SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Memprioritaskan Beasiswa LPDP untuk Saintek, Mencampakkan Ilmu Soshum di Pinggir Jalan
Mendikti Saintek menyatakan, program beasiswa LPDP diprioritaskan untuk ilmu sainstek. Ada yang gagal paham bahwa ilmu soshum sama pentingnya dengan saintek.
Naufal Tri Hutama
Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
23 Desember 2024
BandungBergerak.id - Sebagai mahasiswa sejarah, saya sering merenungkan bagaimana dunia memandang pentingnya memahami masa lalu. Tanpa kesadaran akan jejak peristiwa, manusia kehilangan kemampuan belajar dari kesalahan dan kegagalan.
Kini, di tengah derasnya percepatan kemajuan teknologi yang dielu-elukan sebagai solusi pembangunan, ada yang terlupakan. Kebijakan beasiswa LPDP yang berfokus pada sains dan teknologi seolah menempatkan rumpun ilmu humaniora di pinggir jalan, dianggap kurang relevan dalam menjawab tantangan bangsa.
Sejarah mengajarkan bahwa setiap langkah maju membawa konsekuensi yang tak terhindarkan. Pembangunan besar seperti industrialisasi atau eksploitasi sumber daya terkadang menyisakan luka sosial dan ekologi.
Di sinilah pentingnya ilmu sosial, yang membantu memahami dinamika masyarakat dalam menghadapi perubahan. Namun prioritas beasiswa LPDP yang mengutamakan saintek tampaknya mengesampingkan kebutuhan akan analisis sosial yang tajam.
Pandangan ini mengarah pada keyakinan bahwa teknologi mampu menyelesaikan semua persoalan bangsa, tanpa mempertimbangkan dimensi kemanusiaan sebagai pelaku peradaban. Padahal, banyak kebijakan yang gagal karena mengabaikan konteks sosial dan budaya. Di balik angka statistik dan target pembangunan, ada cerita tentang masyarakat yang kehilangan akses, hak, dan identitasnya.
Sebagai bagian dari civitas akademik yang mendalami ilmu humaniora, saya merasa perlu menekankan bahwa pembangunan tidak hanya soal kemajuan teknologi dalam suatu peradaban, justru manusia harus bisa memaknai dan bisa membaca perkembangan sosial dalam peradaban yang mereka bangun. Kebijakan yang adil harus memberi ruang bagi setiap bidang ilmu untuk berkontribusi, karena memahami sisi kemanusiaan pun juga merupakan inti dari pembangunan yang berkelanjutan.
Ketika Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro menyampaikan bahwa beasiswa LPDP akan diprioritaskan untuk rumpun sains dan teknologi (saintek), banyak telinga terutama dari kalangan cendekiawan ilmu sosial dan humaniora (soshum), merasa tergetar. Pernyataann tersebut dirancang untuk mendukung swasembada pangan, energi, ketersediaan air, dan hilirisasi membuka diskusi yang lebih luas: apakah ilmu soshum tidak memiliki peran signifikan dalam proyek besar negara?
Sebagai mahasiswa sejarah, berita ini menimbulkan reaksi yang menggebu dalam diri saya. Sejarah, bagian tak terpisahkan dari soshum, memuat pelajaran berharga tentang bagaimana peradaban membentuk strategi pangan, mengelola energi, dan bahkan menavigasi distribusi air bersih.
Contoh paling nyata adalah bagaimana masyarakat agraris kuno di Asia Tenggara mengembangkan sistem irigasi subak di Bali, yang hingga kini masih dianggap sebagai model manajemen air yang lestari. Bukankah keberhasilan model ini lahir dari pemahaman sosial, bukan hanya dari teknologi?
Sayangnya, kebijakan yang mengutamakan saintek mengesankan bahwa ilmu soshum adalah pelengkap yang bisa dipinggirkan. Satryo menyatakan bahwa "yang utama itu saintek, bidang lain kalau ada yang menonjol dan patut didanai, kita danai". Pernyataan ini menyiratkan ketimpangan dalam pengakuan antara dua rumpun ilmu tersebut.
Pentingnya Ilmu Sosial Humaniora dalam Kebijakan Strategis
Mari kita bedah lebih dalam. Ketika sebuah negara berupaya mencapai swasembada pangan, teknologi memang membantu meningkatkan hasil produksi melalui inovasi pertanian. Tetapi siapa yang menganalisis dampak kebijakan tersebut terhadap masyarakat petani?
Ketika pembangkit listrik tenaga air dirancang untuk memenuhi kebutuhan energi, siapa yang mempelajari bagaimana proyek itu mempengaruhi komunitas lokal di sekitar bendungan?
Ilmu soshum punya daya tawar yang tak bisa diabaikan dalam memahami manusia sebagai subjek peradaban. Ini bukan sekadar soal data kuantitatif, lebih dari itu hal ini juga terkait bagaimana menafsirkan pengalaman hidup kita, soal bagaimana menyusun kebijakan yang efektif dan berkeadilan. Pemahaman ini tidak akan muncul dari rumus matematika atau algoritma komputer.
Bonnie Triyana, seorang sejarawan, menyuarakan kritik serupa terhadap prioritas baru LPDP ini. Ia menegaskan bahwa soshum memiliki nilai setara dengan saintek, terutama karena kajian soshum mendalami aspek tujuan pembangunan.
Kita tidak sedang berbicara tentang teknologi atau infrastruktur yang mengesankan, tetapi tentang bagaimana teknologi tersebut digunakan untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Mengapa Kebijakan Ini Harus Ditinjau Ulang?
Keputusan LPDP yang mempersempit fokusnya dapat menciptakan masalah jangka panjang. Dengan meminggirkan soshum, negara bisa kehilangan peluang untuk mengevaluasi program pembangunan dengan cara yang lebih berpihak pada suara masyarakat.
Misalnya, sebuah kebijakan pangan yang sukses dalam angka produksi tidak akan berarti apa-apa jika masyarakat di desa-desa tetap tidak mampu membeli makanan tersebut.
Selain itu, kebijakan ini secara tidak langsung mengirim pesan bahwa karier di soshum kurang strategis dibanding saintek. Pandangan seperti ini berisiko membuat para calon mahasiswa yang sebenarnya memiliki bakat besar di bidang sosial dan humaniora ragu untuk mendalaminya. Hasilnya? Kita berpotensi mengalami kelangkaan pemikir yang mampu menjelaskan dan mengelola kompleksitas serta gejala-gejala fenomenologi yang tengah terjadi pada masyarakat.
Mendikti juga menyatakan bahwa alumni LPDP tidak diwajibkan kembali ke Indonesia jika peluang kerja belum tersedia. Pernyataan ini bisa dipahami sebagai bentuk fleksibilitas. Tapi jika yang diberi peluang besar hanya mereka yang berlatar saintek, maka soshum semakin jauh dari peta prioritas nasional.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa dari Keluarga Kelas Menengah ke Bawah di Persimpangan Mimpi dan Derita
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Sampai Kapan Guru Harus Menyandang Gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dwi Fungsi dalam Balutan Revisi UU TNI, Ancaman bagi Demokrasi Kita
Menjawab Tantangan
Di tengah situasi ini, para cendekiawan soshum seharusnya tidak diam dan pasrah begitu saja. Ini justru bisa menjadi momen untuk menunjukkan manfaatnya secara nyata. Misalnya, mahasiswa soshum dapat terlibat lebih aktif dalam riset kebijakan, menulis karya yang membangun narasi alternatif, atau bahkan mendampingi masyarakat yang terdampak kebijakan pembangunan.
Dengan opini demikian, bukan berarti saya menolak saintek, melainkan untuk mengingatkan bahwa saintek dan soshum tidak berdiri sendiri. Keduanya saling melengkapi, seperti dua sisi mata uang. Teknologi yang hebat tanpa pemahaman tentang hakikat manusia itu sendiri yang menggunakannya, hanya akan menjadi alat tanpa arah.
Keputusan untuk memprioritaskan saintek dalam program LPDP memang terkesan strategis di atas kertas. Tetapi, jika kebijakan ini diterapkan tanpa mengakui peran vital ilmu soshum, kita sedang menggali jurang ketimpangan yang lebih dalam. Sejarah telah mengajarkan bahwa peradaban maju karena dialog antara teknologi dan manusia, bukan dominasi salah satu pihak.
Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa narasi besar pembangunan negara harus melibatkan semua pihak. Tidak ada kemajuan yang benar-benar berarti tanpa memahami aspek kemanusiaan dan kepekaan terhadap lingkungan sosial di baliknya.
Dan inilah tugas kita, memastikan bahwa ilmu soshum tetap memiliki ruang untuk berkembang, demi membangun Indonesia yang tidak hanya kuat, pun harus adil dan lebih bijaksana. Pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan fondasi nilai, kesadaran sosial, dan pemahaman historis yang hanya bisa diberikan oleh ilmu sosial dan humaniora.
Maka, kebijakan LPDP dalam pandangan saya tak hanya tentang ketimpangan prioritas saintek dan soshum. Lebih dari itu, kebijakan ini adalah cara pandang pembangunan yang terjebak pada narasi teknokratis. Dalam pembangunan bangsa, teknologi hanyalah alat, bukan tujuan akhir.
Jika arah kebijakan terus seperti ini, pertanyaannya adalah: apakah kita sedang membangun masyarakat yang manusiawi, atau hanya sekadar mengejar kemajuan teknologi tanpa jiwa?
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara