Melawan Kekerasan Berbasis Gender dengan Pendekatan Pameran Visual di Kampus Unpar
Kampanye “16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender” di Unpar menyajikan karya-karya visual buatan mahasiswa. Mencegah kekerasan berbasis gender di lingkungan kampus.
Penulis Audrey Kayla Fachruddin11 Desember 2024
BandungBergerak.id - Banyak pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender di lingkungan pendidikan tinggi alias kampus. Di kampus Unpar, Bandung, Kampanye “16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender” menyajikan pameran seni interaktif karya mahasiswa, Jumat, 6 Desember 2024.
Kampanye ini diselenggarakan FISIP Universitas Katolik Parahyangan di selasar Gedung Pusat Pembelajar Arntz-Geise (PPAG). Pameran ini telah dilaksanakan secara konsisten dari tahun 2017 untuk memperjuangkan berbagai nilai kesetaraan gender sebagai langkah pencegahan kekerasan berbasis gender baik di lingkungan kampus, pertemanan, hingga masyarakat.
Kampanye tersebut diwujudkan melalui kolaborasi antara Unpar dengan Divisi Gender dan Pemberdayaan Perempuan Komisi Keadilan Perdamaian Keuskupan Bandung, Satgas PPKS Unpar, Jaringan Mitra Perempuan Bandung (JMP Bandung), Forka Films, serta kelas-kelas Mata Kuliah Gender dalam Hubungan Internasional dan Administrasi Publik.
Pameran dipenuhi dengan berbagai interpretasi visual kelompok-kelompok mahasiswa serta berbagai mitra yang menarik. Penulis mengunjungi tiga kelompok yang cukup menarik. Kelompok 22 dan 15 mencoba untuk mengemas isu tersebut melalui berbagai aktivitas yang seru.
Secara spesifik, Kelompok 22 membuat sebuah permainan cari kata dan menjawab pertanyaan dengan Uno Stacko. Kemudian, Kelompok 15 membuat permainan ular tangga dengan berbagai pertanyaan informatif, membuat origami burung, dan bilik untuk bercerita.
Kedua kelompok juga menyediakan kertas untuk para pengunjung menuliskan harapan, komitmen, serta komentar mereka mengenai isu keadilan dan kekerasan gender. Berbeda dengan dua kelompok sebelumnya, Kelompok 17 mencoba untuk mengangkat isu pelecehan terkait pakaian yang digunakan sehari-hari. Mereka menyediakan kegiatan interaktif, yakni menyemprotkan cat ke manekin untuk memvisualisasikan bagian tubuh yang kerap dijadikan “korban” pelecehan.
Ketiga kelompok sangat menikmati berbagai rangkaian proses mereka ketika mencari ide hingga hari-H pameran. Mereka sangat senang bahwa dapat menyampaikan isu ini dengan pengemasan yang mudah dimengerti dan menyenangkan untuk para pengunjung.
Baca Juga: Melontarkan Ucapan Berbau Seksual di Muka Umum adalah Bentuk Kekerasan Seksual
Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan
Memahami Hak Kesehatan Seksualitas dan Reproduksi sebagai Jalan Mengurangi Kasus Kekerasan Seksual
Keadilan Gender
Ketua Satgas PPKS Unpar Yulia Indrawati Sari atau biasa dikenal dengan Indri, menyebutkan bahwa berbagai mitra yang bekerja sama di tahun ini memiliki kekhawatiran yang sama terkait keadilan gender. Menurutnya, kampanye ini merupakan sebuah pengingat bagi masyarakat untuk berusaha bersama dalam membangun dunia yang bebas dari kekerasan berbasis gender dan inklusif.
Ia menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender masih menjadi isu yang krusial secara global dari sisi jumlah hingga berbagai jenis kekerasan. Oleh sebab itu, kampanye ini dapat memicu kesadaran dari publik dan berharap mereka juga dapat berkontribusi secara aktif di dalam kehidupannya sehari-hari.
Koordinator Divisi Gender dan Pemberdayaan Perempuan Keuskupan Bandung, Ria, menambahkan bahwa Divisi Gender dan Pemberdayaan Perempuan memiliki visi serta misi yang sama dengan pelaksanaan kampanye “16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender” di Unpar. Ia menyebutkan bahwa Gereja Katolik sendiri ingin mempromosikan keadilan dan kesetaraan gender baik untuk laki-laki serta perempuan.
Dengan demikian, Divisi Gender dan Pemberdayaan Perempuan yang berada di bawah Komisi Keadilan dan Perdamaian ini melaksanakan berbagai tugas yang meliputi penyelenggaraan berbagai kegiatan edukasi serta berjejaring untuk terus mengawali isu keadilan dan kesetaraan gender.
Acara ini dilanjutkan dengan berbagai penampilan dari berbagai penggiat seni dan penayangan film “Yuni”. Film “Yuni” yang rilis pada tahun 2021 disumbangkan oleh pihak Forka Films untuk ditayangkan kepada para partisipan kampanye Jumat itu. Sesuai dengan sinopsisnya, film “Yuni” mencoba untuk memberikan pandangan mengenai seorang perempuan muda yang mencoba untuk mempertahankan mimpinya meski diselimuti oleh berbagai stigma masyarakat mengenai menjadi perempuan seutuhnya.
Nophie menyebutkan bahwa film Yuni merupakan film yang cukup baru dan sangat cocok dengan tema kampanye ini, terutama mengenai empansipasi perempuan.
Wanggi Hoed juga turut meramaikan penampilan penggiat seni melalui pertunjukan pantomim interpretatifnya. Menurut Wanggi, pertunjukan pantomim dapat memantik para audiens untuk merenung dan berujung kepada tumbuhnya kesadaran akan isu keadilan dan kekerasan berbasis gender.
“Seperti halnya saya yang hadir di beberapa ruang dan mengkampanyekan isu terkait–yaitu kekerasan seksual–adalah untuk mendorong masyarakat untuk mengenal ‘kiri-kanan’ melalui pantomim,” ujar Wanggi.
Ia menyebutkan bahwa terdapat banyak kasus kekerasan berbasis gender yang tidak sempat menyentuh ranah hukum dan tidak jarang kasus tersebut untuk diangkat ketika sudah viral saja. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perluasan gerakan yang menyuarakan penolakan terhadap kekerasan berbasis gender sehingga dapat menyentuh masyarakat secara menyeluruh dan/atau lingkungan dengan lingkup yang lebih kecil.
Melalui berbagai instalasi seni dan berbicara dengan berbagai narasumber, penulis tentu merenungkan isu keadilan dan kekerasan berbasis gender. Seluruh mahasiswa dan mitra yang bergabung untuk menyuarakan kampanye ini terlihat bersungguh-sungguh untuk terus mengedukasi lingkungannya, baik dari teman, keluarga, hingga masyarakat, mengenai isu kekerasan berbagsis gender.
Wanggi juga menambahkan bahwa berbagai karya seni yang dibawakan oleh para mahasiswa idealnya tidak hanya selesai di tataran instalasi kampus saja, namun berharap dapat menyentuh berbagai ruang lain yang lebih besar dan berhadapan dengan masyarakat.
Ketika penulis bertanya kepada Indri, “Mbak Indri, sampai kapan Mbak akan terus menggaungkan kampanye ini?”, Indri menjawab, “Sampai kekerasan berbasis gender tidak ada lagi di dunia, meskipun kita tidak tahu kapan hal ini akan berakhir.”
*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan Audrey Kayla Fachruddin atau artikel-artikel lain tentang Kekerasan Berbasis Gender