RESENSI BUKU: Mengenal Jurnaslime Sastrawi dan Mengapa itu Penting
Buku Jurnalisme Sastrawi berisi kumpulan tulisan Agus Sopian dkk. yang terbit di majalah Pantau. Menyajikan contoh penulisan karya jurnalistik dengan model sastra.
Penulis Yopi Muharam24 November 2024
BandungBergerak.id – Sudah dua dekade lebih majalah Pantau hilang di pasaran. Pantau yang dikenal dengan konsep jurnalisme sastrawi hanya mampu bertahan empat tahun saja, dari 1999-2003. Tulisannya berceceran di mana-mana. Mafhum Andreas Harsono salah satu pendiri Pantau mengakui bahwa dalam melakukan reportase berbentuk sastra ini tidak semua media mampu untuk mengimplementasikannya. Bahkan butuh dana yang cukup besar untuk mengakomodir para wartawannya.
Mungkin kurangnya dana itu juga menjadi sebab majalah ini tutup. Pantau sendiri memang tidak terpatok pada seberapa cepat penayangan berita. Tapi isunya lebih ke timeleses. Mungkin juga, pada saat itu Pantau kalah di pasaran untuk bersaing dengan terbitan yang sudah lama, macam Tempo, Kompas, Detik, Jawa Pos, dan sebagainya. Atau mungkin kurangnya minat pasar di Indonesia dengan jenis genre ini? Banyak kemungkinan mengapa media berkonsep sastrawi ini lenyap di pasaran.
Mereka yang ingin melakukan penulisan jurnalistik dengan model sastra ini harus memiliki keahlian khusus. Selain teknik menulis, kecakapan dalam mencari sumber, data, narasumber pun harus jeli, mendalam, dan memikat. Bisa dikatakan jurnalisme sastrawi ini indepth-nya-indepth atau laporan mendalam yang lebih dalam.
Waktu proses pengerjaannya pun memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Verifikasi silang acap digunakan di jurnalisme sastrawi ini. Dalam pengerjaannya pun tidak melulu isu yang menyangkut orang penting saja. Konsep ini menekankan pendalaman dan memikat.
Tidak hanya itu, konsep ini lebih menekankan pada ke dalaman penulis dalam menggali informasi. Isunya bisa bermacam-macam. Orang kecil yang tak dikenal sekalipun sangat bisa diangkat dalam laporan jurnalistik mendalam.
Beruntungnya, beberapa tulisan yang pernah naik di majalah Pantau, telah dibukukan oleh Andreas. Buku ini berjudul “Jurnalisme Sastrawi”. Judul yang sesuai dengan konsep dalam jurnalisme. Ada delapan penulis dengan laporan ciamik di buku ini. Termasuk Andreas sendiri menulis resensi salah satu majalah terkemuka di Amerika Serikat, The New Yorker.
Bagi saya yang baru terjun di ranah jurnalistik, saat mahasiswa sering ditekankan oleh para senior untuk berkenalan dengan jurnalisme sastrawi. Tapi sayangnya, buku ini sangat jarang ditemui di pasaran. Jikalau ada, saya harus mencari sampai ke seluk-beluk kolektor atau bahkan wartawan senior yang bersedia meminjamkan buku langka ini ke saya yang notabene pers mahasiswa.
Alangkah beruntungnya saya, bisa berkenalan dengan orang-orang di Bandung Bergerak. Pemimpin Redaksi BB Tri Joko Her Riadi, sangat banyak mengoleksi buku-buku tentang jurnalisme. Salah satunya buku ini. Jika di hitung, koleksi buku Joko bisa mencapai 2 ribuan lebih buku bertema jurnalisme. Di sanalah saya dapat membaca pertama kali buku Jurnalisme Sastrawi ini. Saya membacanya dengan telaten dan berlarut. Sayang bagi saya jika terburu-buru membaca laporan semahal ini.
Tak lupa juga saya haturkan terima kasih kepada Reza, kerabat saya di Bandung Bergerak yang telah meminjami buku ini selama satu bulan lebih lamanya untuk saya belajar tentang jurnalisme sastrawi.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Mengembalikan Otonomi Guru RESENSI BUKU: Memahami Perempuan dalam “Perempuan Jika Itulah Namamu”, Sebuah Buku Karya Maman Suherman
Berkenalan dengan Jurnalisme Sastrawi
Dalam laporan jurnalisme jenis sastra ini memiliki perbedaan yang kontras dengan jurnalisme pada umumnya. Jika pada laporan jurnalisme biasa, penulis bisa menulis 1.000-2.000 karakter, lain halnya dengan jurnalisme sastrawi yang bisa mencapai 15.000 karakter bahkan lebih. Gaya penulisannya sama seperti novel, namun disuguhkan fakta, data, dan pastinya memikat.
Tom Wolfe wartawan-cum-novelis, pada tahun 60-an memperkenalkan genre ini dengan sebutan new journalism (jurnalisme baru) –di Indoneisa dikenal dengan Jurnalisme Sastrawi. Pada 1973, Wolfe dan E.W Johnson menerbitkan antologi bertajuk The New Journalism. Dalam buku itu, mereka memasukkan tulisan-tulisan wartawan Amerika terkemuka, seperti Hunter S. Thampson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, bahkan Wolfe sendiri.
Wolfe dan Johnson menjadi editornya. Dalam kata pengantar mereka menulis tentang gaya menulis jurnalisme baru ini. Mereka mengatakan bahwa jurnalisme jenis baru ini berbeda dengan reportase sehari-hari. Dalam gaya penulisan jurnalisme sastrawi ini penulis bertutur adegan demi adegan (scene by scene), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), bahkan penuh dengan detail.
Sebetulnya tidak ada yang aneh atau beda dengan laporan berita biasa. Indepth reporting misalnya yang menekankan pada ke dalaman sebuah isu. Mungkin yang berbeda dengan konsepnya ialah dari penyajiannya, di mana jurnalisme sastrawi menggali lebih dalam dari si karakter atau si empunya isu.
Dalam jurnalisme, kita mengenal sebuah pedoman standar 5W+1H atau who, what, where, when, whay, dan how dalam menulis berita. Dalam jurnalisme sasatrawi konsep itu dikembangkan oleh Roy Peter Clark, seorang guru sekaligus penulis dari Poynter Institute Florida. Roy menulis dalam esai berjudul Nieman Reports, bahwa who berubah menjadi karakter, what menjadi plot atau alur, when menjadi setting, when menjadi kronologis, why menjadi motif, dan how menjadi narasi.
Akan tetapi perlu ditekankan, bahwa reportase ini bukan ditekankan pada narasi yang ditulis puitis. Andreas menulis dalam kata pengantar bahwa narasi boleh puitis, tapi tidak semua prosa yang puitis adalah narasi. Kebanyakan dari buku yang ditulis oleh delapan wartawan ini bentuknya seperti laporan surat kabar. Namun isinya mendalam dan memikat. Sekali lagi mendalam dan memikat. Itulah kunci yang membuat betah pembaca dan yang membuat beda pada laporan jurnalistik lainnya.
Apa yang Mereka Tulis?
Di halaman pertama setelah pengantar, kita akan dibawa ke sebuah peristiwa besar yang menimpa rakyat Aceh. Peristiwa tersebut dibukukan dengan perspektif sejumlah wartawan RCTI dan Antara berjudul “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” yang ditulis oleh wartawan perempuan asal Aceh, Chik Rini.
Keunikan yang pertama saya temui adalah, Rini menulis peristiwa tersebut dari kaca mata wartawan yang meliput konflik di Aceh saat Operasi Militer menimpa Serambi Mekah tersebut. Masifnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasca tumbangnya Soeharto mengundang militer Indonesia untuk menghalau referendum dari GAM untuk memisahkan diri dari Indonesia. Ditambah saat itu, B. J. Habibie mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) dari Aceh.
Hal yang jarang terpotret adalah latar belakang dari peristiwa Simpang Kraft atau lekat dikenal dengan peristiwa Simpang KAA yang terjadi pada 3 Mei 1999. Hal yang tak terduga jika ditelisik lebih dalam peristiwa tersebut bisa dikatakan adanya sebuah kesalahpahaman antara militer Indonesia dan rakyat Aceh. Banyaknya desas-desus yang beredar membuat was-was warga Aceh. Mereka yang tersulut langsung bersiap bak menyalakan genderang perang. Rakyat Aceh segera berkumpul di persimpangan KAA itu.
Rini sebagai wartawan Aceh pasti merasakan betul saat peristiwa tersebut. Hal itulah yang membuat tulisannya begitu sangat kuat dan memikat. Dari plot, konflik, karakter, hingga narasi disatupadukan menjadi laporan yang kuat. Alurnya sangat apik, bahkan Rini membuka paragraf tulisan ini lewat sebuah terminal, begini isi tulisannya:
“Sebuah bus memasuki terminal Lhokseumawe pada suatu pagi buta sekitar tiga tahun lalu. terminal masih sibuk. Warung kopi dan rumah makan masih buka. Agen tiket bus masih melayani belasan penumpang yang hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan becak mesin juga masih terparkir di depan terminal. Pengemudinya menunggu penumpang,”.
Laporan tersebut dituangkan dalam 45 halaman. Bukan tulisan biasa yang sering dituangkan dalam reportase digital macam sekarang ini. Namun isi tulisannya sangat kuat dan jarang sekali ditemui. Laporan ini dimuat di majalah Pantau pada Mei 2002.
Selanjutnya, ada Agus Sopian yang menulis tentang peristiwa bom Atrium Plaza, Jakarta pada tahun 2001 silam. Agus tuangkan laporannya dengan judul Taufik bin Abdul Halim. Agus menjadikan palaku bom mal legendaris itu sebagai karakter utama dalam laporannya.
Taufik bin Abdul Halim merupakan nama dari pelaku bom Natal dan Atrium. Warga Malaysia yang merupakan anggota Kelompok Mujahidin Malaysia (KMM) ini berinisial Dany dalam KTP-nya. Saat melancarkan aksinya di Atrium, kakinya putus. Dia dipenjara di Salemba. Butuh waktu bagi Agus dan kru liput lainnya dalam melakukan reportase ini.
Tulisannya ini dituangkan dalam 33 halaman dan diterbitkan pada Januari 2004. Satu tahun setelah majalah Pantau resmi menarik diri dari pasaran. Reportase ini ditulis oleh Taufik Andrie dan Agus Sopian sepanjang November 2002-November 2003.
“Jalan itu lurus. Berangkal batu, pecahan batu, kristal semen, melapisi permukaanya. Bias cahaya meriah dari papan reklame dan logo pertokoan memberinya siluet,” tulis Linda Christitanty dalam laporannya berjudul “Hikayat Kebo”. Tulisannya ini menjadi salah satu contoh, bahwa orang kecil pun dapat menjadi sebuah reportase.
Kebo merupakan korban pengeroyokan yang dilakukan oleh sejawatnya, pemulung. Kebo sering membuat onar. Alasan tersebutlah yang membuat Kebo dikeroyok hingga tewas oleh para sejawatnya itu. Terakhir, Kebo berulah dengan membakar rumah bedengnya yang membuat api merambat ke rumah tetangganya.
Tulisan tentang seorang orang miskin yang hidup di tengah kota metropolitan ini menjadi tokoh utama. Linda melakukan reportasenya ini dengan kilas balik. Dia mulai dari tragedi terlebih dahulu. Lalu nyambung ke ketua RW yang juga menjabat sebagai wakil rakyat, di mana jasad Kebo ditemukan tak bernyawa di daerahnya itu. Lalu Linda mewawancarai istri Kebo, Muah yang tinggal di pedalaman desa di daerah Jawa Tengah.
Laporan ini sangat detail. Linda menulis dengan apik laporan dengan menuangkan saksi mata, tetangganya Kebo semasa dia hidup. Bahkan Linda harus mendatangi istri pembuat Onar tersebut ke pelosok desa, demi melengkapi laporannya. Alhasil laporannya sangat dalam. Pembaca disuguhkan dengan perilaku seorang pemulung yang sering membuat onar. Bahkan hal yang sangat kontras, Linda mampu menuangkan cerita lain. Ada cinta juga di laporan ini. Jika tak percaya, silakan baca. Tulisan sepanjang 20 halaman ini diterbitkan pada September 2001.
Berikutnya, ada Coen Husain Pontoh, seorang penulis dan editor yang menulis dalam laporannya tentang sebuah permasalahan internal di media besar bernama Tempo. Laporan tersebut Coen tulis berjudul ‘Konflik Nan Tak Kunjung Padam’. Hal yang membuat dirinya mendorong menulis tentang Tempo lantaran kecakapan dirinya yang berlangganan majalah kawakan tersebut dari semasa kuliah.
Coen mewawancarai langsung sejumlah pendiri dan petinggi Tempo, macam Goenawan Mohamad, Djalinus, dkk. Bahkan belasan mantan wartawan Tempo dan wartawan media lain seperti Kompas, Djaja, Ekspres dan lainnya. Dalam laporannya dia banyak sekali mengutip kutipan narasumbernya. Mungkin Coen mencari aman ketimbang memparafrase kutipan yang sangat penting.
Namun laporannya itu sangat detail. Mulai dari pendirian, perseteruan, pembredelan, jatuh-bangun Tempo, hingga eksodus wartawannya. Tulisannya itu dimuat dalam 53 halaman dan terbit pada Agustus 2001. Tulisannya ini menuai tanggapan serta reaksi dari banyak pihak, terutama dari Tempo sendiri.
Selanjutnya ada Alfian Hamzah yang menulis tentang kehidupan serdadu di Aceh. Bila Chik Rini melihat dari kacamata wartawan dan warga. Alfian melihat dari kacamata tentara. Laporannya itu diberi nama “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan”. Alfian meliput laporan ini lebih dari dua bulan. Untuk sementara dirinya menjadi wartawan perang di Aceh.
Uniknya Alfian menulis dalam laporannya sangat detail. Seperti kehidupan yang serba mepet dengan kecukupan pangan serdadu di medan pertempuran. Para serdadu, terutama tamtama sangat mendambakan makanan lezat nan mewah. Namun semua itu urung sebab makanan sehari-harinya, ya, itu-itu aja. Para tentara harus patungan setiap hari bulannya untuk bekal mereka makan.
Ada yang bagian yang paling menegangkan. Ketika Alfian harus terjun ke rawa-rawa. Tidur bersama lintah dan nyamuk raksasa yang kapan saja siap menyedot darah Alfian. Dirinya bergabung ke tim khusus yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang untuk menyergap para pasukan GAM. Laporan itu terbit pada Februari 2003 dengan jumlah halaman sebanyak 68. Alfian juga menceritakan sedikitnya dari sisi warga. Saat itu banyak warga ketakutan ketika melihat orang dengan baju loreng.
Berikutnya ada Eriyanto dengan laporan berjudul “Koran, Bisnis, dan Perang”. Eriyanto mengulik media anak usaha Jawa Pos di Maluku seperti Ambon Express dan Suara Maluku. Konon dua berita itu turut menjadi penyulut api konflik agama di Ambon pada tahun akhir 90-an.
Eriyanto mengulik dari dua sisi. Suara Maluku dicap sebagai media Nasrani. Sedangkan Ambon Express di sisi Islam. Dalam laporannya, Eriyanto memberikan dua sudut contoh pemberitaan itu. Dia juga mengulik bagaimana ekspansi bisnis media bermain di sana. Laporan ini terbit pada September 2002 dengan tebal 32 halaman.
Berikutnya, Budi Setiyono yang menulis tentang kehidupan Koes Plus. Laporannya itu diberi nama “Ngak-Ngik-Ngok”. Budi mewawancarai keluarga Koeswojo yang tersisa seperti Yok dan Djon. Dalam tulisannya Budi menceritakan bagaimana pembungkaman yang terjadi pada era Orde Lama. Saat Soekarno masih menjadi pemimpin nomor satu di Indonesia.
Saking antinya Sukarno pada barat yang berbau kolonial, musik pop macam Koes Plus menjadi incaran rezim. Mereka dipenjara lantaran membawakan lagu The Beatles, sebuah grup band dari Inggris. Mereka ditahan oleh kejaksaan empat tahun lamanya. Hingga dibebaskan pada tanggal 30 September 1965. Tepat di malam mencekam yang akan mengubah wajah Indonesia. Laporannya ini dimuat di Pantau pada Oktober 2001 dengan 32 halaman.
Terakhir ada Andreas Harsono yang menulis resensi sebuah majalah bernama The Newyorker. Resensinya itu berjudul “Cermin Jakarta, Cermin New York”. Belum pernah saya membaca resensi macam ini. Tulisannya sangat panjang, utuh, dan nyaman dibaca.
Laporannya ini terbit pada Maret 2001 dengan jumlah halaman sebanyak 23. Andrean menjadi satu-satunya penulis di buku ini yang isi tulisannya meresensi sebuah majalah. Tulisannya menguak pendirian majalah terbesar di Amerika itu yang didirikan oleh Harold W. Ross. Seorang veteran perang Amerika saat perang dunia pertama. Majalahnya ini pulalah yang membawa Andreas belajar lebih dalam tentang jurnalisme sastrawi di Amerika, saat dirinya menerima Nieman Fellowship on Jurnalism di Universitas Harvard.
Saking cintanya Andreas pada laporan yang dituangkan di The Newyorker, sepulangnya dari Amerika, dia langsung menulis laporan berbentuk resensi ini untuk majalah Pantau.
Informasi Buku
Judul buku: Jurnalisme Sastrawi
Penulis: Agus Sopian, Alfian, dkk
Penerbit: Yayasan Pantau
Cetakan: pertama, Oktober 2005
Jumlah halaman: 352
ISBN: 979-97945-1-X
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Resensi Buku