Fenomena Agus dan Kemampuan Menahan Diri
Perkembangan media sosial yang sangat masif menyuburkan fenomena serba viral. Kita berada di zaman di mana seakan-akan yang cepat adalah yang paling benar.
Minhajuddin
Pengajar Program Studi Perdagangan Internasional Universitas ‘Aisyiyah Bandung
21 Desember 2024
BandungBergerak.id – Negeri ini memiliki banyak sekali pintu mencapai popularitas dan salah satu paling umum adalah menjadi viral dengan cara apa pun. Keinginan manusia menjadi populer merupakan salah satu faktor utama menjadi viral diminati oleh banyak orang.
Rumusnya sangat sederhana, viral berarti mendapat atensi yang ramai dari massa dan bisa dikomodifikasi menjadi bentuk apapun. Dalam ekonomi misalnya, viral akan mendapatkan keuntungan yang besar.
Tidak heran jika sebagian besar masyarakat melakukan hal di luar nalar agar menjadi viral sebagai jalan panjat sosial yang pada akhirnya akan menghasilkan pundi-pundi baik dalam bentuk donasi, maupun undangan-undangan dari media untuk membahas aksi viralnya.
Viral dan segala remeh temehnya sudah didiskusikan dalam berbagai forum baik formal maupun informal dan tentu dari berbagai perspektif. Ekonomi, politik, filsafat, agama, dan berbagai perspektif, ikut meramaikan perdebatan mengenai fenomena viral pada era sekarang.
Fenomena viral didukung oleh perkembangan media sosial yang sangat masif. Apa yang terjadi di Jakarta, sekian menit kemudian bisa diketahui oleh orang yang sedang berada di perkampungan terpencil Papua atau Maluku, bahkan Aceh selama internet sudah masuk di daerah tersebut.
Viral juga biasanya diafirmasi oleh publik figur karena masyarakat di negeri ini melihat sosok yang diidolakan tanpa berusaha untuk fair atas kejadian yang disaksikan. Mereka tidak menyadari bahwa publik figur mempunyai dua kepribadian yang berbeda, sebagai seorang publik figur dan sebagai manusia yang sedang mencari makan.
Baca Juga: Tunggu Dulu, Jangan Percaya terhadap Politisi?
Menikmati Pertunjukan Budiman
Gencatan Senjata dan Basa-basi Manusia
Fenomena Agus
Bulan November sampai awal Desember tahun ini, menjadi bulannya Agus-agus di negeri ini. Tercatat, ada empat kasus yang menyeret nama Agus pada deretan trending topik di media sosial X.
Minggu pertama bulan November, seorang suami bernama Agus Herbin, melakukan tindakan kriminal yang menyebabkan istrinya meninggal dunia. Saat itu, istrinya sedang karaoke dan tiba-tiba ditusuk oleh si Agus. Pemicunya apa, lain soal karena pada poinnya menghilangkan nyawa seseorang tanpa sebab yang legal adalah kriminal.
Kasus kedua, Agus yang menyalahgunakan donasi yang diterimanya. Sebenarnya kronologis kasus ini sudah beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada bulan September ketika Agus disiram air keras oleh rekan kerjanya.
Kejadian selanjutnya yang menjadi persoalan. Agus kemudian menggalang donasi dari masyarakat untuk membiayai operasi matanya yang terkena air keras. Singkat cerita, terkumpul donasi yang cukup besar mencapai 1,5 miliar, tetapi ternyata uang donasi tidak digunakan semestinya sebagaimana tujuan awal. Donasi tersebut disalurkan melalui Yayasan Peduli Kemanusiaan milik Pratiwi Novianthi.
Pada akhirnya, Novi menemukan indikasi bahwa uang donasi tidak sepenuhnya digunakan oleh Agus untuk perawatan dan penyembuhan matanya sesuai tujuan penggalangan donasi tetapi dibagikan kepada keluarganya. Akhirnya donasi tersebut disimpan di yayasan milik Novi yang membuat Agus marah.
Konflik ini berlarut-larut dan melibatkan berbagai pihak termasuk Denny Sumargo dan Farhat Abbas. Bahkan kedua orang ini yang notabene hanya numpang nama, akhirnya saling lapor ke polisi. Tetapi pada akhirnya seperti kebanyakan friksi yang terjadi di antara para publik figur, mereka kemudian saling memaafkan ketika merasa sudah cukup mendapatkan eksposur.
Peristiwa ketiga yaitu seorang bernama Agus, penyandang difabel asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, ditetapkan sebagai tersangka pelecehan seksual. Kasus ini menjadi viral karena berbagai respons yang pro dan kontra pada penetapannya sebagai tersangka mengingat Agus seorang difabel yang tidak memiliki dua tangan.
Masyarakat kemudian mulai bertanya-tanya, bagaimana seorang difabel melakukan pelecehan seksual terhadap korbannya yang tentu bisa melawan.
Pada akhirnya, bukti-bukti menguatkan bahwa memang Agus difabel melakukan pelecehan seksual bahkan korbannya lebih 10 orang. Bukti ini kemudian dikuatkan dengan berbagai video yang beredar bagaimana Agus sangat mandiri, mulai dari mengendarai motor, minum menggunakan kaki, joget, dan potongan video yang tentu membuat masyarakat kemudian tidak bersimpati lagi kepadanya.
Kasus selanjutnya adalah seorang publik figur yang bernama Miftah yang sedang memberikan tauziah di depan ratusan jamaahnya, melakukan tindakan yang dianggap melanggar moral.
Dia merespons celotehan jamaahnya yang menyuruhnya memborong dagangan seorang Pedagang es teh yang terlihat berdiri di tengah jamaah. Alih-alih langsung memborong, Miftah bahkan mengeluarkan kalimat yang tentu menyakiti si bapak penjual es teh.
Miftah bertanya secara retoris; “Apakah es teh kamu masih banyak?“
Kemudian tanpa menunggu jawaban si bapak penjual es teh, Miftah kemudian menyuruh agar menjual es teh dengan menambahkan kata goblok di akhir kalimat. Sebuah umpatan yang tentu tidak pada tempatnya meskipun sebagian jamaahnya menganggap itu hanya guyonan.
Sebenarnya Miftah ini tidak memiliki nama Agus di akta kelahirannya tetapi kemudian menyeret juga nama Agus karena dia akrab dipanggil gus, yang tentunya mayoritas nama Agus akan sangat familiar dipanggil hanya dengan sebutan gus, panggilan yang biasa digunakan untuk menyingkat nama.
Satu hal yang membuat kasus ini juga disorot karena Miftah merupakan salah seorang anggota kabinet presiden terpilih sebagai utusan khusus dalam bidang pengembangan toleransi beragama.
Masih ada beberapa kasus yang juga melibatkan nama Agus. Terakhir salah seorang Danrami 1306-02/Biromaru, Lettu Inf. Agus, menampar Asriadi usai ditolak saat ingin mengisi BBM jenis Pertalite tanpa kode QR. Kasus ini kemudian berakhir damai setelah kedua belah pihak sepakat berdamai.
Banyak hal yang bisa dianalisis dari peristiwa yang terjadi termasuk relasi kuasa, ketika korban seakan menjadi pihak yang sangat bersalah. Pada akhirnya korban akan memaafkan dengan perasaan tertekan atau bahkan korban yang harus minta maaf.
Mengambil Jarak Sebelum Merespons
Kenapa sekarang baru menulis mengenai fenomena ini? Jawabannya karena jarak yang sudah presisi.
Isu yang viral selayaknya barang mentah yang belum bisa dijustifikasi baik buruknya karena terlalu dekat dari mata kita, masih sangat kabur. Butuh waktu untuk menegaskan posisi kita dan cara yang tepat untuk menyikapi sebuah fenomena.
Potongan berita yang kita konsumsi belum didukung dengan variabel lain yang dapat menguatkan sikap kita atas apa yang sedang disajikan di media sosial.
Misalnya, jika terburu-buru mengambil sikap atas isu Agus difabel, maka tentunya kita akan bersimpati kepadanya karena dari sudut pandang manusia pada umumnya, bagaimana mungkin seorang difabel tanpa dua tangan bisa melakukan pelecehan seksual.
Namun apa yang terjadi pada potongan-potongan fakta selanjutnya adalah si Agus difabel ini memang melakukan tindakan pelecehan seksual dengan berbagai bukti yang kuat, bahkan beberapa korbannya sudah melapor. Kita juga bisa menyaksikan bagaimana dia sangat mahir mengendarai motor dan juga dengan sangat masygul joget dengan biduan.
Apa sikap terbaik atas fenomena agus-agus yang belakang membanjiri laman media sosial?
Ambil jarak yang pas dan kumpulkan berbagai variabel yang bisa memperkuat tendensi harus bersimpati ke pihak yang mana. Hidup di serba yang up to date memang memaksa manusia terjebak dalam ketidaksadaran dirinya sendiri.
Masih ingat kejadian seorang Satpam yang memukul anjingnya beberapa bulan yang lalu? Sebagian dari kita mungkin sudah lupa karena kita memang pelupa atas pelajaran-pelajaran hidup.
Namun jika masih ingat, banyak sekali dari kita, bahkan publik figur sekalipun, yang menyesal karena terburu-buru membagikan potongan video satpam yang memukul Anjingnya dengan narasi yang menyudutkan si Satpam.
Apa yang terjadi kemudian?
Ternyata si Satpam melakukan itu semua dengan alasan yang rasional, melindungi seekor Kucing yang diserang oleh Anjingnya.
Kita berada di zaman di mana seakan-akan yang cepat adalah yang paling benar sehingga semua orang berlomba-lomba menjadi paling cepat. Dalam segala hal, kita menjadi sangat kompetitif.
Maka, skill yang paling dibutuhkan saat ini untuk tetap menjadi waras adalah kemampuan menahan diri.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Minhajuddin, atau artikel-artikel lain tentang fenomena sosial