Menelusuri Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, dari Bupati Pilihan Raja sampai Gubernur Pilihan Rakyat
Apakah pemilihan kepala daerah sudah semakin demokratis? Atau cuma ganti bungkus doang, tapi praktiknya masih sama-sama bosok?
Naufal Tri Hutama
Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
27 November 2024
BandungBergerak.id – "Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat," begitulah kata Abraham Lincoln. Tapi di Indonesia, sepertinya kita punya versi sendiri: "Pilkada adalah pesta dari elite, oleh elite, dan untuk elite yang dibungkus dengan kemasan 'untuk rakyat'."
Tanggal 27 November 2024 nanti, kita bakal punya jadwal kunjungan ke bilik suara. Yap, Pilkada serentak! Momen sakral di mana rakyat Indonesia bakal rame-rame memilih pemimpin daerahnya. Di momen pilkada nanti, kita bisa memilih calon pemimpin yang... yah, yang penting sudah lolos verifikasi KPU lah ya.
Maka dari itu, sebelum kita memilih, ada baiknya kita menengok ke belakang untuk memahami bagaimana evolusi pemilihan pemimpin daerah di Indonesia telah membentuk sistem yang kita miliki sekarang. Tapi kali ini, izinkan saya menulis dengan gaya bahasa yang sedikit kolokial.
Baca Juga: Unboxing Pilkada Jawa Barat, Partisipasi Gen Z dan Milenial Menentukan Arah Politik Daerah
TEDxBandung Mengupas Kekuasaan Sipil Menjelang Pilkada Serentak 2024
149.132 Kata untuk Bandung dan Jawa Barat, Membaca Pemetaan Pilkada dari Akun Instagram para Calon Pemimpin Daerah
Zaman Kerajaan hingga Kolonial
Dulu, sebelum Indonesia merdeka, kepala daerah itu dipilih langsung sama raja. Enggak ada yang namanya kampanye atau debat capres. Paling banter ya perlombaan cari muka depan raja buat nentuin siapa yang bakal jadi bupati. Enak kan? Enggak perlu repot-repot bikin tim sukses atau pasang baliho segede harapan rakyat Indonesia yang selalu di kecewakan.
Menurut Moertono dalam bukunya "Negara Dan Kekuasaan Di Jawa Abad XVI-XIX", di zaman kerajaan, jabatan kepala daerah itu turun-temurun. Jadi kalau bapaknya bupati, anaknya juga bakal jadi bupati. Nepotisme? Ah, itu mah istilah modern, dulu malah jadi tradisi.
Pas Belanda dateng, sistem pemilihan kepala daerah berubah. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang nunjuk siapa yang bakal jadi bupati. Kayak main The Sims gitu, tinggal klik-klik milih karakter. Bedanya, The Sims lebih pintar memilihnya daripada kompeni sialan itu.
Dalam paper yang saya baca, Perubahan Kedudukan dan Kekuasaan Bupati di Priangan pada Tahun 1800-1916, katanya kira-kira begini, "Belanda melihat bahwa ikatan feodal (feodale gebondenheid) antara bupati sama rakyatnya sebagai alat penting yang bisa dimanfaatkan buat mendukung eksploitasi kolonial." Wah, licik banget ya ngejajahnya? Ya namanya juga rampok.
Merdeka tapi Masih Dijajah Sistem Lama
Setelah proklamasi 1945, Indonesia mulai berbenah. Tapi untuk urusan kepala daerah, masih pake sistem lama. Presiden yang nunjuk langsung gubernur, terus gubernur yang milih bupati/walikota. Merdeka sih, tapi praktiknya masih pake sistem kuno. Mungkin karena baru merdeka kali ya?
Nah, di tahun 1957 ada undang-undang baru tentang pemerintahan daerah. Katanya sih, kepala daerah bakal dipilih langsung sama DPRD. Wah, udah mulai demokratis nih! Tapi sayang, belum sempat dilaksanain, udah keburu ada Dekrit Presiden 1959. Alhasil, kepala daerah balik lagi ditunjuk dari atas. Berasa main monopoli, baru mau maju eh kena kartu "Kembali ke Start".
Selama 32 tahun Orde Baru, kepala daerah dipilih pake sistem "satu paket" sama DPRD. Tapi sebenernya sih tetap pusat juga yang nentuin. DPRD cuma formalitas doang, persis figuran di sinetron.
Saat itu sedang tren para perwira militer memegang jabatan kepala daerah berlanjut dan makin meluas. Beberapa di antaranya ada yang jadi gubernur hingga 10 tahun, selain jadi wali kota, bupati, atau Ketua DPRD. Enak juga cok jadi tentara di masa itu. Bisa pegang senjata, sambil pegang jabatan.
Dominasi militer makin tampak pada saat pihak militer mengambil alih posisi-posisi strategis yang sebelumnya dipegang masyarakat sipil. Sehingga loyalitas vertikal lebih diutamakan daripada akuntabilitas kepada rakyat.
Benarkah Reformasi jadi Angin Segar?
Setelah Soeharto lengser, Indonesia mulai berbenah. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberi wewenang ke DPRD buat memilih kepala daerah. Ini kemajuan besar lho!
Tapi sebenarnya masih ada kendala. Banyak yang bilang, pemilihan kepala daerah sama DPRD rawan politik uang. Bayangin aja, cuma perlu nyogok beberapa puluh anggota DPRD, udah bisa jadi bupati. Lebih murah daripada kasih serangan fajar ke jutaan pemilih kan?
Merespons berbagai kritik dan banyaknya masalah dengan sistem pemilihan lewat DPRD yang dinilai kurang relevan dengan yang namanya “demokrasi”. Pemerintah dan DPR pun sadar, mereka mulai mikirin cara baru yang lebih demokratis. Melalui diskusi panjang yang makan anggaran dan waktu bertahun-tahun, ketemulah solusinya.
Akhirnya, di tahun 2004, lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini dia momen yang ditunggu-tunggu! Rakyat akhirnya bisa memilih langsung kepala daerahnya. Iya, sekarang rakyat bisa memilih sendiri siapa yang bakal “nipu” mereka selama 5 tahun ke depan.
Prof. Siti Zuhro, seorang pengamat politik, pernah berkata: "Pilkada langsung merupakan koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung di era sebelumnya. Rakyat bisa menentukan sendiri pemimpin daerahnya tanpa perantara." Iya Prof, sekarang rakyat bisa salah pilih sendiri tanpa bantuan orang lain. Kemajuan yang luar biasa!
Pilkada Makin Canggih, Makin Absurd
Sejak 2015, Indonesia mulai ngadain pilkada serentak. Yang klaimnya biar lebih hemat dan efisien. Tapi kadang malah bikin pusing. Soalnya, dalam sehari kita harus memilih gubernur, bupati, sama wali kota sekaligus. Bisa-bisa salah coblos gara-gara kebanyakan mikir! Tapi tenang, kebanyakan pemilih yang terkena serangan fajar enggak suka mikir kok pas milih pemimpin, jadi aman.
Dan ternyata, sistem baru ini malah memunculkan fenomena-fenomena unik yang bikin geleng-geleng kepala. Salah satu yang paling mencengangkan terjadi di Makassar.
Pilkada Kota Makassar 2018 cuma diikuti satu pasangan calon. Eh taunya, yang menang malah kotak kosong! Ini rekor pertama dalam sejarah pilkada Indonesia. Kotak kosong aja bisa menang, apalagi kalau diisi pake otak. Sayangnya, otak itu barang langka di dunia politik kita.
Setelah jelajah sejarah pilkada yang enggak kalah absurd dari kredibilitas wapres negara Konoha, sampailah kita di masa kini. Di mana pilkada udah makin canggih, ada e-voting lah, ada quick count lah. Tapi pertanyaannya, udah bener-bener demokratis belum sih? Atau cuma ganti bungkus doang, tapi praktiknya masih sama-sama bosok?
Masih banyak PR nih buat pilkada kita. Dari mahalnya biaya pilkada, masalah politik uang, sampai partisipasi pemilih yang kadang masih rendah. Belum lagi isu-isu seperti netralitas ASN atau penggunaan isu SARA dalam kampanye. Tenang, di Indonesia mah masalah enggak selalu kudu diatasi, tapi buat dibikin jadi bahan gosip kayak gini!
Apa perlu ada sistem baru? Atau mungkin balik lagi ke sistem lama? Atau justru kita bikin sistem baru yang lebih radikal, misalnya memilih kepala daerah pake voting di akun Instagram KPU? Toh, makin kesini politik Indonesia bukannya membaik tapi malah makin amburadul.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik tentang sejarah