk menutup rapi cucian yang telah disetrika itu, lalu dua ujung lainnya disimpulkan di atas simpul untuk mengunci bungkusan. Jika kawan-kawan tahu seni membungkus barang dari Jepang yang disebut dengan furoshiki, maka cara abah membungkus barang-barang yang sudah rapi disetrika itu bisa disebut seperti furoshiki.

Saya kurang tahu mengapa Bah Ilim menggunakan teknik membungkus seperti itu, dan dari mana beliau mengetahui teknik itu. Untuk menjaga pakaian atau barang lain yang sudah disetrika itu tetap rapi, membawanya pun harus disimpan di atas lengan seperti membawa bendera saat upacara, atau ditanggeuy menurut bahasa Sunda. Lalu apakah saya suka iseng meniru cara berjalan pembawa bendera saat mengantar cucian itu? Ooh... tentu saja.

Ambu, ibu saya pernah bercerita bahwa pelanggan jasa dobi Bah Ilim tersebar di sekitar Kebon Kawung, Cicendo, Pamoyanan, Haji Akbar, hingga Tegallega. Untuk pelanggan yang jauh seperti ke Tegallega dan Pamoyanan, Abah Ilim mengantar cucian yang sudah bersih, rapi, dan wangi itu dengan mengayuh sepeda onthel, kadang-kadang putra Abah yang paling besar, Wa Maman, begitu saya memanggilnya, menggantikan tugas Abah mengantar cucian-cucian itu.

Sering pula Ma Abah yang mengantar cucian-cucian itu, tak jarang ambu saya dan kakaknya ikut jika Ma Abah yang mengantar cucian yang telah rapi itu. Tiga orang perempuan itu berjalan kaki beriringan dari Kebon Kawung ke Tegallega. Saat itu di Tegallega masih ada arena pacuan kuda, Ambu saya masih berumur sekitar tujuh tahun, berarti itu terjadi tahun 1957. Jika mengikuti ibu mereka mengantar cucian ke pelanggan, ambu dan kakaknya anteng melihat-lihat arena pacuan kuda. Jika mereka mengantar cucian itu di hari Minggu, mereka bisa sambil menonton pacuan kuda dari balik pagar kawat yang ada di sekitar arena pacuan kuda. 

Pada masa kolonial Tegallega memang menjadi arena pacuan kuda, yang diberi nama Preanger Wedloop Societeit. Waktu itu lapangan Tegallega bernama Tegallega Raceterrein, para peserta pacuan kuda yang sebagian besarnya adalah para pengusaha perkebunan berdatangan dari berbagai daerah di Priangan (Her Suganda).

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #7: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (4)
MULUNG TANJUNG #8: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (5)
MULUNG TANJUNG #9: CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN (6) 

Ilustrasi. Mencuci pakaian di masa lalu dikerjakan dengan cara tradisional. (Foto: Koleksi Gnabmab Aznom)
Ilustrasi. Mencuci pakaian di masa lalu dikerjakan dengan cara tradisional. (Foto: Koleksi Gnabmab Aznom)
Aki Omo dan Surat Kabar 

Hal lain yang menyenangkan setiap Abah selesai menyetrika adalah berbaring di alas setrika yang baru saja digunakan. Rasa nyaman yang disebabkan hangat sisa gosokan setrika, dan  wangi bara arang serta daun pisang yang terkena panas menjadi aroma terapi tersendiri. Dan jika sundung tidak sedang digunakan, saya suka bermain sasaungan, dengan menggunakan handuk atau samping. Selain itu, tahang pun tak luput menjadi sarana bermain kami, karena tubuh kecil kami masih muat meringkuk di dalamnya. Dan, kakek kami itu tak pernah marah jika kami bermain-main dengan peralatan kerjanya. 

Satu hal yang sering membuat Abah Ilim menegur kami adalah jika kami bermain-main di sekitar mata air Ciguriang. Apalagi jika anak-anak bermain di sekitar mata air di waktu tengah hari atau menjelang maghrib. Selain abah Ilim, yang suka mengingatkan anak-anak untuk tidak bermain di sekitar mata air adalah Aki Omo, beliau juga seorang dobi yang lebih senior dari Abah, dan mereka bersahabat dekat. Para sepuh inilah yang menjadi “pengawal” yang menjaga mata air saat itu.  

Satu hal yang membekas dalam ingatan saya tentang Aki Omo, hampir setiap hari Aki Omo selalu berkunjung ke rumah, bertemu Abah, ngobrol, ngopi, dan merokok bersama. Dan ada yang selalu ditanyakannya pada kami, surat kabar hari itu. Pada masa itu kami berlangganan surat kabar Pikiran Rakyat, jadi setiap pagi surat kabar itu akan tiba di rumah kami. Surat kabar selalu menjadi rebutan setiap pagi, kecuali jika kami bersekolah pagi. 

Di hari Minggu, saya selalu berusaha membaca Pikiran Rakyat lebih dulu sebelum Aki Omo datang, karena jika Aki Omo sudah memegang surat kabar itu, dipastikan kami akan menunggu dalam waktu lama, dan kami tidak akan pernah berani mengganggu beliau jika beliau sedang membaca. Aki Omo selalu membaca semua berita dan artikel yang ada dalam surat kabar itu tanpa terlewat. Saking hobinya membaca, beliau sering kali meminta buku bacaan lain saat selesai membaca surat kabar. Dan yang mengagumkan, saat saya masih kecil itu usia Aki Omo sekitar 80 tahunan, tapi beliau tidak pernah menggunakan kacamata sampai akhir hayatnya. Buat saya, beliau adalah salah satu sosok inspiratif dalam perjalanan hidup saya. 

 

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//