• Berita
  • Zine Bandung 24 Jam, Carut Marut di Balik Romantisasi Kota Kembang

Zine Bandung 24 Jam, Carut Marut di Balik Romantisasi Kota Kembang

Zine Bandung 24 Jam menyajikan sisi lain wajah Kota Kembang: warga dari kelompok rentan, sampah, transportasi umum memerlukan penanganan segera.

Calon Wali Kota Bandung Muhammad Farhan di acara diskusi peluncuran zine Bandung 24 Jam, di perpustakaan Bunga di Tembok Sabtu, 7 Desember 2024. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam9 Desember 2024


BandungBergerak.idBandung 24 Jam”, sebuah zine terbaru yang diluncurkan BandungBergerak hasil proyek keroyokan bersama audiens, menyajikan potret hiruk-pikuk Kota Bandung di balik romantisasinya. Ada permasalahan akut di balik kita yang terus menerus dipoles pencitraan.

Zine Bandung 24 Jam terdiri 24 foto karya audiens KawanBergerak dan reporter BandungBergerak yang terangkum dalam zine berukuran kertas A5 bernuansa monokrom. Zine ini melibatkan 20 lebih kontributor KawanBergerak.

Virliya Putri Cantika, wartawan foto BandungBergerak sekaligus kurator dalam foto zine Bandung 24 Jam menerangkan ihwal pembuatan projek tersebut. Bandung 24 Jam merupakan kerja kolaboratif untuk memperlihatkan kondisi Bandung di ulang tahunnya yang ke-214 tahun ini, untuk melihat sisi yang tak pernah diromantisasikan.

“Kita bisa melihat di balik romantisasinya Kota Bandung di ulang tahunya yang ke-214 ini masih menyimpan permasalahan akut yang dipotret oleh kawan-kawan kolaborator,” terangnya yang juga menjadi moderator dalam peluncuran zine Bandung 24 Jam, di perpustakaan Bunga di Tembok Sabtu, 7 Desember 2024.

Tidak hanya peluncuran zine saja, dalam diskusi rutin Sabtu Sore ini, Virly mengajak berdiskusi tentang keadaan Bandung saat ini. Dalam acara diskusi ini, menghadirkan jurnalis foto Prima Mulia, beberapa kolaborator yang ikut serta dalam penggarapan Bandung 24 Jam, dan calon Wali Kota Bandung Muhammad Farhan.

Hizqil Fadl Rohman, salah satu kolaborator menceritakan pengalaman saat memotret seorang pemulung di Jalan Braga pada jam 00.-00.59. Di wajah pertama zine tersebut menampilkan seorang perempuan menggendong sebuah karung yang besarnya bisa empat kali liptat dari tubuhnya. Namanya Mentari. Sudah belasan tahun Mentari menjadi pemulung di kawasan sentral Kota Bandung itu.

Bukan tanpa alasan Mentari menjadi pemulung. Sejak ditinggalkan mendiang suami, Mentari harus bekerja keras untuk menyekolahkan dan menghidup ketiga anaknya. “Meskipun saya pemulung, yang penting anak saya bisa sekolah,” tutur Hizqil menirukan percakapannya dengan perempuan berumur 30 tahunan itu.

Hizqil tidak hanya memotret sekali. 12 jam berikutnya, di jam 12 siang, dia memotret kegiatan salat zuhur. Tidak ada yang aneh nampaknya. Tetapi di balik salat tersebut, dia menjelaskan bahwa kegiatan ibadah tersebut dilakukan di masjid Mubarak. Masjid yang dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Dia ingin membawa isu kebebasan beragama berkeyakinan (KBB) pada projek fotonya tersebut. “Masjid itu menjadi salah satu masjid JAI, di mana banyak jemaat yang sering mendapat persekusi sejak lama,” jelasnya.

Acara diskusi peluncuran zine Bandung 24 Jam, di perpustakaan Bunga di Tembok Sabtu, 7 Desember 2024. (Foto: Bukbis Candra Ismet Bey)
Acara diskusi peluncuran zine Bandung 24 Jam, di perpustakaan Bunga di Tembok Sabtu, 7 Desember 2024. (Foto: Bukbis Candra Ismet Bey)

Permasalahan Akut di Kota Bandung

Permasalaha akut di Kota Bandung sangat banyak. Di antaranya transporatasi umum, kemacetan, hingga sampah yang saat ini masih menjadi permasalahan utama.

Prima Mulia menyoroti permasalahan sampah di Kota Bandung. Dia menjelaskan pada saat Pilkada kemaren, isu sampah menjadi salah satu topik yang paling disorot masyarakat.

Salah satu permasalahan sampah terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti yang sering kebakaran. Tidak hanya kebakaran, menurut Prima adanya pemaksaan terhadap TPA Sarimukti yang sudah overload akan menjadi permasalahan baru bagi masyarakat.

“Kita ketahui bahwa Sarimukti itu sudah overload tapi tetap dipaksakan. Ini akan menjadi PR utama dari pemerintahan yang akan datang,” terang Prima sembari menoleh ke arah Muhammad Farhan. Farhan serius mendengarkan.

Prima juga menyoroti permasalahan drainase atau solokan di Kota Bandung. Menurutnya kerusakan tersebut berdampak pada masalah banjir. Bahkan menurutnya wajah estetik Kota Bandung akan sirna ketika solokan di Kota Bandung tidak berjalan dengan baik.

“Kerusakan lingkungan di resapan air itu kan hampir semua wilayah di Kota Bandung sudah rusak,” ujarnya. Dia meneruskan permasalahan selanjutnya adalah masifnya pembangunan di kawasan Bandung utara. Tak terkendalinya pembangunan di kawasan tertinggi di Kota Bandung itu akan membawa permasalahan serius bagi Kota Bandung sendiri.

“Mungkin pemerintah Kota Bandung juga akan berhadapan dengan pengegakan hukum masalah bangunan di Kawasan Bandung Utara (KBU). Sampai sekarang kawasan tersebut masih banyak bangunan baru,” lanjut Prima.

Menanggapi permasalahan tersebut, calon Wali Kota yang duduk di samping Prima Mulia menjelaskan terkait permasalahan sampah di Kota Bandung. Dirinya menegaskan harus ada pemilihan sampah yang baik. Sehingga dapat menghasilkan sampah yang berkualitas baik, sehingga dimanfaatkan dengan baik pula.

Hal ini juga yang menjadi pendorong Farhan untuk mengedukasi masyarakat Kota Bandung agar memilah sampah-sampahnya sebelum dibuang ke TPA. Hingga saat ini, dalam pemusnahan sampah plastik masih jadi permasalahan yang belum ketemu solusi konkretnya.

“Sampai saat ini permasalahan sampah plastik masih belum ketemu solusinya. Bagaimana memusnahkannya apakah bakal dicacah atau digimanakan,” lanjutnya.

Farhan melanjutkan, dalam sehari Kota Bandung dapat menghasilkan 1500-1600 ton perhari. Hal ini juga menjadi pehatian khusus untuknya dalam pemilahan sampah yang berkualitas.

Mengutip dari laman Aliansi Zero Waste Indonesia, di Kota Bandung sampah makanan merupakan penyumbang terbesar, yaitu sekitar 709,73 ton per hari. Sampah plastik menempati urutan kedua dengan jumlah sekitar 266,23 ton per hari, dan sampah kertas menempati urutan ketiga dengan jumlah sekitar 209,16 ton per hari. “Kita harus pelan-pelan dalam menghadapi permasalahan tersebut,” terangnya.

Menyoal Kota Toleran

Dalam pertengahan diskusi, Hizqil melontarkan sebuah pertanyaan menyoal kebebasan beragama berkeyakinan (KBB). Mahasiswa jurusan Studi Agama-Agama itu menyadari bahwa Kota Bandung berada di peringat ke-15 sebagai kota toleran di Indonesia. Hal itu masih dianggap aman di banding 94 kota dan kabupaten di Indonesia.

Kendati demikian, Hizqil menyadari bahwa praktik diskriminasi terhadap minoritas masih dijumpai di akar rumput. Dikhawatirkan, menurut Hizqil permasalahan tersebut akan menjadi besar jika terus dibiarkan. “Rata-rata praktik diskriminasi itu ada di undergorund, tau-tau banyak,” terangnya.

Di sisi lain, Farhan menimpal dalam melakukan pencegahan terhadap masyarakat konservatif yang intoleran harus melakukan pendekatan emosional. “Karena ketika emosi digunakan, enggak akan ada akal yang akan menyikapi itu semua. Jangan biacara logika ketika anda menyinggung masalah iman,” tuturnya.

“Makanya dalam kampanye saya tidak ada ribut perbedaan mazhab dan lain-lain. Saya patokannya hukum negara. Selama hukum negara tidak melarang, ya silakan,” lanjut Farhan.

Mengutip dari laman SETARA Institute, Kota Bandung pada tahun 2023 menduduki peringkat ke-15 di Indonesia dengan skor indeks 5.547. Kota Bandung mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya dari peringkat ke-26 dengan skor indeks 5.280.

Kendati demikian, Kota Bandung masih menjumpai permasalahan terkait pendirian rumah ibadah. Farhan menjelaskan, beberapa rumah ibadah yang sudah mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) masih terhalang oleh penolakan masyarakat. Hal yang akan dilakukannya menurutnya adalah saling menjaga perasaan umat.

“Nanti yang bakal saya lakukan adalah menjaga perasaan antar umat aja. Jadi saya akan menjadi pemimpin yang lebih mendekatkan emosional. Harus ngobrol dengan pendekatan persuasif,” terangnya.

Baca Juga: SABTU SORE #3: Menolak Standardisasi Kecantikan Perempuan dengan Pendidikan Gender
SABTU SORE #6: Perempuan di Panggung Politik, Dijegal Sistem dan Dipinggirkan Stigma Sosial

Antara Trasnportasi dan Pedestrian

Sebelum Farhan pamit di tengah diskusi, seorang pria yang duduk di pojokan sebelah pintu keluar mengacungkan tangannya saat sesi tanya jawab dimulai. Dia adalah Aco. Dirinya berangkat dari rumah ke perpustakaan menggunakan transportasi umum. Banyak keluhan darinya terkait minimnya transportasi umum dan pedestrian yang tidak aksesibel.

Aco bercerita, saat turun di jalan besar, untuk menuju ke daerah kompleks, tidak ada sekali trotoar untuk menunjangnya berjalan. Belum lagi adanya kendaraan bermotor yang sering ngebut di jalan. Hal ini menjadi kekhawatirannya takut terserempet atau tertabrak. Dia mengeluhkan seharunya pedestrian di Kota Bandung merata agar tidak membahayakan pejalan kaki.

“Tranportasi umum itu kan kolaboratif, kolektif dengan pejalan kaki. Tadi saja berjalan menuju ke sini tuh agak sedikit risih,” keluhnya. “Banyak kendaraan yang ngebut, bahkan trotoar untuk pejalan kaki itu enggak disediakan,” lanjutnya.

Untuk jam malam, Aco yang sudah terbiasa berjalanan kaki dan menggunakan transportasi umum resah akan risiko di jalan. Pertama, dalam jam malam transportasi umum yang dipatok sampai jam 8 malam saja. Kedua, mengenai angkutan umum, bagi Aco masih membingungkan. Sebab minimnya rute yang ditempuh angkutan umum untuk bisa menjangkau lokasi tujuan.

Di sisi lain, Farhan menyadari bahwa pedestrian di Kota Bandung sangat minim. Farhan menyebutnya kejam untuk pejalan kaki. Bahkan adanya ketimpangan, bahwa yang sering dipehatikan terkait trotoar adalah jalan-jalan protokol saja.

“Bahwa di tempat-tempat kecil ini memang tidak diperhatikan. Jangankan di tempat-tempat kecil seperti ini, Jalan Supratman sampai Cipaganti aja enggak diurusin,” tuturnya. “Jadi banyak yang musti kita perbaiki trotoarnya,” lanjutnya.

Terkait trotoar yang banyak dimanfaatkan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di atassnya, Farhan mengatakan harus ada kompromi untuk menanggulanginya. Terakhir, Farhan mengatakan untuk terus mengkritik pemerintah untuk mendirikan sebuah peradaban. Salah satunya yang menyangkut kepentingan masyarakat.

“Pedestrian, kendaraan umum, sampah adalah bagian dari peradaban. Karena enggak lepas dari perilaku manusia,” ungkapnya. “Dan literasi buku, tulisan, dan suara-suara kritis adalah pembentukan dari peradaban. Maka jangan berhenti mengkritik diri sendiri, penguasa, agar melangkah menuju sebuah peradaban,” tutupnya.

*Kawan-kawan yang baik, solakan tengok berita-berita yang ditulis Yopi Muharam, atau tentang SABTU SORE

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//