Mendiskusikan Emma Poeradiredja di Pasar Biru Liogenteng, Mengenalkan Peran Penting Perempuan dengan Literasi
Pasar Biru, sebuah festival literasi yang mendekatkan buku kepada warga kampung kota Liogenteng. Pameran buku ini berlangsung sampai Minggu, 15 Desember 2024.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah14 Desember 2024
BandungBergerak.id – Peran kaum perempuan dalam sejarah bangsa tidak bisa dipinggirkan. Jejak pejuang perempuan dapat dilihat dari kiprah Emma Poeradiredja, perempuan Sunda pertama yang menjadi anggota gemeenteraad atau Dewan Kota di era kolonial Belanda.
Rekam jejak Emma Poerdiredja didiskusikan oleh dosen dan peneliti Neneng Yanti dan pegiat sejarah Gan Gan Jatnika di Pasar Buku Liogenteng yang digelar komunitas literasi Pasar Biru di Aula Kantor RW 05, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astanaanyar, Bandung. Jumat, 13 Desember 2024.
Pasar Biru merupakan acara literasi berupa festival buku yang menampilkan beragam diskusi dan pameran buku dari para pelapak buku komunitas. Ini adalah Pasar Biru yang ke-4. Pasar Biru Liogenteng berlangsung sampai Minggu, 15 Desember 2024.
Dimoderatori mahasiswi filsafat UIN SGD Bandung Elsa Azkia, Neneng Yanti menjelaskan, sebelum menjadi Dewan Kota, Emma Poerdiredja merintis Pasundan Istri (PASI) di Paguyuban Pasundan pada tahun 1938. Dari sejak didirikan, Emma menjadi ketua Pasundan Istri sampai usianya menginjak 40 tahun.
Salah satu kontribusi Emma yang dikenal untuk kemajuan PASI yaitu menolak poligami. Menurut Neneng, perempuan Sunda dikenal memiliki kemandirian dan keyakinan yang kuat, hal itu dicontohkan dengan perempuan Sunda lainnya yakni Inggit Garnasih.
Saat menjadi ketua PASI, Emma Poerdiredja juga terlibat dalam Kongres Perempuan Indonesia yang diselenggarakan bertepatan dengan Hari Ibu—saat itu disebut Hari Menghormati Perempuan.
Emma sedari usia 16 tahun menjadi sudah menjadi aktivis perempuan. Dia aktif di Jong Islamitien Bond (JIB) dan terlibat juga Kongres Sumpah Pemuda. Saat di PASI, Emma menyadari pentingnya perubahan dengan cara masuk ranah politik. Ia akhirnya menjadi Dewan Kota perempuan Sunda pertama.
“Emma merupakan perempuan pertama yang boleh dipilih dan memilih di pribumi menjadi Dewan Kota pertama, karena meyakini untuk merubah sesuatu perlu masuk ke politik, politik jangan dilihat sesuatu jauh,” ungkap Neneng.
Neneng menambahkan, gagasan perjuangan perempuan dan kesetaraan Emma banyak mengambil dari kebudayaan Sunda seperti karya sastra, Wawacan Sulanjana di mana padi berasal dari perempuan sebagai sumber kehidupan.
“Jadi untuk mencari role model kita tidak perlu jauh-jauh dulu mempelajari yang lain. Tapi harus juga membaca sejarah terdekat kita,” imbuh Neneng.
Baca Juga: Festival Buku Pasar Biru 3, Mengenal Jati Diri Cinambo
Pasar Biru 3 Cinambo, Diskusi Buku Jejak Kaum Nasionalis di Bandung dan Bedah Novel Melukis Jalan Astana
Tidak hanya di PASI, Emma Poerdiredja juga bekerja di Jawatan Kereta Api atau Staatsspoorwegen dari tahun 1922 hingga 1959. Sikap nasionalisme sejati ditunjukkan Emma. Tahun 1946 ketika zaman revolusi, ia memilih bekerja di perusahaan yang prorepublik.
Pegiat sejarah Gan Gan Jatnika menambahkan, konon nama Emma terinspirasi dari Emma Wilhelmina, ibunya Ratu Belanda. Para sepuh Sunda di masa Emma kecil juga menempatkan perempuan di posisi yang tinggi.
Menurut Gan Gan, sejak dulu perempuan Sunda dikenal dengan kekuatannya. Di zaman revolusi di Kota Bandung terdapat Laskar Wanita Indonesia (Laswi) dengan panglima terkenalnya Susilowati.
Gan Gan menceritakan, ketika pejuang republik berperang melawan Sekutu dan NICA, Susilowati turut berperang dan mengobarkan semangat perlawanan dengan menenteng kepala tentara Gurkha. Sejak saat itu, perempuan Sunda dikenal pemberani.
Mengambil Tema Kampung Kota
Pasar Biru ke-4 Liogenteng tidak hanya membawa isu kesundaan, akan tetapi menyoroti juga isu internasional yaitu Palestina dan literasi. Hafidz Azhar, penggagas Pasar Biru mengatakan, jalan literasi memiliki jangkauan yang luas, lokal sekaligus global, dan bisa dilakukan di mana saja termasuk di kampung kota Liogenteng.
Pasar Biru diharapkan mampu membangun semangat belajar, menumbuhkan, dan memperkuat gerakan literasi. Menurut Hafidz, Pasar Biru pertama kali digelar di Bandung Timur, tepatnya di Teras Sunda Cibiru pada 9-13 Desember 2019. Saat itu komunitas yang terlibat yaitu Post-LPIK, LawangBuku, dan Sarekat Buku.
“Dengan semangat solidaritas dan komunitas literasi dan anak muda serta lintas zaman. Di Bandung salah satunya menjadikan ruang dan pusat pertumbuhan serta menandai titik-titik literasi di Bandung,” ungkap Hafidz.
Pasar Biru kemudian digelar di Cicalengka pada tahun 2019 dan di Cinambo pada 2022. Hafidz menegaskan, festival buku ini selalu menekankan beragam diskusi kelokalan dan pemetaan denyut literasi di sekitarnya sebagai sumbangsih pengetahuan dan pertemuaan dengan beragam isu baik sejarah, seni, dan budaya.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel Literasi