BANDUNG HARI INI: Banjir Sungai Cikapundung dan Perlawanan Rakyat di Awal Revolusi 1945
Bencana mengerikan menimpa warga sekitar Sungai Cikapundung daerah Lengkong dan sekitarnya. Di saat banjir, mereka ditembaki Sekutu-NICA.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah25 November 2024
BandungBergerak.id - Hari ini, bertepatan dengan 25 November 1945, banjir besar luapan Sungai Cikapundung menerjang perkampungan di Lengkong Besar, Sasakgantung, Kebonjati, Bandung. Beberapa jalan-jalan berubah menjadi sungai. Bencana alam ini berlangsung di saat republik dalam pusaran revolusi, ketika para pejuang terlibat konflik bersenjata dengan Sekutu dan NICA.
Tujuh puluh delapan tahun kemudian, tepatnya 11 Januari 2024, Sungai Cikapundung juga meluap. Sedikitnya 250 kepala keluarga atau 1.000 jiwa warga Kampung Braga terpaksa mengungsi ke beberapa toko dan gedung di kawasan Jalan Braga.
Kembali ke zaman revolusi, banjir tidak hanya berdampak pada hunian warga. Amukan Sungai Cikapundung ini berpengaruh terhadap peningkatan konflik antara tentara Sekutu Inggris-Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dan para pejuang. Ratnayu Sitaresmi dkk dalam Saya Pilih Mengungsi Pengorbanan Rakyat Bandung Untuk Kedaulatan (2013) menjelaskan, ketika banjir belum membesar penduduk kampung telah membunyikan kentongan sebagai peringatan dini.
Nahas, bunyi kentongan yang bersahutan itu malah dianggap sebagai tanda serangan oleh pihak Sekutu Inggris dan NICA. Di saat rumah-rumah penduduk banyak yang tersapu oleh deras banjir, tentara Gurkha dari pihak Sekutu Inggris justru menyerang para pejuang dan penduduk secara brutal. Banyak korban berjatuhan karena tembakan pihak NICA dan tentara Gurkha, tak sedikit bumiputra yang terbawa hanyut banjir.
Beberapa warga mengungsi ke daerah yang aman, bahkan ada yang sampai menyelematkan diri ke luar kota Bandung. Seusai banjir, mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Karman Somawidjaja yang saat itu menjadi Palang Merah menceritakan bagaimana ia ikut mengevakuasi korban-korban banjir dan serangan Inggris sebagaimana dijelaskan oleh Ratna Sitaresmi.
Mayat-mayat tergeletak di Jalan Babakan Ciamis, Lengkong, Sasakgantung kemudian dibawa ke klinik Pasundan di sekitar Jalan Pungkur dan Buahbatu. “Mayat-mayat harus saya kumpulkan. Ada mayat laki-laki, wanita, anak-anak, seolah-olah mereka satu keluarga, tetapi dikubur saja,” tutur Karman, sebagaimana dikutip Ratna Sitaresmi.
Terjadi juga desas-desus bahwa banjir besar ini ulah NICA yang membobol tanggul Sungai Cikapundung di Bandung utara. Isu ini disebarkan oleh pejuang Suhari Sapari bertujuan untuk menimbulkan kebencian rakyat terhadap NICA dan Inggris. “Akibatnya sangat mengerikan, para pejuang melampiaskan kemarahannya secara membabi buta. Banyak sekali orang yang dituduh agen NICA dibunuh, terutama orang Indo-Belanda,” tulis Ratna.
Sabotase yang dilakukan NICA dijelaskan juga oleh Yus Rusady dalam Tiada Berita dari Bandung Timur 1945-1947. Menurutnya, berdasarkan penyelidikan para pemuda Bandung, kaki tangan NICA sengaja membobol tanggul di daerah Parongpong untuk menciptakan banjir di kawasan hilir.
Rusady teringat dengan taktik Waterling Belanda saat Perang Dunia II ketika menghadapi Jerman. Mereka sengaja menenggelamkan suatu wilayah untuk menghambat gerak maju Jerman.
Rusady yang berafiliasi dengan pejuang Front Bandung Timur menjelaskan, taktik tersebut dilakukan oleh Sekutu untuk memperlemah serangan-serangan para pejuang. “Pembalasan pun dilakukan. Kaki tangan NICA dan orang-orang Indo-Belanda yang kita curigai ditangkap. Daerah-daerah yang diduduki NICA dan sekutu, terus diserbu,” tulis Rusady.
Sementara itu John R.W Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946 (2011) mengatakan, banjir itu menghancurkan sekitar 500 rumah dan 200 jiwa lebih menjadi korban. Para pejuang sibuk melakukan aktivitas penyelamatan.
[baca_juga]
Sekutu-NICA ke Bandung
Kedatangan tentara Inggris bersama NICA terjadi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tentara Sekutu Inggris mengemban misi memulangkan tentara Jepang dan membebaskan warga Eropa yang menjadi tawanan. Dwi Erianto, dalam Sejarah Peristiwa Bandung Lautan Api yang tayang di Kompaspedia menuturkan, pasukan Sekutu masuk ke daerah-daerah termasuk ke Bandung.
Saat itu tentara Sekutu yang memotori pasukan Inggris di Bandung berasal dari Divisi India ke-23 bagian dari Brigade MacDonald. Pertama kali mereka tiba di Bandung pada 12 Oktober 1945 untuk membeaskan dan memulangkan tawanan perang Allie Prisoners of War and Interness atau APWI.
Para tawanan terdiri dari militer Belanda yang dipenjarakan oleh Jepang dan interniran yang berada di kamp-kamp di Jawa Barat. Di Bandung terdapat 13 kamp yang menampung APWI. Pada awalnya Sekutu meminta bantuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk menjalankan misi. Pada 15 Oktober 1945 mereka meminta TKR agar melucuti penduduk yang memiliki senjata.
TKR juga meminta agar tentara Sekutu bisa membantu pejuang dan Republik Indonesia untuk mencegah provokasi dari pigak Belanda yang mau menjajah kembali. Menurut Dwi, pada perkembangannya tentara Sekutu berpihak pada Belanda. Pada 25 Oktober 1945, Sekutu meminta agar pemuda dan pejuang mengumpulkan senjata pasukan Jepang.
“Permintaan sekutu itu tidak direspons oleh pemuda dan pejuang. Ditambah lagi, orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang menganggu keamanan,” tulis Dwi, diakses, 24 November 2024.
Bentrokan antara pejuang pemuda dengan Sekutu mengakibatkan Komandan Divisi III Kolonel AH Nasution mengadakan pertemuan di Markas Majelis Perjuangan dan Pertahanan (MDPP), 23 November 1945. Nasution memutuskan untuk menghadapi Inggris dengan kekuatan senjata.
Serangan pejuang Indonesia dilakukan pada 24 November 1945 dan diarahkan ke tempat Sekutu, antara lain di Lapangan Terbang Andir, Hotel Preanger, Hotel Savoy Homann, dan Tangsi Jepang di Tegallega. Dwi menyebut, serangan ini dibalas langsung oleh Inggris ke daerah yang dianggap basis TKR dengan tembakan houwitzer. Ketegangan pun semakin memuncak.
Baca Juga: BANDUNG HARI INI: 4 Peristiwa Kebakaran dalam Sehari
BANDUNG HARI INI: 138 Tahun Stasiun Bandung
Ultimatum
Setelah banjir pada 27 November 1945, Brigade MacDonald memberikan ultimatum agar bumiputra di Bandung utara untuk pindah ke selatan dengan tenggat 29 November 1945. Apabila sampai batas waktu masih ada penduduk pribumi di utara, mereka akan ditangkap dan pejuang yang bersenjata akan ditembak mati.
“MacDonald juga menegaskan bahwa markas RAPWI (Recovery Allied Prisoners of Wars and Interness) dan Jepang tidak boleh didekati dalam jarak 200 meter. Jika dilanggar, akan ditembak,” tulis Ratna Sitaresmi.
Pembagian wilayah Bandung menjadi utara dan selatan oleh MacDonald tujuannya untuk menjaga keamanan, agar tidak ada lagi orang Indonesia yang menyerang Inggris atau NICA. Penduduk Indonesia yang berada di utara tak menghiraukan ultimatum itu. Tentara Inggris kemudian menyerang permukiman penduduk dan pejuang.
“Pada saat yang sama, NICA yang dipelopori orang Indo-Belanda melakukan provokasi dengan menyerang rumah-rumah penduduk, ketika Inggris sibuk melaksanakan tugasnya membebaskan intermiran dan melucuti tentara Jepang, Belanda pun sibuk mempersiapkan strategi untuk melanjutkan penjajahannya di Indonesia,” jelas Ratna.
Ratna juga menuturkan, ketika ribuan pengungsi dari Bandung utara berbondong-bondong ke selatan mereka disambut oleh Laskar Wanita Indonesia (Laswi).
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Bandung Hari Ini