• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Demokrasi Rasa Feodalisme dan Dinasti Politik

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Demokrasi Rasa Feodalisme dan Dinasti Politik

Secara prosedural Gibran Rakabuming Raka telah sah dilantik melalui mekanisme konstitusional. Langkah ini menimbulkan kritik tajam terkait politik dinasti.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Ilustrasi. Feodalisme bertolak belakang dengan demokrasi di mana kekuasaan politik dikuasai oleh kelompok kecil. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

22 Desember 2024


BandungBergerak.idDemokrasi sering diibaratkan sebagai panggung besar, tempat setiap individu, tanpa memandang status atau latar belakang, dapat tampil dan menyuarakan aspirasinya. Namun, di Indonesia, panggung ini justru kerap menjadi arena bagi segelintir aktor yang memiliki privilese garis keturunan. Seolah seperti cermin tua yang memantulkan bayangan lama, demokrasi kita sering kali menyimpan pola-pola feodalisme dalam wajah yang diperbarui.

Sedari awal fenomena politik dinasti, yang kini semakin terang-terangan, mencuat kembali dengan penunjukan Gibran Rakabuming Raka, putra mantan Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden. Meskipun secara prosedural ia kini telah sah dilantik melalui mekanisme konstitusional, namun langkah ini menimbulkan kritik tajam terkait politik dinasti, sebuah praktik yang seolah membajak demokrasi untuk kepentingan keluarga atau kelompok tertentu. Publik seakan dihadapkan pada paradoks: bagaimana sebuah demokrasi yang seharusnya mengutamakan kesetaraan, malah melanggengkan pola kekuasaan berbasis keluarga?

Ini bukan sekadar polemik tentang satu nama atau satu jabatan. Fenomena ini adalah gambaran jelas bahwa demokrasi kita sedang digerogoti oleh tradisi lama yang terselubung. Demokrasi yang seharusnya menjadi arena pertarungan gagasan dan kemampuan kini terancam menjadi alat pelestarian kekuasaan elite. Akankah kita terus tenggelam dalam ilusi demokrasi, atau berani mengurai kekusutan ini?

Sekilas tentang Feodalisme

Feodalisme adalah konsep kuno yang mendasarkan kepemimpinan pada darah, bukan kapasitas. Pada era kerajaan, status seseorang ditentukan oleh siapa leluhurnya, bukan oleh apa yang telah ia capai. Meski kerajaan-kerajaan telah lama runtuh, jejak feodalisme masih hidup dalam politik Indonesia, menyelinap melalui pintu dinasti politik

Kisah ini bukanlah hal baru. Sejarah politik kita dihiasi oleh nama-nama besar yang diwariskan lintas generasi: dari Sukarno, Suharto, hingga yang paling anyar, keluarga Joko Widodo. Dengan dalih “keberlanjutan visi” atau “kepercayaan publik,” politik dinasti mendapatkan pembenaran yang mengabaikan prinsip meritokrasi. Namun, apakah benar visi itu demi rakyat, atau hanya demi menjaga pijakan kekuasaan dalam keluarga?

Gibran adalah contoh mutakhir dari politik dinasti ini. Dari awal ia mencalonkan diri dan kini telah dilantik sebagai wakil presiden, publik kembali mempertanyakan apakah demokrasi kita benar-benar memberikan kesempatan yang setara bagi semua orang. Sebuah ironi muncul: di negeri yang mengagungkan demokrasi, nama keluarga tampaknya lebih menentukan daripada kompetensi.

Politik dinasti tidak hanya merusak asas keadilan, tetapi juga membentuk kultur baru yang menyerupai oligarki terselubung. Jika terus dibiarkan, Indonesia bisa terjebak dalam lingkaran yang mengulang pola lama: kekuasaan beredar hanya di tangan mereka yang sudah memiliki modal nama, bukan mereka yang berjuang dari bawah.

Kritik Filsafat terhadap Feodalisme Politik

Jika demokrasi adalah sebuah pohon, maka akarnya adalah kesetaraan. Di dalam teori demokrasi, prinsip kesetaraan merupakan dasar utama. Seperti yang diajarkan oleh para filsuf klasik seperti Rousseau, Locke, hingga Habermas, demokrasi adalah sistem yang dibangun atas dasar bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depan bangsanya. Namun, dalam politik dinasti, prinsip ini mulai luntur. Ketika garis keturunan lebih menentukan daripada kemampuan, kita seolah sedang kembali ke zaman feodal, di mana kekuasaan lebih bergantung pada darah daripada pada kapabilitas.

Rousseau dalam The Social Contract menekankan bahwa legitimasi kekuasaan berasal dari rakyat. Namun, ketika kekuasaan lebih didasarkan pada hubungan darah daripada kehendak rakyat, kontrak sosial itu menjadi tidak sah. Kekuasaan yang didasarkan pada keturunan bukanlah gambaran dari demokrasi yang sehat, melainkan sebuah bentuk dari oligarki yang terselubung.

Teori Trias Politica yang dikemukakan Montesquieu juga menjadi relevan dalam konteks ini. Montesquieu mengusulkan pembagian kekuasaan dalam tiga cabang: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembagian ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh satu kelompok. Namun, dalam politik dinasti, pembagian ini sering kali tidak berjalan sesuai rencana. Ketiga cabang kekuasaan sering kali dikuasai oleh satu kelompok atau keluarga yang sama. Seolah seperti roda yang seharusnya berputar, namun ini terhenti di satu titik, menyebabkan ketimpangan kekuasaan yang merusak keseimbangan.

Di sisi lain, Karl Marx menambahkan dimensi yang lebih dalam terkait dengan fenomena politik dinasti ini. Marx berpendapat bahwa kekuasaan dalam sistem kapitalis bukan hanya terletak pada kepemilikan kekayaan, tetapi juga pada kontrol atas negara dan mekanisme politik yang mendukung kepentingan kelas penguasa. Politik dinasti, dalam perspektif Marx, adalah manifestasi dari dominasi kelas penguasa yang tidak hanya menjaga kekayaan, tetapi juga memastikan agar kekuasaan tetap berada dalam genggaman mereka. Dinasti politik, pada akhirnya, hanyalah alat untuk melanggengkan hegemoni kelas penguasa, yang sama sekali tidak mewakili kepentingan rakyat banyak.

Dampak Feodalisme Politik terhadap Demokrasi dan Etika Publik

Etika politik, menurut Immanuel Kant, didasarkan pada prinsip universalitas: tindakan yang bermoral adalah yang bisa diterapkan secara adil kepada semua orang. Dalam konteks politik dinasti, sulit membayangkan bahwa praktik ini sesuai dengan prinsip kantian. Apakah setiap warga negara memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin? Ataukah peluang tersebut hanya terbuka bagi mereka yang memiliki "garis darah istimewa"?

Politik dinasti juga membawa dampak negatif yang serius bagi integritas demokrasi. Pertama, ia melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem politik. Ketika rakyat melihat bahwa kekuasaan hanya berputar di lingkaran tertentu, muncul skeptisisme terhadap proses demokrasi itu sendiri.

Kedua, politik dinasti menghambat regenerasi pemimpin. Regenerasi adalah proses penting dalam demokrasi, karena memastikan bahwa sistem terus diperbarui oleh individu-individu dengan perspektif baru. Namun, ketika politik didominasi oleh keluarga tertentu, regenerasi ini menjadi tersumbat.

Dalam perspektif yang lebih luas, politik dinasti juga menciptakan kesenjangan sosial yang lebih dalam. Mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan merasa terpinggirkan, sementara kelompok elite terus memperkuat posisinya. Ini adalah bentuk modern dari apa yang oleh Marx disebut sebagai "eksploitasi kelas".

Tak hanya itu, feodalisme politik juga menabrak etika demokrasi. Ketika pemimpin dipilih bukan karena kompetensinya tetapi karena hubungannya, nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, transparansi, dan meritokrasi menjadi terpinggirkan. Demokrasi tanpa meritokrasi hanyalah bayang-bayang kosong, seperti pohon tanpa akar yang menunggu untuk tumbang.

Feodalisme politik tidak hanya mencederai prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga membawa dampak sistemik yang merusak. Salah satu dampak paling nyata adalah degradasi institusi. Ketika politik dinasti menjadi norma, institusi yang seharusnya netral dan profesional cenderung menjadi alat bagi kepentingan pribadi atau keluarga.

Ini akan menghadirkan nuansa kekosongan etika dalam masyarakat. Publik kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik yang mereka anggap tidak lagi mencerminkan aspirasi mereka. Dalam kondisi ini, apatisme politik meningkat, dan partisipasi publik dalam proses demokrasi menurun drastis.

Fenomena akan mempersempit peluang bagi talenta baru untuk muncul. Ketika jabatan politik didominasi oleh nama-nama besar, individu-individu berbakat dari latar belakang biasa kehilangan kesempatan untuk bersaing.

Hal ini merupakan risiko jangka panjang yang juga sangat serius. Ketika pola ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia akan kehilangan maknanya sebagai sistem yang representatif. Politik akan menjadi permainan keluarga, dan rakyat hanya menjadi penonton dari sandiwara yang sudah ditulis sejak awal. Apa yang kita sebut demokrasi bisa berubah menjadi sekadar formalitas, sebuah parade kekuasaan tanpa substansi.

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: dari Kebuntuan Politik Moralis ke Kebuntuan Melawan Kapitalisme
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mau ke mana Arah Demokrasi Kita?
MAHASISWA BERSUARA: Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia, antara Dilema Utang dan Ancaman pada Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Menuju Demokrasi yang Bebas dari Feodalisme

Indonesia berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, kita memiliki cita-cita demokrasi yang luhur, tetapi di sisi lain, kita terperangkap dalam bayang-bayang feodalisme politik yang merusak. Jika dibiarkan, fenomena ini tidak hanya menghambat kemajuan, tetapi juga menanamkan bibit ketidakadilan yang akan terus tumbuh di masa depan.

Apakah kita akan terus membiarkan feodalisme politik menggerogoti sistem, atau berani melangkah menuju demokrasi yang sejati? Pilihannya ada pada kita.

Fenomena politik dinasti seperti pelantikan Gibran sebagai Wakil Presiden bukan hanya masalah prosedural, tetapi juga persoalan etis dan filosofis. Demokrasi Indonesia sedang menghadapi tantangan besar, di mana nilai-nilai egalitarianisme dan meritokrasi sering kali dikalahkan oleh dinamika feodalisme modern.

Fenomena politik dinasti di Indonesia mencerminkan paradoks besar dalam demokrasi modern. Di satu sisi, demokrasi menjanjikan kesetaraan dan meritokrasi; di sisi lain, ia membiarkan kekuasaan terpusat pada keluarga tertentu. Pelantikan Wakil Presiden kita adalah puncak dari kontradiksi ini, yang menunjukkan betapa jauhnya demokrasi Indonesia dari cita-cita idealnya.

Kita perlu memperkuat regulasi (undang-undang) yang membatasi kekuasaan politik dalam lingkaran keluarga. Pembatasan ini penting agar terjadi pergantian kekuasaan yang sehat dan berbasis pada kompetensi, bukan keturunan. Selain itu, pendidikan politik yang mendalam perlu diberikan kepada masyarakat agar mereka tidak terjebak dalam ilusi politik yang dikendalikan oleh elite.

Demokrasi yang sejati adalah yang memberi ruang bagi semua orang untuk berkompetisi, bukan hanya bagi mereka yang memiliki nama besar. Seperti pohon yang tumbuh subur dari akar yang kuat, demokrasi harus mampu bertumbuh dengan kokoh dari bawah, bukan hanya di atas. Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa panggung politik adalah arena bagi ide dan gagasan, bukan hanya bagi garis keturunan.

Demokrasi Indonesia adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Dalam perjalanan ini, kita harus terus berjuang melawan segala bentuk ancaman, termasuk feodalisme politik. Kita tidak boleh pasrah terhadap keadaan. Setiap warga negara memiliki peran dalam membangun demokrasi yang lebih baik. Dengan bersikap kritis, mengambil tindakan nyata, dan menjaga nilai-nilai demokrasi, kita bisa memastikan bahwa sistem politik kita benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat, bukan kepentingan segelintir elite.

Sebagaimana seorang pelaut yang berlayar melawan badai, demokrasi Indonesia membutuhkan navigasi yang tepat untuk melewati gelombang tantangan ini. Jika kita bersatu, kita bisa membawa kapal demokrasi ini menuju pelabuhan yang aman, di mana keadilan dan kesetaraan menjadi jangkar yang kokoh.

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//