• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #14: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (12)

MULUNG TANJUNG #14: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (12)

Sebagai dobi di Kebon Kawung, Bandung abah selalu memeriksa saku-saku pakaian yang akan dicucinya. Beberapa kali abah menemukan barang milik pelanggan.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Orang yang mensetrika di Bandung di masa lalu (Nu keur ngaléot/ngalicin di Verlofcentrum voor Ambtenaren (Pusat Peristirahatan untuk Pegawai Negeri Sipil). Foto tahun 1947 - 1949. (Sumber: Geheugenvannederland/Charles Breijer/Koleksi Djoemena Gorgan)

8 Desember 2024


BandungBergerak.idMembongkar dan menyimpan ingatan tentang Kampung Dobi, baru saya sadari setelah dewasa. Ketika saya mulai bersentuhan dengan komunitas pegiat sejarah di Bandung. Ketika saya mulai berinteraksi dengan media sosial, saya melihat salah satu postingan pegiat Komunitas Aleut yang membahas daerah seputar Kebon Kawung, dan kampung tempat tinggal saya salah satunya.

Postingan itu menggoda saya untuk mencari tahu lebih banyak tentang Kampung Dobi, yang sebetulnya sangat bersentuhan dengan masa kecil dan masa remaja saya. Tapi apa yang saya dapatkan ternyata tidak memuaskan saya, sampai akhirnya saya mulai menulis apa yang saya ingat dan saya alami berdasarkan kenangan saya bersama Abah Ilim, kakek saya yang ternyata adalah seorang generasi kedua setelah Abah Mulya, uyut saya. Cukup terlambat memang, tapi masih cukup waktu untuk mengabadikan kenangan dengan sang Dobi itu dalam tulisan saya, melalui perbincangan dengan ibu saya, putri keempatnya.

Membantu Abah

Ibu saya, saya memanggilnya Ambu, dan juga tiga anak Abah yang lainnya sering membantu abah dalam pekerjaannya sebagai dobi. Wa Maman anak Abah Ilim yang tertua, yang paling sering dilibatkan dalam pekerjaan dobi ini. Karena memiliki sepeda, Wa Maman sering mendapatkan tugas mengambil cucian dari pelanggan dan mengantarkannya kembali. Tetapi lambat laun Wa Maman juga mampu mengambil alih tugas pokok perbinatuan seperti mencuci dan menyetrika. Setelah Abah beranjak sepuh, Wa Maman lah yang sempat melanjutkan pekerjaan Abah Ilim. Wa Ade, sesekali membantu mengantar cucian saat jeda sekolah, Wa Icah dan Ambu pun membantu mengantarkan cucian yang sudah bersih ke tempat tinggal pelanggan. Abah mempunyai satu putri lagi, si bungsu Bi Ipah. Saat itu bi Ipah masih kecil, sehinga tidak terlalu terlibat dengan aktivitas pekerjaan Abah.

Kegiatan itu berlangsung lama, bahkan sampai saya lahir, dan tumbuh, saya pun masih mengingat Wa Maman sering menggantikan Abah mencuci atau menyetrika cucian-cucian milik pelanggan. Saya masih bisa menyaksikan Abah dan Ma Abah mencuci di Ciguriang, bahkan ikut bermain di pancuran sambil menangkap impun. Disadari atau tidak, saya merekam bagaimana cara Abah Ilim mencuci, mengkanji, ngagebot (mencuci dengan cara membanting kain cucian), ngalantang, ngabulao, dan menyetrika.

Semua hasil “pengamatan” saya itu sangat berguna untuk kehidupan saya pribadi atau saat telah berumah tangga. Saya jadi mengerti cara mencuci dan menyetrika yang baik, cara menyalakan arang untuk menyetrika, cara menyetrika yang nyiripit, termasuk menyetrika rok seragam sekolah yang berlipit banyak. Juga cara meredam setrika yang terlalu panas dengan menggunakan daun pisang kering (kararas). Sampai hari ini, saya selalu menyediakan seikat daun pisang kering di sisi setrika. Kapan dan jenis kain seperti apa yang harus diperciki air terlebih dahulu supaya bisa lebih mudah licin saat disetrika.

Selain “mengamati” langkah-langkah mencuci sesekali saya pun mengantar seprai yang sudah rapi ke pelanggan, terutama yang tempat tinggalnya dekat. Saya masih ingat ketika saya mengantarkan satu buah seprai yang masih hangat ke rumah “gedong” yang masih tetangga, ongkosnya sekitar 750 rupiah. Dan tentu saja saya akan mendapatkan upah dari Ma Abah, mungkin semacam ongkos kirim kalau di zaman sekarang.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #11: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (9)
MULUNG TANJUNG #12: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (10)
MULUNG TANJUNG #13: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (11)

Peta lama kawasan Kebon Kawung yang di dalamnya terdapat kampung Ciguriang (kampung Dobi). (Sumber Foto: Dok Reza Khoerul Iman/BandungBergerak)
Peta lama kawasan Kebon Kawung yang di dalamnya terdapat kampung Ciguriang (kampung Dobi). (Sumber Foto: Dok Reza Khoerul Iman/BandungBergerak)

Ngaleot, Ngalicin, Ngistrika

Di dalam bahasa Sunda, ada beberapa istilah untuk menyebut aktivitas menyetrika, di antaranya ngistrika, ngalicin, dan ngaleot. Yang sangat sering dipakai dan paling akrab di telinga dalam kalimat tulisan atau perbincangan berbahasa Sunda saat ini adalah ngistrika. Kebanyakan orang akan lebih mudah mengerti jika kata yang digunakan adalah ngistrika. Lalu bagaimana dengan kata ngalicin?  Kata ini masih cukup familiar di telinga orang Sunda, mungkin sampai generasi tahun 80-an, tapi boleh juga dicoba untuk ditanyakan pada mereka yang termasuk kepada Gen Z, apakah mereka tahu arti ngalicin?

Satu kata bahasa Sunda lainnya yang nyaris atau bahkan mungkin sudah lama hilang dari bahasa lisan ataupun tulisan, yang menunjukkan kata kerja menyetrika, adalah ngaleot. Sepertinya kata ini termasuk bahasa Sunda buhun yang sudah sangat jarang digunakan dalam percakapan ataun tulisan. Jangankan generasi saat ini, mungkin masyarakat Sunda angkatan 90-an pun terutama yang bertempat tinggal di kota, sudah banyak yang lupa istilah ini.

Menisik  

Saat menyetrika, karena pada waktu itu masih menggunakan setrika arang, tak jarang panas setrika tak terkontrol, atau ada percikan bara arang yang menempel pada pakaian atau benda lain yang disetrika. Menurut Ambu, jika sampai terjadi “kecelakaan” akibat setrika terlalu panas atau bara arang yang terbang mengenai barang pelanggan, Abah Ilim selealu menunjukkan terlebih dahulu barang atau pakaian yang rusak tersebut, lalu melakukan apa yang disarankan sang pemilik barang. Salah satu cara memperbaikinya adalah dengan menisik (menjahit dengan tangan, tidak menggunakan mesin jahit) pakaian atau barang yang rusak tersebut. Saat itu ada warga yang sering menerima jasa menisik, yaitu Pak Mo’on. Hasil tisikannya sangat rapi, sehingga pemilik barang pun merasa puas dengan pekerjaannya.

Abah sangat teliti dan apik dengan barang-barang pelanggan. Sebelum mencuci, ia selalu memeriksa saku-saku baju atau celana yang akan dicucinya, salah satu alasannya agar tidak ada bubuk tembakau yang turut masuk ke dalam tahang perendaman. Pada saat memeriksa itu ada beberapa kali abah menemukan barang milik pelanggan yang tertinggal di saku baju atau celana, dan dipastikan Abah akan mengembalikannya bersamaan dengan mengantar pakaiannya yang sudah bersih dan rapi. Yang diajarkan Abah Ilim tentang hal tersebut menurut Ambu adalah pentingnya menjaga kepercayaan dan kenyamanan pelanggan kepada kita sebagai penyedia jasa.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//