BANDUNG HARI INI: Berpulangnya Seniman Mata Hitam
Tepat lima tahun maestro Jeihan Sukmantoro berpulang. Selain pelopor seni rupa ekspresionis dengan mata hitam bolongnya, ia mengabarkan kemanusiaan.
Penulis Salma Nur Fauziyah29 November 2024
BandungBergerak.id - Konflik antara negara Arab Saudi dan Iran memuncak di tahun 2016 silam. Perseteruan dua negara ini sebenarnya sudah lama terjadi. Salah satu pemicunya adalah konflik antara aliran Syiah dan Sunni. Menyadari ketegangan ini, Indonesia berupaya menjadi mediasi di kedua negara yang bermusuhan tersebut.
Dan pada saat KTT OKI di Jakarta pada 6-7 Maret 2016, seniman ekspresionis Jeihan Sukmantoro menyerahkan dua lukisannya untuk Arab Saudi dan Iran. Lukisan-lukisan itu berjudul “Bulan di Atas Kabah” (160 x 140 cm,1999) yang diberikan ke pihak Arab Saudi dan “Tafakur di Muzdalifah” (140 x 160 cm, 1999) diberikan untuk Iran. Kedua lukisan tersebut merupakan bagian dari tujuh seri lukisan pengalaman Jeihan saat menunaikan haji tahun 1999.
Penyerahan itu diwakili oleh Peter Basuki (dari pihak Jeihan), Menlu Retno Marsudi, dan Wakil Menlu AM Fachir. Saat itu Jeihan tak bisa hadir karena kondisi kesehatannya yang sedang menurun.
Menurut buku “Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya” yang ditulis Mikke Susanto, lukisan itu pada awalnya ingin Jeihan berikan pada pemerintah Indonesia. Sebelumnya, ia menyumbangkan lukisan dengan judul “Yang Mulia Presiden Republik Indonesia”.
Lukisan tersebut bisa ditemui di Istana Kepresidenan, Balai Kirti-Istana Bogor. Di dalamnya termuat sosok ke-enam Presiden RI dari Sukarno, Suharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jeihan berniat untuk menyumbangkan kembali karyanya yang lain, sebagai perantara antara dirinya dan juga pemerintah.
Kembali ke lukisan untuk Arab Saudi dan Iran, Jeihan percaya Indonesia bisa menjadi mediator dalam perdamaian kedua negara itu. Maka dengan pemberian dua lukisan ini, Jeihan berharap orang-orang dapat mengingat Indonesia menjadi negara yang dapat meredam konflik dua negara yang berpengaruh di Timur Tengah.
“Di mata Jeihan, Indonesia akan menjadi penyebar sekaligus pusat berbagai kebudayaan dunia damai. Islam Nusantara. Rahmatal lil alamin.” tulis Mikke dalam bukunya.
Di samping itu, Jeihan pernah menyampaikan gagasannya terkait lukisan dan diplomasi. Gagasannya disampaikan lewat wawancara dalam acara TV RTV “Maestro Indonesia” pada segmen keempat, yang diunggah pada kanal YouTube Maestro Indonesia RTV, 21 November 2017.
“Maka sebetulnya tidak terlalu mengherankan. Menurut saya, bahwa lukisan itu bisa jadi standar utama untuk diplomasi. Khususnya dalam rangka perdamaian. Karena satu lukisan itu mewakili paling tidak sepuluh ribu kata dan seribu surat,” jelas Jeihan, kepada Senandung Nacita, presenter acara tersebut.
Seniman Humanis
“Ada tiga unsur penting yang berpengaruh dalam pembentukan jiwa Jeihan, yakni: kepekaan terhadap alam, kepedulian terhadap manusia, dan reaktif terhadap perubahan,” demikian dikutip dari buku Jeihan Sang Maestro: Pemikir, Penyair, Perupa. Dan semua unsur itulah menjadi wadah bagi Jeihan dalam berkesenian ataupun bersastra.
Hal-hal itu tidak terlepas dari kehidupan Jeihan selama ini. Jeihan lahir di Solo (Surakarta), 26 September 1938. Memiliki darah keraton Surakarta dari pihak ayah dan peranakan Tionghoa-Muslim dari pihak ibu. Namun, ia hidup sederhana di tengah masyarakat Desa Ngampel, Boyolali. Hidup di kaki gunung merbabu membuatnya peka terhadap alam.
Di sisi lain, Jeihan pernah masuk dalam kondisi yang serba kesusahan. Itu terjadi ketika ia tinggal di Cicadas, salah satu daerah super padat yang pada dekade 60-70an memiliki tingkat kriminalitas tinggi. Cerminan kondisi ini tersampaikan di lukisan mata bolongnya yang cenderung lebih gelap.
“Kalau dulu relatif cenderung dalam tanda kutip suram. Kalau dulu mah memang zaman susah. Cat segala macam seada-adanya. Sehingga menggunakan warna-warna cat sisa. Cat yang gak laku,” cerita Azasi Adi, anak kedua Jeihan, saat ditemui BandungBergerak, Selasa, 26 Novermber 2024 di Studio Jeihan, Jalan Padasuka, Bandung.
Dalam periode ini pula, Jeihan mulai melukis figur manusia yang ada di sekitarnya. Potret kehidupan Cicadas ini turut di pamerkan di Museum Macan dalam tajuk Jeihan: Hari-hari di Cicadas pada 26 Maret -7 Juli 2019 lalu.
Menurut Adi, Jeihan tidak hanya memotret kehidupan yang ada di Cicadas. Lebih dari itu, ia mencoba membersihkan citra Cicadas yang terkenal sebagai tempat bersarangnya kaum preman. Membersihkan jiwa-jiwa mereka.
“Di sini melihat bukan makeupnya, bukan kosmetiknya, narkobanya. Tapi sebagai pribadi yang uniknya. Nah, artinya Pak Jeihan ingin menggambarkan kemanusiaannya,” jelas Adi.
Lukisannya berhasil menangkap bagaimana dinamika kehidupan seorang manusia, mengungkapkan kembali bagaimana kehidupan manusia. Hal itu pun tertuang dalam mata hitam yang menjadi ciri khasnya, bukan hanya penggambaran orang yang cemas dan penuh curiga pada saat terjadinya G30S 1965 ataupun gagasan visioner bahwa mata manusia akan ditutupi semacam lensa hitam. Mata hitam melambangkan ketidakjelasan masa depan.
“Manusia sesungguhnya tengah berjalan di dalam kegelapan misteri,” kata Jeihan, dalam Jeihan Sang Maestro: Pemikir, Penyair, Perupa.
Baca Juga:BANDUNG HARI INI: 4 Peristiwa Kebakaran dalam Sehari
BANDUNG HARI INI: 138 Tahun Stasiun Bandung
Keteladanan Sang Seniman
Melukis adalah hal baru bagi Dwi Sobarkah (23 tahun), tepatnya saat menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Rupa UPI. Dari jenjang SMP hingga SMA, ia sebenarnya sudah menekuni seni menggambar (drawing). Namun, perubahan fokus berkesenian itu merupakan buah dari dinamikanya di perguruan tinggi.
“Sebenarnya mengalir aja sih. Karena selama perkulihan, kita mendapat insight baru ya. Ibaratnya banyak ilmu baru yang kita terima. Kalau dulu kan memang terbatas. Kebetulan belajar gambar juga otodidak. Jadi nggak terlalu mengerti tentang teknik atau media-media lainnya,” ceritanya pada BandungBergerak lewat Zoom, 28 November 2024.
Berkunjung ke pameran lukisan juga menjadi salah satu hal yang membuatnya suka seni lukis. Ia mendaku pengetahuannya akan seniman atau maestro (seni lukis) lokal menjadi bertambah. Tidak melulu terpaku pada maestro luar.
Ia memiliki beberapa idola panutan. Mereka mengilhami Dwi dalam membuat karya. Seperti Sunaryo yang menonjolkan dualisme hubungan manusia dan Tuhan. Dan sang ekspresionis Jeihan Sukmantoro.
“Salah satunya adalah si matanya itu kosong gitu, pupil matanya. Sama warna-warna yang digunakannya itu lebih ke warna-warna primer,” cerita Dwi, sambil menunjukan beberapa hasil lukisannya yang terinspirasi dari Jeihan.
Dwi merupakan salah satu dari sekian banyak anak muda yang terilhami oleh Jeihan. Meski mengenal sang maestro eksentrik itu dari pembelajaran selama kuliah, ia masih tetap kagum dengan apa yang disampaikan Jeihan dari lukisannya.
“Dalam karyanya itu, enggak terlalu jauh gitu. Selalu dekat dengan apa yang ada di sekitar kita biasanya. Seperti penggambaran tokoh-tokoh atau manusia-manusia yang ada pada karya bapak tuh, selalu menggambarkan wujud asli masyarakat kita. Seperti ini tampilannya gitu,” jelasnya, yang juga suka konsep kejujuran yang terpancar pada mata hitam Jeihan.
Salah satu hal yang Dwi yakini: Seorang seniman tercermin lewat karyanya. Sang seniman muda yang sedang sibuk kerja paruh waktu itu menilai Jeihan sebagai sosok yang sederhana. Selain itu juga ia melihat sosok Jeihan sebagai seorang nasionalis.
Meski begitu Dwi belum sempat bertemu sang idola. Hari ini bertepatan dengan 29 November 2019, tepat lima tahun lalu, sang maestro berpulang pada ribaan Sang Pencipta di studio lukisnya, Jalan Padasuka, Bandung.
Adi bahkan menjelaskan bagaimana Jeihan begitu visioner dalam menyambut ajalnya. Dengan fisik yang sering sakit, Jeihan sudah mennyiapkan rumah masa depannya dan bagaimana skema yang harus dilakukan keluarga saat dia meninggal. Hal ini tercermin dalam puisinya:
Hari Terang
Hati Tenang
Bunga Kembang
Burung Terang
Aku Pulang
Ia dimakamkan di belakang studionya, dekat masjid yang dibangunnya: Masjid Al-Jeihan Nurul Iman. Menurut penuturan Adi, Jeihan menyiapkan itu semua agar di rumah barunya tidak merasa kesepian. Selalu ada azan yang menemani.
Sosok Jeihan memang sudah tidak ada lagi di dunia. Tapi, ia banyak mewariskan banyak hal untuk diteladani oleh generasi muda.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang paham dengan sejarah. Sebagai orang kedua Jeihan yang sering mengikuti sang ayah ke mana-mana, Adi menegaskan orang muda perlu mengenal sosok ayahnya yang tegas dan juga pemberani.
Bahkan karya Jeihan pun dapat memberikan inspirasi. Sarat akan sebuah nilai kemanusiaan. Hal yang perlu dimiliki masyarakat saat ini di tengah carut-marut konflik yang terjadi.
"Karena kan nilai kemanusiaan itu menjadi sesuatu yang barang langka. Semoga melalui lukisan ini ditumbuhkan lagi nilai kemanusiaannya," ujar Adi. “Di satu pihak ada kepekaan, tapi juga ada ketegaran juga dalam menghadapi hidup.”
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel tentang Bandung Hari Ini