• Berita
  • Menyibak Pembabatan Hutan di Kawasan Konservasi Melalui 17 Surat Cinta

Menyibak Pembabatan Hutan di Kawasan Konservasi Melalui 17 Surat Cinta

Pembabatan hutan terjadi di mana-mana, mulai dari Aceh hingga kawasan konservasi di Bandung. Masa depan di ambang kehancuran.

Diskusi film dokumenter 17 Surat Cinta di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 30 November 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 3 Desember 2024


BandungBergerak.idIndonesia dengan kekayaan alamnya yang melimpah, kini tengah menghadapi krisis yang mengancam lingkungan, masyarakat, dan masa depannya. Deforestasi atau pembabatan hutan, kerap kali terjadi dalam skala yang masif. Semua dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, pembangunan permukiman, maupun proyek industri seperti geothermal.

Pengrusakan alam Indonesia tampak dalam film dokumenter “17 Surat Cinta” yang isinya mengajak audiens untuk mengungkap sisi lain dari perlindungan hutan yang ada di Indonesia. Film dengan durasi kurang lebih 90 menit ini juga mempertanyakan bagaimana efektivitas dalam penentuan kawasan konservasi pada perlindungan ekosistem keanekaragaman hayati dari risiko pembabatan hutan.

Diproduksi oleh Ekspedisi Indonesia Biru, film ini memperlihatkan bagaimana pembabatan hutan besar-besaran yang terjadi secara ilegal yang ada di Indonesia khususnya di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh. Hasil temuan-temuan tersebut kemudian mereka tulis dalam bentuk surat yang kemudian mereka kirimkan kepada pemerintah terkait termasuk kepada Presiden Republik Indonesia.

Tergolong sebagai area dengan perlindungan tinggi, Suaka Margasatwa Rawa Singkil tetap menjadi korban ekspansi perkebunan sawit ilegal yang memasok bahan baku untuk berbagai perusahaan besar. Film ini menyajikan realitas bahwa perlindungan hukum tidak cukup untuk menghentikan pembabatan hutan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun lamanya.

Dalam film “17 Surat Cinta” diperlihatkan bahwa hutan yang seharusnya dilindungi kini berubah menjadi korban keserakahan kelompok elite. Di Aceh, misalnya, ribuan hektare hutan kini dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, bahkan tanah dijual dengan harga murah oleh masyarakat yaitu berkisar 10 juta rupiah per hektare akibat krisis ekonomi.

Di acara nonton bersama dan diskusi film “17 Surat Cinta” yang diadakan di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 30 November 2024, Klistjart Tharissa berpendapat bahwa hutan memiliki peran yang amat vital, terkhusus bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Tharissa mengibaratkan keberadaan hutan seperti rumah dan supermarket bagi mereka, karena mereka hidup dengan menggantungkan hasil alam yang disediakan oleh hutan.

“Jadi kan kebayangnya segala aktivitasnya sangat berkaitan erat dengan hutan saat ini dengan kondisi yang sekarang hutannya banyak yang dialihfungsikan, ya otomatis perasaan-perasaan itu tuh yang muncul tuh adalah sedih, marah…” ungkap Tharissa dalam diskusi Sabtu Sore yang rutin diselenggarakan Bunga di Tembok.

Kelapa sawit menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan akibat tingginya permintaan global. Siska Nirmala, narasumber lainnya, mengatakan bahwa sawit bukan hanya digunakan untuk memproduksi minyak goreng, tetapi juga pada berbagai produk sehari-hari seperti sabun dan juga pasta gigi.

“Makanya kenapa perambahan hutannya luar biasa, karena tadi demand-nya tinggi…” ujar Siska, pegiat gerakan zero waste.

Dengan pola hidup konsumtif, hutan bukan dilihat sebagai ekosistem hidup, melainkan dilihat sebagai alat produksi ekonomi. Selain itu, menurut Siska, masalah yang kerap terjadi pada kasus pembabatan hutan ini adalah konflik sosial. Masyarakat lokal terkadang menjual lahan tanpa memahami dampaknya terhadap lingkungan.

Siska mengungkapkan, dibutuhkan usaha ekstra untuk memperkuat regulasi perlindungan hutan. Siska kemudian menawarkan beberapa solusi seperti dengan memulai gaya hidup ramah lingkungan yang dimulai dari diri sendiri. Meskipun terlihat kecil, langkah ini jika dilakukan secara kolektif maka maka akan menghasilkan perubahan pola konsumtif yang ujungnya bisa mengurangi permintaan produk berbasis kelapa sawit.

“Mungkin cuma satu, dua hal yang dihindari, tapi itu akan berpengaruh besar ketika kita lakukan bersama-sama. Nanti produsen, terus pemerintah, mereka mulai merasa, oh ternyata demand-nya gak setinggi itu…” ucap Siska, penuh harap.

Di sisi lain, Tharissa setuju bahwa budaya konsumtif telah menjadi bagian dari kehidupan mayoritas masyarakat saat ini. Namun ia mengatakan, saat ini kita dapat memilih berbagai alternatif yang lebih berkelanjutan. Contohnya adalah menggunakan produk-produk yang berasal dari komunitas lokal yang menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga.

Gerakan zero waste yang Siska Nirmala gaungkan, kata Tharissa, mengajarkan kita untuk tidak hanya menolak penggunaan produk yang dapat merusak lingkungan, tetapi juga dapat mendukung masyarakat yang lebih bijak. 

Di sisi lain, Tharissa menyebutkan, konsumsi produk-produk dari perusahaan besar global yang sering kali menggunakan kelapa sawit memerlukan perhatian secara khusus. Meskipun ada sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), Tharissa mempertanyakan apakah sertifikasi-sertifikasi tersebut cukup efektif untuk dilakukan karena fakta lapangan menunjukkan bahwa masih banyak masalah yang kerap kali terjadi. 

“Pada kenyataannya di lapangannya masih banyak kan terjadi kecolongan, bahkan tadi ditanamnya di wilayah Suaka Margasatwa gitu kan, jadi bukan semudah itu sih, bukan se-keinginan kita untuk mencoba berubah dari gaya konsumsi kita, juga itu salah satu yang bisa menjadi satu perubahan yang besar gitu di kemudian hari ya…” lengkap Tharissa.

Baca Juga: SABTU SORE#1: Membicarakan Puisi Patah Hati, Menyemai Perpustakaan Bunga di Tembok
SABTU SORE #3: Menolak Standardisasi Kecantikan Perempuan dengan Pendidikan Gender
SABTU SORE #6: Perempuan di Panggung Politik, Dijegal Sistem dan Dipinggirkan Stigma Sosial

Diskusi film dokumenter 17 Surat Cinta di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 30 November 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Diskusi film dokumenter 17 Surat Cinta di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 30 November 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Ancaman yang Terjadi Secara Sistematik

Masalah pembabatan hutan tak hanya terjadi di Suaka Margasatwa Rawa Mangun. Contoh terdekat yang ada di Bandung juga harus diperhatikan. Salah satu peserta diskusi, Gan Gan Jatnika yang juga merupakan pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung menyoroti kawasan konservasi seperti Cagar Alam Kamojang di Majalaya. Ancaman pembabatan hutan ini disebabkan oleh aktivitas eksplorasi geothermal oleh perusahaan swasta yang masif. Dari luas awalnya sekitar 7.000 hektare, terdapat sekitar 3.000 hektare yang terancam diturunkan statusnya dari Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam (TWA).

Gan-Gan kemudian juga menyebutkan bahwa Bandung memiliki sejarah kehilangan kawasan konservatif lainnya, seperti Cagar Alam Cunggunghun yang awalnya seluas 700 hektare kini hanya tersisa sekitar 31 hektare. 

“Kalau sudah jadi TWA, maka penggalian geothermal bebas dilaksanakan,” ungkapnya.  

*Kawan-kawan bisa menyimak tulisan-tulisan lain dari Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//