• Narasi
  • MEMOAR KECIL #3: Bahagia Itu Gampang

MEMOAR KECIL #3: Bahagia Itu Gampang

Pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dibeli, dicapai, atau dimiliki selamanya. Kebahagiaan adalah kondisi pikiran dan hati yang perlu kita rawat.

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Seorang anak dan ayahnya menikmati waktu bermain bersama di kawasan Gelora Bandung Lautan Api, Gedebage, Bandung.

8 Desember 2024


BandungBergerak.id – Bahagia, sebuah kata sederhana yang menggambarkan perasaan lega, tenang, dan puas. Pada dasarnya, manusia memiliki kemampuan untuk merasa bahagia dengan hal-hal kecil di sekitarnya. Sebuah pelukan hangat, secangkir teh di sore hari, atau senyuman dari orang yang kita cintai. Namun, yang menjadi masalah adalah manusia sering kali tidak sekadar mencari kebahagiaan, melainkan ingin menjadi lebih bahagia dibanding orang lain. Inilah yang membuat kebahagiaan menjadi sesuatu yang kompleks dan terkadang sulit diraih.

Kebahagiaan yang Dikompetisikan

Fenomena membandingkan kebahagiaan telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, terutama di era modern. Media sosial memperburuk situasi ini. Foto-foto liburan mewah, barang-barang bermerek, atau cerita sukses yang dipamerkan orang lain sering kali menjadi pemicu ketidakpuasan. Kita merasa bahwa hidup kita kurang “sempurna” karena orang lain tampak lebih bahagia.

Padahal, kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan pencapaian material atau kesuksesan sosial. Jika kita terus membandingkan diri dengan orang lain, maka kebahagiaan akan menjadi seperti horizon –selalu ada di depan mata, tetapi tidak pernah benar-benar terjangkau.

Namun, ada ironi lain dalam kebahagiaan ini. Manusia sering kali merasa lebih sulit membahagiakan orang lain daripada membahagiakan dirinya sendiri. Ini karena kebahagiaan orang lain sering kali tidak sesuai dengan pemahaman kita tentang apa yang membahagiakan.

Baca Juga: MEMOAR KECIL #1: Perjuangan dari Pinggir Jendela, Menatap Masa Depan
MEMOAR KECIL #2: Di Gilimanuk, Catatan Perjalanan ke Bali

Membahagiakan Orang Lain

Kebahagiaan yang diberikan kepada orang lain bisa bersifat materi ataupun non-materi. Misalnya, membantu teman yang kesulitan secara finansial atau memberikan hadiah untuk keluarga. Namun, apakah itu benar-benar membahagiakan mereka? Tidak selalu. Terkadang, apa yang kita anggap sebagai kebahagiaan bagi mereka hanyalah proyeksi dari kebahagiaan kita sendiri. Kita lupa bertanya, apa yang sebenarnya mereka butuhkan?

Di sisi lain, kebahagiaan yang sifatnya non-materi, seperti dukungan emosional, kata-kata penyemangat, atau kehadiran dalam saat-saat sulit, justru sering kali memiliki dampak yang jauh lebih besar. Namun, memberikan kebahagiaan semacam ini memerlukan empati yang mendalam dan kemampuan untuk memahami kebutuhan emosional orang lain. Itulah yang membuat membahagiakan orang lain menjadi lebih sulit dibanding membahagiakan diri sendiri.

Esensi Bahagia di Perkotaan dan Pedesaan

Ketika berbicara soal esensi kebahagiaan, lingkungan tempat tinggal sangat memengaruhi pandangan seseorang. Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, kebahagiaan sering kali diidentikkan dengan pencapaian material, status sosial, atau gaya hidup tertentu. Kehidupan yang serba cepat di kota membuat banyak orang terpaku pada target-target yang harus dicapai untuk merasa bahagia.

Berbeda dengan mereka yang tinggal di pedesaan, kampung, atau bahkan di tengah hutan (leuweung). Kebahagiaan mereka cenderung lebih sederhana dan terhubung dengan alam. Mendengar suara burung, memanen hasil kebun, atau berkumpul bersama keluarga besar bisa menjadi kebahagiaan yang sangat berarti. Meski demikian, bukan berarti kehidupan di desa atau kampung tidak memiliki tantangan tersendiri. Namun, keterhubungan dengan alam sering kali memberikan mereka rasa syukur yang mendalam.

1001 Makna Kebahagiaan

Kata "bahagia" mungkin terdengar sama bagi semua orang, tetapi maknanya tidak pernah seragam. Setiap individu memiliki perspektif dan pengalaman yang berbeda dalam memaknai kebahagiaan. Bagi seseorang yang pernah kehilangan, kebahagiaan bisa berarti menemukan kembali harapan. Bagi yang hidup dalam kemiskinan, kebahagiaan bisa berarti makan kenyang hari ini. Sementara itu, bagi yang telah memiliki segalanya, kebahagiaan mungkin justru terletak pada rasa damai dan keheningan.

Hal yang menjadi permasalahan adalah ketika kebahagiaan distandardisasi berdasarkan ukuran orang lain yang dianggap lebih tinggi. Ketika kita mengadopsi pandangan orang lain tentang apa yang seharusnya membuat kita bahagia, kita kehilangan kendali atas kebahagiaan kita sendiri.

Kunci Hidup Bahagia: Syukur

Pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dibeli, dicapai, atau dimiliki selamanya. Kebahagiaan adalah kondisi pikiran dan hati yang perlu kita rawat. Salah satu cara terbaik untuk merasa bahagia adalah dengan bersyukur atas apa yang kita miliki. Syukur membawa ketenangan, ketenteraman, dan rasa cukup.

Allah telah memberikan begitu banyak nikmat kepada setiap manusia, tetapi sering kali kita lebih fokus pada apa yang tidak kita miliki. Padahal, jika kita melihat ke bawah, akan selalu ada orang yang hidupnya lebih sulit dan kurang beruntung dibanding kita. Dengan bersyukur, kita tidak hanya menghargai kehidupan yang kita jalani, tetapi juga membuka hati untuk lebih menghargai kebahagiaan orang lain.

Penutup

Manusia untuk bahagia itu sebenarnya gampang. Hanya saja, kita sering membuatnya rumit dengan membandingkan diri, mengejar standar yang tak relevan, dan melupakan nikmat yang sudah ada. Jika kita ingin hidup tenang, hening, dan damai, kuncinya sederhana: syukuri apa yang kita miliki. Karena bahagia sejati bukan tentang memiliki segalanya, tetapi merasa cukup dengan apa yang kita punya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Didin Tulus, atau artikel-artikel lain tentang literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//