• Berita
  • Enam Petugas KPPS Meninggal di Jawa Barat, Masalah Beban Kerja dan Minimnya Fasilitas Kesehatan Mesti Dievaluasi

Enam Petugas KPPS Meninggal di Jawa Barat, Masalah Beban Kerja dan Minimnya Fasilitas Kesehatan Mesti Dievaluasi

Berkaca dari Pemilu 2019 ketika ratusan petugas TPS gugur karena kelelahan, penyelenggara pemilu perlu meninjau kembali beban kerja petugas lapangan.

Distribusi logistik Pilkada Serentak 2024 di kawasan rawan banjir Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, 26 November 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah29 November 2024


BandungBergerak.id - Pesta demokrasi pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 menelan nyawa. KPU Jawa Barat merilis sedikitnya ada enam orang petugas TPS meninggal dunia di hari pencoblosan 27 November 2024. Fenomena ini pernah terjadi di Pemilu 2019 di mana ratusan petugas TPS meninggal dunia karena kelebihan beban kerja.

Evaluasi perlu dilakukan agar kejadian serupa tak kembali terulang. Penyelenggara pemilu mesti menyiapkan SDM yang benar-benar siap bertugas di TPS, di antaranya dengan didukung pemeriksaan kesehatan dan peninjauan kembali terhadap beban kerja petugas.

Ketua KPU Jabar Ummi Wahyuni menuturkan, Pilkada Serentak 2024 di Jawa Barat melibatkan hampir 700 ribu petugas penyelenggara. Dari jumlah itu, sebanyak enam orang petugas TPS meninggal dunia. Empat orang di antaranya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) berasal dari Kabupaten Majalengka, Karawang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bandung, dan dua orang petugas pengamanan langsung Kabupaten Bogor dan Kabupaten Indramayu.

“Enam orang yang meninggal ini punya penyebab masing-masing, untuk yang kecelakaan tidak ada ya, hanya rata-rata sakit,” kata Ummi Wahyuni, kepada wartawan di Cafe Bali, Jalan Laswi, Kamis, 28 November 2024. 

Sementara itu, Ketua Divisi Sumber Daya Manusia dan Litbang KPU Jabar Abdullah Syafii menambahkan, selain ada 6 petugas TPS yang meninggal dunia, tercatat juga ada 52 orang petugas penyelenggara mengalami sakit beraneka ragam, ada yang kelelahan, stroke ringan, demam berat, dan kecelakaan. 

Berdasarkan peraturan dan pedoman teknis yang diatur oleh KPU RI, petugas yang mengalami kecelakaan kerja dan meninggal akan mendapatkan santunan. Dari sejak masa dilantik hingga berakhirnya KPPS.

Abdullah menyebut akan terus memantau data dan progres jumlah petugas yang sakit dan meninggal. Kendati demikian, ia mengklaim dibandingkan dengan sebelumnya penyelenggara Pilkada Serentak 2024 lebih baik. 

Abdullah menyebut, pihaknya telah mengantisipasi sejak awal proses perekrutan berdasarkan aturan PKPU di pedoman teknis 467 tahun 2022 tentang batas usai dan kesehatan.

“Itu kita lakukan dengan konsisten dan aturan yang ada. KPPS itu banyak petugas yang muda, karena kita memang berikan arahan untuk perekrutan dari umur 17 sampai 50 tahun,” terangnya.

Di tempat terpisah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Annisa Alfath mengatakan, adanya petugas KPPS yang meninggal dunia diduga akibat kelelahan dan faktor kesehatan. Menurutnya, adanya peraturan KPU RI tentang petugas KPPS untuk Pemilu 2024 minimal 17 tahun dan maksimal 55 tahun, diharapkan petugas KPPS berada dalam rentang usai yang lebih produktif dan sehat.

Ia menyebut, diperlukan evaluasi terhadap kasus meninggal petugas KPPS di Jabar khususnya mengenai implementasi peraturan KPU yang meliputi peningkatan pemeriksaan kesehatan bagi calon petugas KPPS, penyediaan fasilitas kesehatan selama bertugas, dan peninjauan kembali beban kerja untuk mencegah kelelahan yang berlebihan.

Kasus Pemilu 2019

Meninggalnya petugas TPS mengingatkan pada fenomena Pemilu 2019 yang merupakan pemilu serentak pertama di Indonesia. Fikri Himawan dalam Prosiding Seminar Hukum Aktual berjudul “Kelebihan dan Kekurangan Pemilu Serentak Indonesia: Studi Kasus Terhadap Kematian Anggota KPPS Pada Pemilu Serentak 2019)” melakukan studi kasus terhadap fenomena ini. 

Salah satu kesimpulan studi kasus ini adalah ditemukannya beban kerja berlebihan yang dialami para petugas TPS ataupun KPPS, mengingat pemilu serentak ini merupakan yang pertama diselenggarakan. Fikri Himawan membeberkan, pada Pemilu 2019 tercatat menelan 894 korban jiwa dan 5.175 anggota KPPS mengalami sakit.

Fikri juga menjelaskan latar belakang diselenggarakan Pemilu Serentak 2024. Sebelum adanya sistem pemilu serentak, sistem pemilu yang dianut di Indonesia adalah sistem pemilu yang dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres), pemilu provinsi dan kabupaten/kota (pilkada). 

“Dalam pemerintahan presidensial, pemisahan sistem pemilu tersebut dinilai kurang efektif dan efisien, karena dapat menimbulkan berbagai permasalahan, seperti konflik yang terus terjadi antara berbagai kepentingan kelompok maupun individu, pemborosan anggaran dalam penyelenggaraan, maraknya praktik politik uang atau money politic, politisasi birokrasi, serta tingginya intensitas pemilu di Indonesia,” terang Fikri, diakses dari jurnal, Jumat, 29 November 2024. 

Fikri mencatat, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, mengamanatkan untuk melaksanakan pemilu secara serentak. Namun beberapa kalangan berpandangan bahwa peralihan pemilu tersebut dirasa belum menjanjikan mendapat hasil yang mampu menjamin terciptanya pemerintahan yang stabil dan efisien, khususnya dalam upaya penguatan sistem presidensial yang selama ini menjadi sistem ketatanegaraan Indonesia. 

Bahkan, Fikri menilai pelaksanaan pemilu serentak pada tahun 2019 dianggap sebagai perjalanan pemilihan umum yang terbilang sangat buruk. “Hal ini ditandai dengan kematian anggota KPPS yang mencapai hingga 894 korban jiwa dan 5.175 anggota KPPS mengalami sakit,” paparnya.

Sehingga, lanjut Fikri, menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat Indonesia tentunya, yakni apa saja yang menjadi penyebab kematian anggota KPPS tersebut. Padahal, nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yaitu mengamanatkan untuk setidak-tidaknya memberikan jaminan perlindungan atau hak untuk hidup bagi masyarakat Indonesia. 

Fikri juga memaparkan penyebab kematian dan sakitnya anggota KPPS, yakni adanya peralihan sistem pemilu yang semula dilakukan terpisah menjadi serentak. Hal ini dikarenakan adanya penambahan tupoksi kerja anggota KPPS dengan model 5 kotak suara. Di sisi lain, anggota KPPS juga melakukan double check serta jumlah anggota KPPS berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2019 hanya terdiri dari 7 orang yang terbilang sangat sedikit sedangkan beban kerjanya sangat berat.

Studi kasus ini juga menduga adanya tekanan psikis yang dihadapi anggota KPPS. “Persoalan psikis dalam hal ini, juga menjadi salah satu faktor kesehatan para petugas KPPS mengalami penurunan,” urai Fikri.

Baca Juga:PILKADA JABAR 2024: Pemilih Pemula di Bandung Menghadapi Para Kandidat tak Dikenal
PILKADA JABAR 2024: Nomor Urut Para Kontestan Pilgub Jabar 2024, Pilwalkot Bandung 2024, Pilbup Bandung 2024, Pilbup Bandung Barat 2024
PILGUB JABAR 2024: Para Kandidat Belum Serius Menggarap Sektor Energi Bersih Berkeadilan

Jumpa pers KPU Jabar di Cafe Bali, Jalan Laswi, Bandung, Kamis, 28 November 2024. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Jumpa pers KPU Jabar di Cafe Bali, Jalan Laswi, Bandung, Kamis, 28 November 2024. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Pemungutan Suara Ulang (PSU) dan Pemungutan Suara Lanjutan (PSL) 

Meski demikian, Ketua KPU Jabar Ummi Wahyuni menuturkan, secara umum Pilkada Serentak 2024 di Jawa Barat diklaim lancar. Saat ini, proses rekapitulasi tengah dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten dan kota, hingga provinsi. 

“Tanggal 16 Desember paling akhir kami belum menentukan nanti kapan kami untuk melakukan rekapitulasi di tingkat provinsi,” jelas Ummi. 

Namun, Ummi juga mengatakan dua wilayah di Jabar yakni Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor berpotensi melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Sedangkan satu wilayah yaitu Kabupaten Karawang berpotensi untuk pemungutan suara lanjutan (PSL). 

Selain potensi PSL dan PSU, Kepala Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Jabar, Aneu Nursifah mengatakan adanya potensi pelaporan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa hasil suara sementara di lima wilayah, yaitu Kota Banjar, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Depok, dan Cianjur, masing-masing di satu TPS. 

Ia mengatakan, data tersebut baru berdasarkan laporan yang diterima oleh KPU Jabar dari berbagai daerah. Tetapi gugatan perkara tersebut belum bisa masuk ke MK karena harus menunggu rekapitulasi. Saat ini KPU Jabar terus berupaya mengumpulkan alat bukti.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel Pilgub Jabar 2024

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//