• Narasi
  • Menyusuri Sejarah dan Keindahan Cipanas, Wisata Air Panas Garut

Menyusuri Sejarah dan Keindahan Cipanas, Wisata Air Panas Garut

Dibalik keindahan alam dan manfaat kesehatan yang ditawarkan kolam pemandian Cipanas, Garut, terjadi segregasi sosial pada zaman kolonial Belanda.

Iqbal Nugraha

Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad)

Kolam ikan di Cipanas Garut sekitar Tahun 1900. (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden)

3 Desember 2024


BandungBergerak.id – Garut, kota kecil dengan kekayaan alam, budaya dan sejarah yang memikat, menawarkan beragam destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Salah satu ikon utamanya adalah Cipanas, sebuah kolam pemandian air panas alami yang bersumber dari Gunung Guntur. Dengan lokasi yang strategis dan mudah dijangkau, Cipanas menjadi destinasi wisata favorit, terutama saat musim liburan. Sejak abad ke-20, Cipanas telah dikenal sebagai objek wisata populer, yang tercatat dalam beberapa catatan yang diproduksi pada masa kolonial.

Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #6: Cipanas, Air yang Direbus Panas Magma
Nagreg Tempo Doeloe: Dari Percabangan Jalan, Tanjakan Legendaris, hingga Stasiun Tertinggi
Kawah Kamojang, dari Eksplorasi Belanda hingga Ikon Wisata Modern

Cipanas dalam Catatan Perjalanan Wisatawan Barat

Dekade pertama abad ke-20, Cipanas menjadi salah satu destinasi populer di kalangan wisatawan barat. M. Buys dalam catatan perjalanan In Het Hart der Preanger (1900) mengungkapkan perjalanan menuju Cipanas dari Tarogong menawarkan pengalaman yang memukau. Jalan yang menanjak menyuguhkan pemandangan yang spektakuler, dengan empat gunung besar yang tampak saling terhubung, mengelilingi Garut dari timur hingga barat daya. Lanskap yang megah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang melintasinya. Selain itu, sepanjang perjalanan menuju Cipanas, para wisatawan melewati deretan kolam pemancingan yang tersusun di dataran tinggi. Kolam-kolam pemancingan ini tampak bertingkat, mengikuti kontur tanah yang semakin menanjak menuju kawasan sumber air panas di puncaknya. M. Buys mengungkapkan:

“Kami melihat uap mengepul di udara pagi yang sejuk dan tipis, bukti bahwa air di kolam-kolam tersebut masih cukup hangat. Airnya tidak berbahaya bagi ikan, demikian pula jika mereka dimasukkan ke dalamnya ketika sudah mencapai kematangan tertentu, tetapi ikan yang masih sangat muda itu akan cepat terbiasa.” (M. Buys, 1900).

Kolam ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk budi daya ikan. Ikan yang dibudi daya bermacam-macam, ada ikan gurame, ikan mas, ikan nilem dan juga ikan deleg. Ikan hasil budi daya kemudian dijual di pasar, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Pemilik kolam sangat diuntungkan dengan melakukan budi daya ikan, bahkan ada yang mendapatkan penghasilan 1.200 gulden dalam satu tahun, tentu jumlah yang tidak sedikit di wilayah ini. Pemandangan deretan kolam dalam perjalanan menuju Cipanas menciptakan suasana alam yang asri sekaligus menunjukkan harmoni antara alam dan aktivitas manusia di daerah tersebut.

Wanita Eropa mandi air hangat di Cipanas Garut sekitar Tahun 1934. (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden)
Wanita Eropa mandi air hangat di Cipanas Garut sekitar Tahun 1934. (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden)

Pemandian Air Panas dan Segresi Etnis

Mengacu pada catatan perjalanan In Het Hart der Preanger  (1900), kolam air panas yang berada di kawasan Cipanas, airnya berasal dari lereng Gunung Guntur di lima tempat yang berbeda. Mengutip catatan perjalanan Trips In The Isle of Java (1910), sumber air panas memiliki suhu yang berbeda-beda. Merujuk pada pengalaman M. Buys, suhu terendah air panas mencapai 38,9 dan tertinggi 41,9 derajat Celcius. Keberadaan mata air panas ini menunjukkan betapa kaya dan kuatnya potensi alam yang dimiliki kawasan Cipanas. Untuk dapat memanfaatkan mata air ini dengan optimal, masyarakat sekitar membangun enam kamar mandi bambu dengan bak batu bata yang dapat mengalirkan air, sehingga setiap orang yang mandi mendapatkan air segar dan jernih. Selain itu, Cipanas juga digunakan sebagai sarana pengobatan alami. Air panas yang mengalir mengandung mineral dan juga belerang yang bermanfaat bagi tubuh. M. Buys mengungkapkan:

“Para dokter yang saya ajak bicara berpendapat bahwa mandi air hangat bisa sangat bermanfaat bagi penderita asam urat dan rematik, yang anehnya, jumlah mereka di negara yang hangat ini sama banyaknya dengan di negara yang dingin dan basah” (M. Buys, 1900).

Fasilitas kamar mandi yang telah dibangun oleh masyarakat sekitar semakin memperkuat reputasi Cipanas sebagai destinasi yang tidak hanya menawarkan keindahan alam saja, tetapi juga memberikan manfaat bagi kesehatan.

Dibalik keindahan alam dan manfaat kesehatan yang ditawarkan kolam pemandian Cipanas, terjadi segregasi sosial pada masa itu. Di kolam pemandian ini, orang Eropa, Cina dan Pribumi masing-masing memiliki fasilitas kolam yang terpisah, yang hanya dapat diakses oleh golongan mereka sendiri. M. Buys menyebutkan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan fasilitas kamar mandi sebesar 5 sen bagi orang Cina dan Pribumi, sedangkan bagi orang Eropa 10 sen. Bagi mereka yang tidak termasuk golongan yang telah disebutkan, biasanya berdiri di bawah pipa bambu yang mengeluarkan semburan air panas yang lembut, dan tidak dikenakan biaya alias gratis. Pemisahan ini menggambarkan ketimpangan sosial yang terjadi, di mana setiap golongan memiliki ruang khusus yang membedakan status dan hak akses mereka.

Resor Cipanas sekitar tahun 1910. (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden)
Resor Cipanas sekitar tahun 1910. (Sumber: Digital Collection KITLV Universiteit Leiden)

Dari Pemulihan hingga Kejayaan

Dalam catatan perjalanan Jubileum-verslag van den Regentschapsraad van Garoet 1926-1936, Cipanas mengalami pemugaran besar-besaran untuk menjadikannya sebagai tempat wisata terkemuka. Pemugaran ini dilakukan dengan meminjam dana sebesar 10.000 gulden, yang digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan fasilitas Cipanas, termasuk menutupi kolam renang besar dan beberapa kotak kecil dengan ubin porselen, serta merenovasi bangunan akomodasi yang ada. Setelah dilakukan perbaikan, pendapatan wisata Cipanas berhasil meningkat menjadi 800 gulden per bulan. Merujuk catatan perjalanan Jubileum-verslag van den Regentschapsraad van Garoet 1926-1936, setelah dilakukan perbaikan, banyak tamu-tamu terhormat yang datang, salah satunya ialah seorang istri dari gubernur Jawa Barat periode 1884-1931, yaitu J.B. Hartelust.

Hingga kini, Cipanas masih tetap menjadi salah satu ikon pariwisata Garut yang tidak hanya memikat dengan pesonanya, tetapi juga mengingatkan kita akan sejarah panjangnya sebagai destinasi yang telah berkembang dari sebuah sumber mata air panas menjadi simbol kebersamaan alam dan manusia. Namun, dibalik pesonanya, Cipanas menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pengembangan pariwisata dan kelestarian lingkungan. Peningkatan jumlah wisatawan yang datang setiap tahunnya, meskipun membawa dampak positif bagi perekonomian lokal, juga memicu berbagai persoalan, seperti kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem sekitar. Selain itu, meningkatnya pembangunan infrastruktur untuk mendukung sektor pariwisata sering kali berbenturan dengan usaha-usaha pelestarian nilai sejarah dan budaya yang ada di kawasan ini.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga dan mengembangkan potensi alam Cipanas, dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Upaya dalam menyeimbangkan antara kemajuan pariwisata, perlindungan alam dan warisan budaya, menjadi tantangan yang perlu dihadapi bersama. Dengan kesadaran dan komitmen dari pemerintah, pengelola dan masyarakat, Cipanas dapat terus berkembang sebagai destinasi ramah lingkungan yang mampu menarik lebih banyak wisatawan tanpa mengorbankan nilai sejarah, budaya, dan keindahan alam yang terkandung di dalamnya.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//