RESENSI BUKU: Pergolakan Batin Pelacur dan Stigma Berkepanjangan
Novel “Kembang-Kembang Petingan” karya Holisoh M. E. memberi perspektif dan sudut pandang baru mengenai hidup yang tidak selalu hitam dan putih.
Penulis Gina Susilawati8 Desember 2024
BandungBergerak.id – Novel Sunda “Kembang-Kembang Petingan” yang dalam bahasa Indonesia berarti “Bunga-bunga Pilihan”, mengangkat kisah Enok, seorang pelacur, serta berbagai konflik sosial di dalamnya. Buku yang ditulis oleh Holisoh M. E. ini terbit pada tahun 2002 silam, dan menjadi salah satu karya sastra Sunda terbaik peraih Hadiah Sastra Rancagé setahun setelahnya.
Enok adalah salah satu wanita yang bekerja di rumah Mamih; bos rumah pelacuran. Ia menjalani hidup penuh liku di bawah tekanan ekonomi dan stigma sosial. Enok merupakan tulang punggung bagi keluarga yang diisi ibu, bapak, dan dua orang anaknya. Atas berbagai pertimbangan, dipilihlah jalan di rumah pelacuran untuk dapat menghidupi seluruh keluarganya.
“Kembang-Kembang Petingan” dibuka dengan penggambaran suasana rumah Mamih sebagai tempat yang menjajakan aktivitas seks komersial. Rumah ini memiliki bangunan sederhana dengan hiruk kegiatan malam. Alunan musik dangdut menjadi salah satu pengiring aktivitas sehari-hari di sana. Menemani hari-hari malam Enok dan kawan-kawannya.
Mamih merupakan sosok yang ditakuti dan disegani oleh para wanita di rumah pelacuran. Ia mengatur jadwal, memilih pelanggan, dan memastikan semuanya berjalan. Meski terkadang menyenangkan, tak selamanya Mamih memberikan kenyamanan. Ada kalanya perintah yang Mamih berikan harus benar-benar dilakukan sehingga menjadi tekanan bagi mereka.
Setiap malam berbagai pelanggan datang dan pergi. Mulai dari kalangan rakyat biasa saja, hingga pemilik status sosial yang tinggi. Asap rokok dan minuman beralkohol, alunan musik yang terus berdengung, hingga gelak tawa terpaksa menjadi aktivitas monoton di rumah itu. Tak bisa dipungkiri, wanita-wanita yang tinggal di sana memendam perihnya luka batin.
Enok yang diberi nama khusus di rumah Mamih sebagai Tita, merasa dirinya kotor karena tubuhnya sering disentuh oleh banyak laki-laki. Sesuai dengan apa yang ia katakan “asa nyérését haté téh, mun inget awak digulang-gapér ku rupa-rupa lalaki nu kalaparan” (terasa perih di hati, ketika ingat tubuh diraba oleh berbagai pria kelaparan). (Holisoh, 2002:12)
Sejak awal, buku ini memberi pandangan mendalam terhadap psikologis seseorang. Holisoh mengajak pembaca untuk memahami kompleksitas Enok dan para wanita pelacur. Di bagian pembuka, Holisoh seakan memberi sinyal, bahwa pembaca harus siap mengikuti perjalanan pergolakan batin dan emosional, pada kehidupan Enok dan wanita pelacur lainnya.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Mengembalikan Otonomi Guru
RESENSI BUKU: Memahami Perempuan dalam “Perempuan Jika Itulah Namamu”, Sebuah Buku Karya Maman Suherman
RESENSI BUKU: Mengenal Jurnaslime Sastrawi dan Mengapa itu Penting
Bayang-bayang Masa Kecil
Sejak kecil, Enok mendapat banyak luka batin dari perlakuan ibunya. Berbagai ujaran negatif terekam dalam ingatannya hingga dewasa. Sedari kecil ibunya selalu mengucapkan kata tak pantas, bahkan dari kesalahan yang tak seberapa. Contohnya saat Enok lama memakai bedak, ibunya langsung berucap “dasar sia mah ungkluk“ (dasar kamu pelacur) (Holisoh, 2002:37).
Berbagai kenangan buruk di masa kecil menghantui Enok sampai dewasa. Saat kondisinya sedang terpuruk, tak jarang Enok menyalahkan ibunya, seperti pada“Loba kasang tukangna nu nyebabkeun kuring jadi pangeusi imah si Mamih! Indung nu mindeng ngalisankeun ucap-ucap nu teu bener” (Banyak layar belakang yang menyebabkan saya menjadi pengisi rumah si Mamih! Ibu yang sering mengucapkan perkataan tidak baik) (Holisoh, 2002:39).
Kenangannya masa kecil, sangat berpengaruh terhadap keputusan yang Enok ambil di masa depan. Rasa takut, khawatir, dan menyalahkan keadaan, terus berputar dalam dirinya. Termasuk keputusannya menjadi pelacur, oleh karena sikap ibunya yang beberapa kali mengatakan “ungkluk” pada dirinya.
Apa yang dialami Enok secara psikologi dapat dilihat berdasarkan teori keterikatan. Teori ini menjelaskan bagaimana hubungan awal memengaruhi perkembangan emosional dan psikologis seseorang. John Bowbly yang mempopulerkan teori ini, menyatakan hubungan antara anak dan pengasuh utamanya berpengaruh besar terhadap kemampuan di masa depan. Baik dalam membangun hubungan yang sehat, mengendalikan emosi, dan menghadapi masalah hidup. Ketika hubungan ini tidak terbentuk baik, dampaknya bisa sangat besar dan berlangsung lama.
Keputusan Enok memilih jalur yang kini ditempuhnya bukanlah tanpa alasan. Faktor ekonomi menjadi pendorong utama ketika ia merasa tak memiliki jalan lain untuk menghidupi keluarganya. Sebagai wanita yang tumbuh dalam garis kemiskinan, Enok merasa terdorong melakukan pekerjaan sebagai pelacur, hanya untuk memastikan kebutuhan hidupnya tercukupi.
Sempat dikhianati suami, karena berselingkuh dengan seorang pelacur menjadi tamparan keras bagi Enok. Keputusan bercerai, memaksa Enok menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Sesudah berpisah, ia tak tahu harus menopang kehidupan kepada siapa lagi. Ditambah keterbatasan pendidikan yang membuatnya semakin sulit memastikan tersedianya kebutuhan sandang, pangan, dan papan keluarga yang harus terpenuhi secara layak.
Meski pada akhirnya kebutuhan hidup terpenuhi, timbul rasa bersalah yang kerap menggelayut di hatinya. Ia menyadari bahwa pilihannya ini menyalahi nurani dan harapannya akan hidup yang lebih bermartabat. Akan tetapi, kebutuhan ekonomi yang mendesak mengaburkan batas antara benar dan salah dalam pandangannya. Dan apa yang pada akhirnya ia pilih, dirasakan sebagai pilihan terbaik di tengah keadaan yang serba sulit.
Pilihan hidup yang kemudian Enok jalani, menjadi dilema bagi dirinya yang berstatus sebagai ibu dari anaknya, serta anak dari ibu dan bapaknya yang berpenghasilan kurang. Ia menyadari setiap makanan yang masuk ke dalam perut anak dan keluarganya, adalah hasil ia menjual diri. Namun, jika Enok tidak melakukan itu semua, lantas adakah jaminan bagi keluarga dan anaknya untuk tetap bertahan hidup?
Naluri seorang ibu pada diri Enok menunjukkan betapa kuatnya cinta seorang ibu kepada kedua anaknya. Di lain sisi, rasa cintanya berhadapan dengan beratnya pilihan hidup yang harus diambil, ketika hidup tidak memberikan banyak kesempatan. Ia mengajarkan bahwa pengorbanan seorang ibu sering kali tidak terlihat, tetapi membawa dampak besar bagi anak-anaknya, meskipun hal tersebut mengorbankan dirinya sendiri.
Stigma yang Melekat
Jalan hidup yang dilalui Enok membawa stigma yang sulit dihilangkan, terutama dari masyarakat. Setelah ia memutuskan berhenti dan menjadi pribadi yang lebih baik, masyarakat sekitar cenderung menghakimi tanpa memahami alasan di balik pilihannya. Stigma yang tergambar, berupa pandangan tetangga yang selalu melihat Enok dengan sinis, juga melihat Enok berbeda dengan wanita biasanya. Sebuah penilaian yang jauh dari tekanan ekonomi yang mendorongnya terjun ke dunia tersebut.
Stigma sosial terhadap Enok menunjukkan bahwa masyarakat sering kali hanya melihat hal-hal yang tampak di depannya, tanpa memahami betapa kompleks masalah tersembunyi di baliknya. Mereka sama sekali tidak mengetahui tekanan ekonomi, rasa putus asa, dan keterbatasan pilihan yang dihadapi Enok.
Stigma ini terus membekas meski Enok berhasil keluar dari hal yang ia pilih sebelumnya. Dalam “Kembang-Kembang Petingan”, Holisoh menggambarkan bahwa orang-orang cenderung menilai cepat tanpa memahami alasan di balik keputusan yang orang lain ambil. Dampaknya, kondisi ini membuat tokoh utama terjebak dalam label sosial negatif yang sulit dihilangkan.
Melalui kisah ini, pembaca diajak untuk lebih memahami kondisi dan pilihan seseorang. Pada akhirnya, stigma yang menempel pada Enok bukan hanya mengganggu dirinya sendiri, tetapi juga mencerminkan bagaimana masyarakat sering kali tidak merasa empati kepada mereka yang mengalami kesulitan. Kisah ini memberi pesan, bahwa setiap orang memiliki cerita yang kompleks, dan layak mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki hidup mereka.
Melalui novel “Kembang-Kembang Petingan” kita diberi perspektif dan sudut pandang baru mengenai hidup yang tidak selalu hitam dan putih. Holisoh sebagai penulis, yang berprofesi sebagai pengajar sekolah dasar, mengajarkan bahwa setiap pilihan yang tampaknya keliru dan kontroversial, selalu menyimpan faktor lain terhadap pengambilan keputusan.
Sosok Enok menjadi pengingat bagi kita semua agar lebih peduli dan menghargai orang lain dengan segala keterbatasan dan pergulatannya. Buku ini memberi kritik tajam terhadap norma sosial yang cenderung menghakimi tanpa memahami latar belakang. Cerita di dalamnya merupakan karya yang layak didiskusikan secara lanjut, perihal etika dan keadilan sosial.
Informasi Buku
Judul Buku : Kembang-Kembang Petingan
Penulis : Holisoh M.E
Penerbit : Kiblat Buku Utama
Cetakan : Pertama, Oktober 2002
Halaman : 185 halaman
ISBN : –
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik Resensi Buku