TELUSUR SEJARAH LEMBANG: John Henrij Van Blommenstein, Sang Komandan
John Henrij Van Blommenstein, sang komandan. Perwira militer yang memimpin tentara Belanda dalam perang di Aceh dan Lombok. Pendiri perkebunan Baroe Adjak Lembang.
Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
7 Desember 2024
BandungBergerak.id – Dari lima tulisan “Kisah Keluarga Ursone“ kita semua diajak berkenalan dengan satu sosok yang sebetulnya adalah pusat dari segala yang terjadi. Mari kita mengenal lebih dekat dengan sosok dingin nan ambisius ini. Ia adalah seorang prajurit yang tak takut mati yang dimiliki kerajaan Belanda, ia juga adalah salah satu trah keluarga bangsawan Belanda yang namanya sangat lekat dengan penjajahan dan persebaran Freemasonry di nusantara, ialah John Henrij Van Blommenstein.
Data tentang sang komandan ini saya dapatkan dari serangkaian kisah riset saya selama 12 tahun. Di mana saya menemukan kepingan demi kepingan puzzle tentang beliau. Dari mulai keterangan lisan dari keluarga jongosnya, keterangan lisan dari keluarga anggota teosofi (keluarga ketua Loji Galih Pakuan, Bandung), keterangan lisan dari om Roni Noma (cucu dari Pietro Antonio Ursone ), keterangan lisan dari belasan pegawai Baroe Adjak yang sering menyebutnya dengan sebutan “Juragan Sepuh“, keterangan lisan dari keluarga Billy Janz (cucu pemilik Onderneming Jayagiri, Alexander Janz) yang kebetulan berteman dengan cucu dari sang komandan, dan berbagai berita surat kabar yang saya dapatkan dari situs Delpher, dan situs genekologie online (wikitree).
Saya akan coba jabarkan pelan-pelan agar mudah dicerna oleh para pembaca semuanya. Keterangan ini saya dapatkan dari stanboom Dullemen dalam genekologi online. Ada seorang dokter yang bernama Willem Van Blommestein yang lahir di Belanda 29 April 1723, namun ia bukan hanya seorang dokter, ia merupakan seorang anggota dewan kerajaan Belanda dan pernah menjabat sebagai direktur VOC. Ia meninggal pada tanggal 9 Januari 1789 di Delft dalam usia 65 tahun. Anak dari Willem adalah Diederik Leendret Van Blommestein lahir di Delft pada 17 Oktober 1756. Diederik juga sama dengan sang ayah bekerja sebagai anggota dewan kerajaan Belanda, selain itu ia juga merupakan pegawai kantor pajak di Beverwijk dan anggota komite Likuidasi. Ia meninggal di Kleve 27 Oktober 1823. Salah satu anak lelaki dari Diederik adalah Hermanus van Blommestein.
Trah van Blommestein pertama yang datang ke pulau Jawa bernama Hermanus van Blommestein. Ia lahir pada tanggal 13 Februari 1791 di Delft, Belanda selatan. Ia dibaptis pada tanggal 3 April 1791 di tempat kelahirannya. Ia datang ke pulau Jawa tidak dicatatkan tahun berapa, namun ia memilih Semarang dan Pekalongan untuk tempat ia tinggal. Di Pekalongan, Hermanus membuka dua pabrik gula besar yang bernama pabrik gula Wonoppringo dan pabrik gula Tirto. Hermanus adalah seorang letnan angkatan laut kerajaan Belanda dan ia yang menyebarkan paham Freemasonry di Jawa Tengah pada saat itu. Menurut beberapa narasumber, di pabrik gula Wonopringo terdapat sebuah Loji Freemason besar . Hermanus meninggal di Pekalongan tanggal 4 Oktober 1864, pada usia 73 tahun.
Salah satu putri Hermanus bernama Maria Johanna van Blommestein, ia lahir di Semarang tanggal 29 Januari 1827. Pada awalnya ia menikah dengan kerabat dekatnya bernama Francois Joseph Henri van Blommestein yang lahir di Batavia 22 Juli 1814. Dari pasangan inilah sang komandan lahir, namun pada tanggal 20 februari 1852, sang ayah yaitu Francois harus wafat karena kapal yang ia naiki di Palembang harus tenggelam. Francois harus mati muda, yaitu di usia 37 tahun. Francois adalah seorang mayor Infanteri pada saat kematiannya.
Hal tersebut membuat Maria Johanna van Blommestein pun harus menjanda di usia muda, belum usai dukanya, Maria pun harus ditinggal meninggal adik perempuannya. Oleh sebab itu Maria dinikahkanlah kepada suami sang adik yang juga merupakan keluarga besar Van den Bosch yang bernama Adolphe Jean Philipe Hubert Desire van Bosch. Hingga sang komandan mau tidak mau memiliki ayah tiri dari trah keluarga van Den Bosch. Maria juga mati muda, ia meninggal di usia 49 tahun pada tanggal 2 Januari 1877 di Batavia. Maria sempat dilukis oleh raden Saleh ketika berada di Batavia. Saking sedihnya sang komandan, ia mengabadikan kediaman pertamanya di Bandung dengan nama Villa Maria yang sekarang menjadi kantor pusat PT KAI di kawasan Viaduct, Kota Bandung.
Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Keluarga Ursone #3 Anna Carolina van Dijk (Deetje Ursone).
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Keluarga Ursone #4 Oerki dan Sopiah (Mavalda Ursone)
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Keluarga Ursone #5 Alessandro Ursone dan Mausoleum Keluarga Ursone
John Henrij Van Blommestein
Sang komandan lahir di Semarang 30 September 1850. Ia tumbuh di lingkungan bangsawan yang sangat berkecukupan, namun karena didikan militer yang kuat di dalam keluarganya membuat sang komandan akhirnya memiliki kepribadian yang keras, ambisius dan sangat disiplin. Sang komandan dijuluki “Bibitplanter”, karena ia adalah seorang yang memegang kendali cukup kuat dalam persebaran pembibitan beberapa varietas tumbuhan yang sebagian besar dibudidayakan di nusantara. Kariernya dalam bidang militer adalah seorang komandan artileri perang Aceh, dan yang paling terkenal adalah saat ia dan beberapa mayor lainnya diperbantukan dalam perang Lombok. Di antara beberapa temannya yang gugur dalam pertempuran sengit di Lombok, sang komandan tetap hidup, bahkan ia adalah orang yang membantai paling banyak dengan tangan dinginnya. Sabetan pedangnya telah dengan sadis memusnahkan kerajaan Lombok. Bukan hanya itu saja, sang komandan ini pun menguras habis kekayaan kerajaan Lombok yang sebagian besar berupa koin dan emas batangan. Bahkan salah satu rekannya nekat mengambil naskah “ Negarakertagama”.
Sepulang dari peperangan di Lombok, sang komandan melalukan banyak jaringan bisnis hampir di seluruh pulau Jawa, bahkan hampir seluruh nusantara. Salah satunya adalah Baroe Adjak. Sehingga kekayaannya sangat besar dan asetnya sangat banyak. Ia lalu memilih untuk tinggal di Bandung bahkan menikah untuk kali kedua dengan seorang mojang pribumi yang sangat cantik. Dibalik hingar binar kehidupannya, ia terkadang kembali mengingat dosa- dosanya ketika ia membantai habis kerajaan Lombok. Menurut penuturan salah satu jongosnya, sang komandan kerap berkata, “Apabila waktu boleh diulang kembali, saya tidak akan menjadi seorang pembantai.”
Ketika sang komandan menjadi pengurus pabrik gula Wonopringo menggantikan kakeknya, ia mendapatkan sosok pemuda pribumi yang menentang ketidakadilan bagi kaum pribumi di kawasan Pekalongan hingga terjadi sebuah keributan. Ternyata sang pemuda itu adalah Oto Iskandar Dinata.
Akhir Tragis sang Komandan
Di akhir hidupnya sang komandan sering menghabiskan waktu di Lembang dan Bandung, ia mulai terlihat religius dan terkadang terlihat sering melamun. Ketika itu menjelang makan malam di sebuah vila kecil di kawasan Cihanjuang tidak jauh dari Curug Panganten, sang komandan yang masih mengenakan seragam lengkapnya ditangkap para pemuda pribumi yang memakai pakaian serba hitam dan memakai penutup wajah. Mereka menculik sang komandan, namun sebelum sang komandan dibawa pergi, ia berpesan pada seluruh anggota keluarganya yang sedang berada di meja makan pada saat itu, “Bila saya tidak kembali, berarti karma saya telah terjadi”, lalu ia menoleh ke belakang sekali lagi, dan ini disaksikan jelas oleh jongosnya yang merupakan salah satu narasumber saya, ia mengatakan, “Tetaplah berbuat baik.”
Malam itu tanggal 17 September 1927, adalah malam terakhir bagi keluarga sang komandan melihat langsung beliau. Hingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal kematiannya. Entah di mana dan bagaimana cara beliau wafat, namun satu tahun kemudian barulah ditemukan seragam yang lengkap dengan emblem beliau di perkebunan teh Pasir Malang (sekarang Jalan Gunung Cupu). Pada akhirnya dibawalah seragam tersebut beserta tanah yang berada di dekat seragam untuk dimakamkan di kawasan Lembang menjadi sebuah pemakaman monumental. Hal tersebut dirasa sama dengan yang terjadi pada diri Oto Iskandar Dinata yang juga mengenal sosok sang komandan dengan baik, bahkan makam monumental Oto pun berada di kawasan yang sama, yaitu Lembang.
Ada apa dengan Lembang hingga dijadikan makam monumental dari dua tokoh besar? Bahkan makam sang kuncen Bandung pun berada di Lembang, tepat berada di tengah-tengah dari dua bukit yang dijadikan makam monumental tersebut.
Dari kisah sang komandan ini saya banyak belajar bahwa tidak ada kata terlambat untuk bertobat dan memperbaiki diri. Tuhan sang maha pengampun, namun memang selalu ada karma yang akan ditanggung atas setiap perbuatan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang