• Berita
  • SABTU SORE #3: Menolak Standardisasi Kecantikan Perempuan dengan Pendidikan Gender

SABTU SORE #3: Menolak Standardisasi Kecantikan Perempuan dengan Pendidikan Gender

Standardisasi Kecantikan perempuan banyak dipengaruhi faktor dari luar diri perempuan. Standar ini dibentuk kuasa laki-laki, kultur, dan industri.

Ilustrasi kekerasan seksual. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah28 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Kecantikan perempuan selalu menjadi objek di tengah sistem sosial yang didominasi kekuasaan laki-laki. Jejak-jejak standardisasi kecantikan perempuan terlihat sejak dari mitos, kolonialisme, dan yang terbaru melalui industri dan fenomena budaya pop Korea Selatan. 

Budaya Korea Selatan yang membanjiri layar-layar sentuh menyodorkan bahwa perempuan yang cantik mesti berkulit putih dan berwajah tirus. Standar ini ditopang industri kecantikan dengan menjamurnya ragam perawatan kulit (skincare).

Standar-standar kecantikan perempuan ini dibahas di diskusi Sabtu Sore #3: “Cantik Kok Ada Standarnya? Membongkar Standar Kecantikan dari Waktu ke Waktu” di Bunga di Tembok, Sabtu, 26 Oktober 2024. Diskusi ini menghadirkan Cici dari Great UPI dan Neneng Yanti, dosen Antropologi Budaya ISBI Bandung.

Neneng Yanti mengatakan, standardisasi kecantikan kecantikan perempuan telah ada dalam budaya Indonesia sejak dulu.  Misalnya, dalam fiksi Sunda kuno Lutung Kasarung pada abad ke-14 dikisahkan tentang lomba kecantikan antara kakak beradik Purbasari dan Purbararang.

Dalam lomba kecantikan tersebut, Purbasari menang karena bertubuh kecil sementara Purbararang bertubuh besar. Hal ini dilatarbelakangi dengan standar moral saat itu, bahwa tubuh tinggi sering dianggap rakus karena memakan segalanya dan simbol dari keangkuhan, sedangkan tubuh kecil tanda dari rendah hati.

“Konteks moral saat itu, sebagus apa pun penampilannya yang dimenangkan dalam kisah itu nilai kebaikan, sifat baik hati,” kata Neneng.

Sebelum penjajahan Hindia Belanda, gambaran kecantikan perempuan dikisahkan melalui cerita-cerita maupun perumpamaan-perumpamaan yang ada di alam, seperti buah-buahan. Di budaya Sunda, perempuan cantik memiliki bibir berwarna merah delima. “Sebab orang tua kita dulu memakan sirih, efek dari mengunyah sirih itu merah,” tutur Neneng.

Di zaman Hindia Belanda, ukuran kecantikan berubah seiring munculnya narasi Eropa yang perempuan pribumi sebagai marjinal. Terbaru, standar kecantikan juga berubah dengan adanya budaya dari Korea Selatan atau Korean Style melalui film drama dan grup musik. Yang terakhir ini turut memengaruhi industri kosmetik seperti skincare.

Industri kosmetik yang mendefinisikan kecantikan perempuan mengacu pada budaya Korea, sebenarnya tidak bisa diterapkan di Indonesia. Sebab, Indonesia memiliki ragam warna kulit dan karakteristik wajah yang tidak bisa disamaratakan.

“Pergeseran kiblat kecantikan yang tadinya Barat menjadi Korea, sebuah hasil kerja industrialisasi yang dibangun pemerintahnya dengan membuat kebijakan sedemikian rupa. Perempuan di Indonesia punya kekayaan kecantikan berbeda-beda bermacam-macam harusnya kita bangga dengan keragaman itu,” ujar Neneng.

Indonesia saat ini dibanjiri berbagai macam produk perawatan wajah yang mengacu pada standar kecantikan kultur tertentu. Di saat yang sama, masyarakat juga memerlukan literasi tentang kesadaran budaya Indonesia yang beragam.

“Kekayaan budaya bisa dipelajari di alam Indonesia. Orang tua zaman dulu membersihkan rambut menggunakan merang padi, beberapa masih dipakai oleh masyarakat Baduy,” ungkap Neneng.

Neneng mengatakan, masyarakat Baduy tidak memperbolehkan menggunakan bahan kimiawi yang dikhawatirkan mengotori sungai-sungainya. Industri kecantikan memang tidak mudah dilawan. Akan tetapi penting untuk membangun kesadaran dan menghidupkan narasi alternatif agar semua orang terbuka terhadap perbedaan.

“Jadi kearifan lokal itu penting untuk kita tahu dan pelajari, kecantikan itu punya warna kecantikan berbeda. Ada ratusan suku bangsa di Indonesia ini, punya kearifan lokal sendiri. Kita semakin kuat, identitas kita semakin kuat, kita memiliki daya saing di hadapan budaya global,” ungkap Neneng.

Baca Juga: Standar Kecantikan, Usaha Kapitalisme Meraih Keuntungan dengan Merendahkan Perempuan
Mencegah Jatuhnya Korban Kecantikan Virtual
Standar Kecantikan K-Pop Merusak Kesehatan Mental?

Melawan Standar Kecantikan dengan Pendidikan Gender

Tidak hanya kearifan lokal dari warisan budaya Indonesia, standar kecantikan juga bisa dibongkar dengan pendidikan gender. General Chief Gender Research Student Center (GREAT) UPI Cici menjelaskan, standar kecantikan yang didominasi oleh bangunan sosial laki-laki mengakibatkan penindasan terhadap perempuan semakin kuat. Ditambah, industri kecantikan ala Korea berujung memengaruhi psikologis seseorang.

Cici menceritakan bagaimana rekannya mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres setelah trauma akibat sering dibanding-bandingkan oleh pasangannya. Kemudian, membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Selain itu, pengaruh lainnya banyak perempuan menggunakan skincare dengan embel-embel memutihkan kulit.

“Semakin tertekan dimanfaatkan oleh kapitalis juga,” ujar Cici.

Oleh karenanya, Cici menyebut pendidikan gender penting agar perempuan semakin berdaya. Pendidikan gender tidak diajarkan di pendidikan formal. Cici menegaskan, cantik adalah menerima diri kita apa adanya, serta tidak melakukan perundungan dan diskriminasi terhadap orang lain.

Namun Cici menyayangkan, sejauh ini belum ada regulasi yang mengatur bullying dan rasisme terutama terhadap warna kulit dan bentuk tubuh. Regulasi ini baru sebatas berlaku di lingkup pendidikan, misalnya di kampus bullying dan rasisme bisa dilaporkan pada satuan tugas (Satgas) kekerasan seksual yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendiristek) RI nomor 55 tahun 2024.

“Tidak mudah di mana ada regulasi yang jelas terkait bullying racism. Pada akhirnya menjadi angin lalu, bahwa ada bullying dan segala macam itu tetap hadir terkait kulit, tubuh. Dan yang sekarang kalau di kampus yang mengomentari tubuh bisa dilaporkan ke satgas,” terangnya.  

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Standardisasi Kecantikan Perempuan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//