Jalan Panjang Kawan-kawan Difabel Mendapatkan Kerja Layak
Negara mesti turun tangan mencegah diskriminasi pada kawan difabel di dunia kerja. Selama ini hanya masyarakat sipil yang semangat membela hak-hak mereka.
Penulis Awla Rajul11 Desember 2024
BandungBergerak.id - Lapangan kerja, apalagi pekerjaan yang layak, masih tanda tanya besar bagi kawan-kawan difabel. Di dunia kerja, mereka menghadapi prasangka mengenai produktivitas, dikecualikan pasar tenaga, bahkan mengalami diskriminasi mulai dari tahap perekrutan. Persoalannya semakin berlapis ketika kawan-kawan difabel ini seorang perempuan.
Hal tersebut mengemuka dan menjadi pembahasan dalam Diskusi Publik terkait “Penyandang Disabilitas dan Kaum Perempuan dalam Pemenuhan Atas Hak Pekerjaan yang Layak”, diselenggarakan oleh LION dan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) di kantor LBH Bandung, Senin, 9 Desember 2024.
Peneliti LIPS, Iip menerangkan, kawan-kawan difabel sebagian besar bekerja dengan status kerja yang rentan, seperti kontrak. Perempuan bahkan memiliki peluang lebih kecil untuk mendapatkan pekerjaan daripada laki-laki dan lebih mungkin mengalami kekerasan fisik dan pelecehan seksual.
“Syarat lainnya itu biasa berpenampilan menarik. Itu memang menyingkirkan laki-laki, jadi seksisme. Secara gak langsung ini juga memarjinalkan disabilitas, dari hasil riset kami,” kata Iip, memaparkan hasil riset yang bertajuk “Pemenuhan Hak Pekerjaan dan Upah Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Konteks Pasar Kerja Fleksibel dan Serikat Buruh”.
Iip menerangkan, sebenarnya kondisi disabilitas bisa terjadi kepada setiap orang. Sebab banyak kondisi kerja yang mungkin membuat disabilitas, seperti kecelakaan kerja, hingga bentuk tekanan yang bisa membuat seseorang menjadi disabilitas mental. Iip bahkan menyayangkan syarat kualifikasi pekerjaan yang dibuat oleh perusahaan panjang dan detail, sebagai salah satu pintu utama diskriminasi terhadap difabel.
“Ya itu tadi, pasar kerja kerucut pada soal kondisi normal, sehingga disabilitas sering terhempas dari hak pekerjaan karena kondisi itu (syarat kualifikasi kerja),” tambah Iip.
Kualifikasi kerja seperti mensyaratkan penampilan menarik, sehat jasmani dan rohani sebagai bentuk pertama diskriminasi kepada kawan difabel. Riset Iip juga menemukan, difabel perempuan cenderung akan mendapatkan upah kerja yang dua kali lipat lebih rendah. Diskriminasi bagi perempuan difabel dialami ketika melamar kerja maupun ketika bekerja.
Sayangnya, serikat pekerja jarang mengadvokasi isu ketenagakerjaan bagi kelompok difabel. Makanya, Iip mendorong, serikat pekerja perlu mengembangkan advokasinya hingga ke kelompok ini. Sebab, kecelakaan kerja yang berujung pada kondisi disabilitas merupakan isu harian yang dialami buruh.
Mengalami Diskriminasi
Perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Alifa menerangkan, diskriminasi bagi kawan difabel di sektor ketenagakerjaan, pernah ia alami. Ia pun sepakat dengan Iip, diskriminasinya sudah dimulai ketika melamar pekerjaan.
“Diskiriminasinya memang udah dimulai sejak persyaratan, perekrutan, tesnya. Kalau pun diterima, akomodasinya gak layak dan upahnya cenderung minimum,” kata Alifa, dalam sesi diskusi.
Alifa pernah mengikuti perekrutan kerja dengan mengirimkan surat lamaran, cv, hingga dipanggil untuk melakukan tes tertulis dan wawancara kerja. Ketika menghadap ke kantor, ia sudah menyampaikan bahwa dirinya adalah seorang difabel low vision. Namun saat melakukan tes, perusahaan melakukannya dengan metode tertulis menggunakan kertas awas yang bagi disabilitas low vision tidak aksesibel untuk dibaca.
Berkaitan dengan kualifikasi kerja, sebenarnya kalaupun yang dibutuhkan adalah keahlian khusus, banyak disabilitas yang bisa dan mampu. Tapi, banyak kawan difabel yang sudah tersingkir sejak persyaratan. Misal, persyaratan meminta lulusan SMK, sementara disabilitas banyak menempuh pendidikan SLB. Lalu soal usia, banyak kawan difabel yang lulus sekolah pada waktu yang berbeda dan cenderung lebih lama dengan orang kebanyakan karena kendala tertentu.
“Tidak ada akomodasi yang layak (di perusahaan), gak ada aksesibilitas, akomodasinya kurang. Sering disebut disabilitas gak produktif padahal akomodasinya yang gak layak,” kata Alifa.
Alifa menegaskan, kawan difabel bukanlah orang sakit atau yang pantas dikasihani dengan menerima kedermawanan terus-terusan. Ia mengkrik topik ketenagakerjaan bagi disabilitas, bahwa perlu merujuk lagi ke definisi, bahwa salah satu unsur yang menonjolkan “keterbatasan” atau kedisabilitasan adalah lingkungan.
Artinya, jika lingkungan mendukung, aksesibilitas, akomodasinya ideal, disabilitas tidak akan terhambat sebab bisa melakukan banyak hal sendiri tanpa terhambat. Alifa lantas menegaskan, perlu mewujudkan lingkungan yang aksesibilitas dan akomodasinya ideal agar disabilitas mandiri dan berdaya.
Ia menambahkan, HWDI baru saja mengadvokasi Perda disabilitas di Jabar. Regulasi baru ini perlu dan penting dilakukan, sebab ketika mau advokasi kebijakan, khususnya di sektor ketenagakerjaan, industri atau perusahaan sering mempertanyakan sudah adakah regulasi yang menjadi landasan negara untuk memenuhi dan melindungi hak itu.
“Kadang ada yang mau membuka lowongan tapi gak tau akomodasinya yang layak untuk disabilitas itu seperti apa. Kita mau advokasi soal perekrutan yang ideal bagi perusahaan, kalau dilakukan itu malah tidak akan membebani perusahaan,” tegasnya. “Tidak ada orang normal dan yang gak normal, yang ada hanya bagaimana lingkungan memperlakukannya.”
Baca Juga: KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Belum Ramah Bagi Kawan-kawan Difabel
PILWALKOT BANDUNG 2024: Belum Sepenuhnya Mewadahi Aspirasi Kawan-kawan Difabel
MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Inklusivitas Infrastruktur Publik Kota Bandung bagi Para Difabel
Dugaan Pelanggaran Ketenagakerjaan
Perwakilan LBH Bandung, Maulida Zahra menyampaikan, pihaknya pernah mendampingi dugaan kasus pidana yang dialami dua orang difabel. Korban merupakan pekerja dari salah satu yayasan yang memberikan pelatihan dan penyaluran kerja bagi difabel. Maul menyatakan, waktu itu, LBH mengalami kendala saat penggalian kronologis. Tetapi, kedua korban yang disabilitas wicara dan rungu tidak menyerah untuk memberikan kronologi yang lengkap dan komprehensif.
“Penggalian yang cukup panjang juga karena kita bingung mau bawa ke kasus pidana atau industrial. Akhirnya kita pidana. Karena industrial gak ada jejak, dia udah kerja lebih 20 tahun tapi enggak ada kontrak dan gajinya rendah,” terang Maul, demikian ia akrab disapa.
Dua korban ini awalnya ikut perkumpulan di sebuah yayasan disabilitas untuk dilatih keterampilan. Setelah pelatihan mereka lalu bekerja tanpa ikatan kontrak, hanya berdasarkan obrolan. Kasus ini lantas dilaporkan ke polisi dan UPTD ketenagakerjaan tentang dugaan penggelapan dan kekerasan di pekerjaan.
Dugaan penggelapan yang dimaksud, lantaran kedua korban itu ditawari mendaftar semacam asuransi yang mengharuskan memotong upah, tapi tak menerima manfaatnya. Maul menyebut, LBH mendampingi kasus ini hingga pertengahan 2024 dan baru sampai di tahap SP3 di kepolisian karena kekurangan bukti.
Maul juga menyayangkan, pada tahap penyelidikan dan penyidikan, kepolisian belum mau memberikan layanan komunikasi yang ideal bagi kawan difabel. “Negara belum mau effort untuk komunikasi dengan teman-teman disabilitas,” ungkapnya.
Maul menegaskan, berkaitan dengan hak disabilitas, seluruh pihak harus menaruh perhatian dan mewujudkannya dengan sungguh-sungguh. “Jangan hanya masyarakat sipil yang semangat, negaranya gak mau tau dan gak mau dengar. Hak disabilitas itu hak asasi manusia yang gak bisa dipisahkan dan ditinggalkan,” tegasnya.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang tentang Kawan-kawan Difabel